Chapter 04 | Split

Start from the beginning
                                        

Atau mungkin tidak.

Sebab ... beberapa saat setelah Kirey dan Austin melompat keluar dari sana. Seorang zombie berhasil memanjat dahan itu.

****

"Ber-he-nti," Kirey mencoba mengatur napasnya. "Aku sudah tidak kuat untuk berlari lagi." Ia berujar dengan nada lemah.

Mereka berhenti di pemukiman warga. Kirey menyandarkan tubuhnya di dekat pohon. Ia memejamkan mata, menghalau rasa sakit yang menyerang dadanya. Kakinya yang berselonjor mulai terasa nyeri. Austin menatap perempuan itu kasihan, ia berdiri di seberang Kirey.

"Hei, kau tak apa?"

Kirey mengangguk lemah. "Ya, hanya butuh beristirahat sebentar." Bibir pucat itu menjawab.

"Akan aku ambilkan air untukmu."

"Jangan!"

Suara Kirey membuat langkah lelaki itu berhenti. Ia menggelengkan kepala pada Austin.

"Tak apa. Aku tidak mau sendirian disini," ujar Kirey yang diangguki oleh Austin.

Austin bersandar pada batang pohon, merilekskan tubuhnya sejenak. Kemeja putihnya kini berwarna cokelat tanah. Austin bahkan baru menyadari tangannya lecet—kemungkinan karena mereka sempat memanjat pohon tadi.

Ingatannya melayang saat mereka dikepung oleh zombie-zombie itu. Rasa syukur kembali menyelimuti hatinya, bagaimana pun caranya, mereka berhasil keluar dari rumah sakit itu.

"Maaf untuk yang satu itu, aku tidak menyangka dia mengincarmu."

Kirey membicarakan tentang zombie gempal yang menyerang Austin di ruang lab. Austin menoleh sekilas, ia menaikkan kedua alisnya.

"Ah, tak apa ... aku bersyukur kita selamat sampai disini," ujar Austin tak ambil pusing. Ucapannya benar, 'kan? Sebuah keajaiban mereka sampai disini tanpa gigitan.

"Ngomong-ngomong, sampel itu ... akan dibawa kemana?"

"Badan yang biasa membuat vaksin. Namun masalah ini harus kita jelaskan kepada dunia. Ada virus baru dan berbahaya yang menyerang masyarakat. Sehingga, seluruh negara bisa saling merangkul dan bekerja sama membuat vaksin." Austin berujar.

Wajah Kirey terlihat ragu mendengar penjelasannya, ia tau apa yang dipikirkan gadis itu.

"Kita tidak tau jika kita tidak mencobanya," tambah Austin.

****

Setelah beristirahat beberapa menit, Austin dan Kirey mulai berjalan kembali. Mereka berniat mencari supermarket terdekat. Paling tidak, hari ini mereka bisa makan dengan benar. Tidak seperti kemarin, mereka hanya mengganjalnya dengan setengah roti.

Austin dan Kirey saling bersitatap kala melihat bercak darah di tembok rumah warga. Kemungkinan zombie sudah menyerang hingga kesini. Dan benar saja, sesuai dengan pikiran mereka ... seorang zombie tiba-tiba keluar dari perkarangan rumah.

Kirey memberhentikan langkahnya, memperhatikan zombie itu mulai mendekat ke arah mereka. Kakinya sudah mulai ancang-ancang, bersiap jika sewaktu-waktu mereka lari lagi.

Keduanya sama-sama tersentak melihat zombie itu tertembak di depan mata. Seorang pria yang datangnya entah darimana kini berdiri di hadapan mereka. Tangannya yang semula menenteng senapan, kini menodongkan senjata itu ke wajah mereka.

"Apa-apaan!" Pekik Austin. Matanya menatap lelaki itu tajam.

Seolah tidak peduli, lelaki itu melihat Kirey di sampingnya. Tatapannya menelisik tubuh Kirey dari atas hingga ke bawah. Lelaki itu menyentuh kakinya, menekan luka itu kuat—hingga membuat Kirey meringis. Austin yang melihat itu hampir saja memberinya bogeman.

Pria itu memicingkan matanya saat menatap Kirey. "Tergigit?"

Kirey menggeleng. "Tidak, hanya lecet," ujarnya dengan cepat.

"Kami tidak terinfeksi," kata Austin.

"Aku tau."

Lelaki itu mengisap puntung rokoknya yang terakhir lalu dengan sengaja menghembuskannya di depan wajah Austin. Austin mengepalkan tangannya, ia benar-benar ingin menghantam wajah itu sekarang juga.

Pria berkaos putih tiba-tiba muncul dengan kapak yang siap menebas di tangannya, sepertinya dia adalah kawan lelaki ini. Raut wajahnya yang keras dan bengis berubah begitu saja saat melihat Austin dan Kirey.

"Austin?"

RUN OUTWhere stories live. Discover now