prolog

9 2 0
                                    


Manusia, satu kata yang terdengar ringkas tapi tidak ada yang bisa ditebak. Manusia ibarat selembar kertas putih yang hasil akhirnya akan sesuai dengan cara pemilik menggunakannya. Lebih tepatnya lagi kertas adalah jiwa manusia. Jika kertas itu diteteskan tinta dan ditutup oleh kertas atau penutup lainnya, mungkin tinta itu akan hilang namun bekasnya akan tetap ada. Namun jika kertas itu dirusak, digunting, disobek layaknya jiwa manusia yang rentan rapuh, bahkan lem saja tak mampu untuk membuat kertas kertas itu kembali utuh seolah tak terjadi apa apa. Tapi ini bukan tentang kertas.

Mungkin pernah ada sebersit rasa yang muncul di benak kita seperti, kenapa ya dunia ga adil sama aku? Kenapa aku milih hidup di dunia ya dulu? Toh kayanya dunia akan baik-baik saja tanpa makhluk sepertiku. Orang-orang disekitarku juga pastinya bakal lebih bahagia kalo aku tidak hidup di sekitar mereka, karena kan semua problem itu kan gara-gara ada aku. Kenapa dan kenapa?

Pertanyaan-pertanyaan yang hampir tidak masuk akal itu selalu memenuhi isi kepala Cia sedari kecil. Hati kecilnya selalu ia relakan rusak tak terhingga dengan luka luka yang tak kasat mata disaat semesta berusaha keras mengoyak-oyak raga dan psikisnya. Perih, namun ini bukan tentang luka yang tak kasat mata itu. Melainkan tentang badai kehidupan yang tak kunjung menemukan titik redanya, sehingga rasa bahagia yang biasa silih berganti dengan kesedihan itu tak kunjung tiba.

Petir menggelegar dari balik dinding kamar, tampak di sudut ruangan itu seorang gadis remaja sedang bertangkup memeluk dirinya sendiri. Melamun sembari menatap langit luas dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca, membuat hatinya berangan-angan ingin dipeluknya langit itu.

"Kayanya, Tuhan nangis ya liat keadaan gue sekarang.." ucapnya sembari terus menatap langit

Lama-lama, kepalanya terasa pening dan pegal menatap langit begitu lama. Ia menatap jalanan di luar rumah, genangan air berjalan mengikuti arah kemana arus mendorongnya. Begitupun dengannya, ia ibarat genangan air tersebut.

Sudut matanya menangkap sosok yang tengah duduk di pinggir jalanan sepi ditengah tengah guyuran hujan deras itu, sama seperti apa yang Cia lakukan tadi. Ia bertangkup menyembunyikan wajahnya.

"Itu orang ga sih? Kaya orang kaya ngga.." gumamnya menyipitkan matanya.

Ia memutuskan untuk menemui sosok tersebut, sembari mengembangkan payung nya dan berlari ke arahnya.

"permisi? Kak ini hujannya deres banget, kakak ga takut masuk angin?"

Gadis itu memberanikan diri menyentuh pundak sosok berpunggung lebar itu.

"Kak?"

Sosok itu mengadahkan wajahnya menghadap guyuran hujan yang menerpa wajahnya. Ditatapnya Cia dengan mata yang terlihat sembab dengan hidung memerah.

"Enggak, Tinggalin aja"

"Lah? Ayo ke rumah gue dulu, deres banget ujannya kayanya ga berhenti sampe nanti sih kak"

Lelaki itu tidak menjawab, ia membuang tatapannya pada jalanan yang menggenang air. Bukannya meninggalkan lelaki asing itu, ia justru duduk di sebelah lelaki itu sembari mengikuti gerakannya. Lelaki itu menatap Cia bingung, maunya apa sih nih cewe?.

"Ngapain duduk? Sana, ntar lo masuk angin gua gamau tanggung jawab"

"Suka suka gue" decak Cia

Lelaki itu membiarkan gadis itu duduk di sebelahnya, Cia mengikuti gerakannya dari bertangkup, mengadah, menunduk, dan lain lain.

"Gausah ikutin gua." decak lelaki itu.

"Pd banget lo orang"

"Lagian ngapain sih duduk di jalan, ujan ujanan lagi. Kaya orang gila aja"

"Emang udah gila" tukas lelaki itu

"HAH? LO BENER GILA?" Cia melongo menatap serius lelaki itu.

"Iya gua bener gila, makannya pulang sana gausah deket deket gua"

"Gila kok ngaku gila" cicit Cia sembari menggoyang goyangkan kakinya

"Kedinginan? Sana neduh"

"Ngga, gue mau gila disini bareng lo"

Skakmat. Lelaki itu kini kehabisan kata-kata.

"Lo sering kaya gini?"

Lelaki itu hanya diam, menatap langit mendung sembari memejamkan kedua matanya. Cia menjadi salah fokus dibuatnya.

"Gausah liatin gua."

Cia terkejut kemudian membuang tatapan nya pada jalanan.

"Oh ya, gue lupa perkenalan diri. Gue Alcia Crysa, panggil aja cia"

"Aci?"

"CIA. C-I-A bukan aci" Cia menatap galak lelaki itu.

"Oh, Gua Haris Ivander Anantha, panggil aja Haris"

Hening. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir dua insan itu.

"Lo sering kaya gini?" pertanyaan itu kembali dilontarkan Cia sembari menatap teduh kedua mata Haris.

"Iya"

"Kenapa?"

"Biar gada yang tau kalo gua lagi sedih"

"Kok bisa gitu?" Cia tampak bingung dengan pernyataan lelaki itu.

"Hujan nutupin semuanya. Suka,luka, dan juga duka. Tepatnya, banyak yang pengen Gua ceritain ke tuhan lewat hujan" tutup Haris. Otak Cia yang tak sampai pada kata-kata yang diucapkan Haris itu pun hanya bisa terdiam dan terus mengolah kata-kata itu.

•••

AnguishWhere stories live. Discover now