Cemburu?

18 1 1
                                    

Bab 2


 

“Ca, tungguin.” Mardian berlari mengejar Cica, sementara yang dikejar tak juga memelankan langkahnya.

“Dengerin dulu, Ca. Lo kenapa sih doyan banget ngambek gak jelas kayak gitu.” Seketika kedua kaki Cica berhenti berlari. Sontak dia membalikan badannya. Matanya sembab sebab habis menangis jam istirahat tadi. Sesak, sakit, itu yang sedang dirasakannya saat ini.

“Bilang ke gue lo kenapa?” tanya Mardian.

Cica terdiam, pandangannya beralih menatap bola mata Mardian. Tatapan itu teduh seakan dia ingin marah, tapi tak bisa.

“Lo gak pernah peka, Dian. Lo gak ngerti apa mau gue, gue cem ...,” batin Cica. Belum selesai dia bermonolog, Mardian berusaha membujuk.

“Gue beliin makanan ya? Seblak mau gak?” tawar Mardian.

Kepala Cica menggeleng.

“Lagi PMS, ya? Gue beliin roti jepang?” ucap Dian sembari menggerakkan kedua alisnya nakal. Melihat kelakuan Mardian demikian Cica memukul-mukul keras lengannya. Ia kesal, dalam keadaan mood-nya yang buruk masih bisa bercanda.

“Aduh ... duh, aduh ... ampun, Merica!” ucap Mardian kesakitan, namun berhasil membuat Cica mengeluarkan unek-uneknya.

“Ihh ... lo tuh nyebelin tau gak!” kata Cica. Tangannya berhenti memukul Mardian. Bibir mungilnya mengerucut bak bocah sedang mengamuk. Sungguh, Mardian menyukai sikap kekanak-kanakannya itu.

“Lagian lo aneh, dikit-dikit ngambek, mulu!” ucap Mardian. Lelaki berkumis tipis itu tak mengerti kenapa makhluk Tuhan kesayangannya mudah marah sekarang, entah apa salahnya, yang jelas Cica tidak pernah mau bercerita akan hal itu. Sikap Cica yang selalu membuat Mardian bingung menciptakan kebahagiaan di hati Mardian, dia berpikir mungkin Cica belum berani mengatakan kalau dirinya mulai ada rasa baru dari perkenalan mereka. Semoga, perlahan rasa itu terkuak, entah cinta atau sekadar suka.

“Udah ah, jangan ngambek lagi. Muka lo jelek kalo cemberut gitu,” canda Mardian, lalu mengusap pucuk kepala Cica manja.

“Biarin!” Lagi-lagi getaran aneh itu kembali. Cica berusaha mengatur degup jantungnya. Ia berharap ini bukan pertanda jawaban untuk Mardian. Cica tidak boleh baper! Cica tidak boleh jatuh cinta pada Mardian!

“Ikut gue ke parkiran ya,” pinta Mardian.

“Indekos gue deket kali.” Cica menolak. Tidak lucu kalau pulang harus Mardian antar. Toh, bisa ditempuh jalan kaki.

“Udah, buruan!”

“Eh, tas gue! Dian, balikin!” Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Kedua sejoli itu tak peduli banyak pasang mata menertawai mereka. Cica pun tak menyangka, perempuan jutek seperti dirinya dipertemukan dengan laki-laki menyebalkan seperti Mardian.

***

Bukan penganiayaan, tangan Cica diseret ke parkiran. Mereka duduk di antara pagar penyekat lalu saling menatap. Seketika Mardian menunjukkan barisan gigi rapinya pertanda mengejek, ia puas melakukan tingkah konyolnya pada Cica. Sementara, totebag milik gadis di sampingnya masih ia pegang.

“Balikin!” ucap Cica berusaha merebut, tapi lekas Mardian menepis jemari ganasnya.

“Senyum dulu dong, baru gue balikin.”

“Gak!”

“Buruan senyum, dikit aja,” perintah Mardian sembari mencontohkan ekspresi senyumannya.

Cica menoleh, “Kegantengan!”

Gagal membujuk Cica, Mardian mengeluarkan sebatang rokok lalu menyulutnya. Tanpa sadar kepulan asap dari rokok tersebut membuat Cica sesak sampai terbatuk, baunya tak sedap menurut gadis itu, tapi ia tetap menghargai kebiasaan Mardian sebagai penyuka rokok. Jam masih menunjukkan pukul 15.20, Mardian berpamitan untuk menunaikan salat Asar di masjid perusahaan sebelum pulang ke rumah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Takdirku Jatuh di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang