Bab 1 | Pertemuan

65 27 138
                                    

Angin terus saja bernyanyi di atas langit. Dari langit yang gelap turun rintik air yang sejuk. Semua diiringi pula dengan dedaunan yang dihamburkan angin ke udara. Daun-daun terhempas kuat, namun tetap saja membiarkan dirinya dipermainkan. Membiarkan hingga ia terkoyak dengan sendirinya. Terjatuh, hingga ke tempat yang jauh dan tiada berarah.

Semua ada di luar, jauh dari jangkauan kamarku. Di sini begitu kering, namun rintik itu seakan sudah menembus dinding kamar ini. Dinding setebal 15 cm ini seakan tak kuasa menahan dinginnya cuaca di luar sana. kamarku terasa begitu lembap dan basah. Seakan lemah dan rapuh dan tak berdaya.

Bagi kebanyakan orang inilah yang dinamakan waktu tidur terbaik. Apalagi bila tertidur di atas kasur yang tebal bersamaan dengan tebalnya selimut seperti yang kupakai sekarang. Waktu pun masih menunjukkan jam lima pagi. Pastinya hanya orang yang benar-benar punya berniat kuat saja yang mau terbangun di waktu seperti ini. Hasratku yang selalu bersembunyi dibalik selimut terus saja berbisik untuk menutup mata. Tapi aku menutup rapat-rapat telingaku untuknya, semua hal itu tak ingin tertimbun dalam pikiran.

Aku yang masih terbaring di atas kasur. Mataku cukup berat. Perlahan aku mulai mengangkat badanku, terduduk sembari melihat jendela kamar yang tak jauh dari tempat tidur. Ternyata tak seperti apa yang aku pikirkan. Suasana masih lenggang dan sunyi. Hanya rintik air saja yang menghias langit yang begitu gelap.

"Wah, belum hujan aja sudah begini," pikirku dalam hati.

Cukup lama aku terduduk, termenung sembari mendengar tetesan air dari langit. Kini, suara gerimis itu pun berganti dengan suara azan yang saling sahut-menyahut. Bersatu dengan derasnya rintik hujan di atas atapku. Aku pikir aku telah menunggu terlalu lama. Aku pun memutuskan untuk pergi saja tanpa menghiraukan rintik-rintik itu.

Aku mulai membuka pintu yang ada di depanku. Baru kubuka ratusan angin dingin langsung menyambut. Semua begitu dingin, jauh lebih dingin dibanding di dalam selimutku yang hangat.

Aku mulai melakukan langkah keluar dari tempatku. Di jalanan semua tampak begitu sunyi, tak ada satu pun yang lewat dan sesuatu yang tampak hanya sampah dan dedaunan lantaran angin dan gerimis di sepanjang malam. Semua tak ubahnya habis dijatuhkan semuanya. Dari tempatku saat ini, aku pun mampu melihat sekolahku yang tampak begitu tinggi. Tak bisa membayangkan seperti apa besarnya sekolah ini bila sudah sampai di sana.

Sebenarnya sekolah itu hanya sekolah swasta. Namun ada yang membuatnya jauh berbeda dengan sekolah yang lain. Di sekolah tersebut memberikan kebebasan dari pembayaran terutama bagi siswa yang berprestasi. Syaratnya selain siswa itu lulus secara akademi, ia juga harus mempunyai prestasi yang begitu banyak. Maka bisa dikatakan hanya yang benar-benar beruntung saja yang bisa masuk ke sana. Bila tidak, maka orang tua yang haus akan prestasi dari anaknya harus mengeluarkan uang yang tentunya tidak sedikit. Kini, aku adalah satu dari ribuan anak yang beruntung itu.

Sekolah itu sendiri didirikan oleh Biosphere Cooporation, sebuah perusahaan raksasa yang paling maju saat ini. Dengan semua kelebihannya maka bisa dibayangkan betapa mudahnya untuk mendapat pekerjaan atau pun melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Maka tak heran bila sekolah itu dianggap paling maju dan paling favorit melebihi sekolah lainnya.

Suara azan pun mulai berakhir. Entah mengapa ada sebuah perasaan yang membuat diriku harus ke sana. Mungkin itu telah menjadi kebiasaan bagi diriku. Itu pun terjadi seperti saat ini. Walau aku pun tahu bila suasana bisa berubah menjadi hujan kapan saja, aku pun memilih untuk menunaikan kewajibanku terlebih dahulu.

Mataku kini aku alihkan pada sebuah masjid putih yang berada beberapa meter di depanku. Ia tampak begitu luas. Menara yang cukup tinggi membuat ia begitu berbeda. Namun bila dibandingkan dengan gedung di sekitar, tempat itu begitu kecil. Aku pun mulai masuk mendekati. Sekilas aku pun melihat ke dalam. Seperti biasanya, jumlah jama'ah begitu sedikit. Aku pun duduk dan melepaskan tali yang mengikat sepatuku.

I am HackerUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum