Asisten itu juga tidak datang setiap hari. Nenek Helen melarang Jupiter menyewa asisten, wanita itu merasa dirinya masih kuat.

Namun, Jupiter tidak mau ambil risiko, mempercayakan tetangganya untuk memantau Nenek Helen. Dia juga mengirim uang setiap bulan untuk mertuanya tersebut. Seperti kebanyakan nenek baik di dunia kecuali nenek Phoenix, Nenek Helen sering menyerahkan uang tersebut untuk tambah-tambahan jajan cucunya.

"Iya, lumayan, Nek." jawab Phoenix malu-malu.

"Kalau weekend emang begitu. Dibukanya cuma satu jalur, besok juga begitu."

Phoenix manggut-manggut paham. Dia juga mengetahui kondisi ke Bogor sangat macet. Biasanya orang-orang pergi liburan ke arah puncak dan Bandung.

"Atlas sudah lama nggak ke sini," keluh Nenek Helen. "Papa dan Mama kamu aja udah dua kali ke sini."

"Maaf, Nek. Sibuk." jawab Atlas seadanya, tapi Nenek Helen tidak percaya.

"Kalian akur, kan?" Nenek Helen menyipit.

Phoenix melirik Atlas, laki-laki itu mengangkat bahu santai. Nenek Helen menghela napas lega. Melihat mereka datang ke rumahnya, sudah menunjukkan kalau keduanya akur.

"Kalian sudah menjadi saudara. Memang harus akur. Atlas udah jadi Abang Phoenix. Sebagai Abang, Atlas harus melindungi adiknya."

"Hem," Atlas berdeham bosan.

Nenek Helen meringis, memutar bola mata dengan cucunya yang nakal. "Kalian sudah makan? Belum, kan? Yuk makan, kebetulan tadi Nenek udah masak."

"Mau tidur," tolak Atlas malas.

"Makan dulu baru tidur!" Nenek Helen berubah galak. "Phoenix taruh tasnya di sini, Sayang. Kamu tidur di kamar ini."

"Iya, Nek." Phoenix mengangguk patuh. Membawa tas dan meletakkan di kamarnya. Phoenix mengedarkan pandangannya, Nenek Helen benar-benar menyambut kedatangan mereka. Kamarnya saja sampai dibersihkan, semua pembungkus peralatan tidur diganti baru. Masih wangi dan lembut.

Phoenix kemudian menghampiri Nenek Helen di meja makan. Sambil berbincang, Nenek Helen membuka tudung saji.

Phoenix sampai menelan saliva. Sangat tergiur dengan makanan di atas meja.

"Atlas, ayo makan dulu!" panggil Nenek Helen kembali galak. Mengomeli cucunya yang keras kepala. Atlas telah memejamkan mata di atas sofa yang terbuat dari anyaman rotan dan dilapisi busa.

Rumah Helen benar-benar seperti rumah nenek. Masih banyak barang-barang jadul yang klasik. Rumah asri, jauh dari polusi dan di pekarangan terdapat berbagai macam tanaman dan bunga-bunga.

Rumah itu hanya satu lantai, tetapi luas dan memiliki beberapa kamar. Beberapa bagian ada juga tempat santai. Phoenix suka melihat halaman belakang yang luas, pasti sangat nyaman bersantai sore-sore.

"Kamu kayak nggak asing," Nenek Helen menilai wajah Phoenix. "Tapi mirip banget sama Mama kamu."

Phoenix tersenyum tipis. "Kata orang-orang begitu, Nek. Phoenix mirip banget sama Mama."

"Cantik memang." puji Nenek Helen terkekeh membuat wajah Phoenix memerah.

Phoenix melirik Atlas mendaratkan bokongnya di samping kursinya. Laki-laki itu menerima air putih dari Nenek Helen, dilanjutkan dengan nasi yang sudah disusun lauk.

"Makan yang banyak ya." Nenek Helen duduk di seberang mereka. "Nanti Phoenix sering-sering datang ke sini. Atlas ajakin adik kamu, jangan dibiarin."

"Hem,"

"Phoenix betah kan tinggal di rumah?" Nenek Helen kembali mengernyit. "Selama ini tinggal berdua sama Mamanya, sekarang udah ada Papa sama Abangnya."

"Iya. Betah, Nek." Phoenix mengangguk sambil mengunyah.

STEP BROTHER  [17+]Where stories live. Discover now