PROLOG

1K 69 10
                                    


Dengan jantung berdebar, Auva Zavijava tidak berani mengalihkan pandangan dari perempuan yang sudah dua menit tidak bersuara. Tangannya dengan lincah mengocok kartu, menarik satu dari tumpukan, membaliknya, sebelum dia meletakkannya di atas meja. Sesekali dia bergumam, tetapi fokusnya tidak terganggu oleh suara kipas angin yang disetel cukup kencang.

"Masa depan kamu cerah," ucap perempuan yang tampilannya sering dilihat Ava di film-film mengenai kaum gipsi. Perbedaannya hanyalah dia bisa bicara bahasa Indonesia dengan lancar dan punya wajah yang sangat Indonesia. "Cuma dari kartu ini, saya lihat akan banyak godaan yang bisa membuat mimpi-mimpi kamu jadi jauh." Perempuan itu lantas mengangkat wajah, memberikan tatapan setajam ujung pedang. "Saya melihat banyak sekali Virgo di kartu yang ada di sini."

Ava menelan ludah. Sejak masuk ke tenda ini, dia sangat yakin belum mengutarakan tanggal lahir atau zodiaknya. Fakta bahwa perempuan di depannya ini bisa mengetahuinya spontan menaikkan bulu kuduk Ava.

"Saya memang Virgo."

Dia kembali bergumam diiringi senyum menyeringai yang semakin menguatkan kesan mistis. "Bumi. Tanah. Mother earth," ujarnya pendek. Tangan perempuan itu mengetuk satu kartu hingga mata Ava pun mengikutinya. "Kerja keras, pantang menyerah. Itu harus jadi moto hidup kamu." Matanya lantas terpejam. Dari mulutnya keluar kata-kata, "Daftar. Majalah. Makanan."

Empat kata tersebut terucap cukup lirih, tetapi cukup untuk sampai di telinga Ava.

Ava mengangkat kedua alisnya, bingung dengan kalimat pendek yang didengarnya. "Maksudnya gimana?"

Gelang-gelang di kedua pergelangan tangan perempuan yang ditaksir Ava berusia 30-an itu saling bersinggungan, menimbulkan bunyi gemerincing ketika meletakkan kedua lengannya di atas meja. Begitu matanya terbuka, tubuhnya ikut condong sedikit. "Kalau kamu ingin sukses, kamu harus membuat daftar. Tulis semua yang ingin kamu capai, baca setiap malam sebelum kamu tidur dan pagi ketika kamu bangun." Tangan kanannya mengangkat satu kartu, membaliknya agar bisa dilihat Ava seraya berujar, "Karir kamu akan besar di dunia majalah yang berkaitan dengan makanan." Dia meletakkan kartu itu ke tempatnya semula.

"Saya itu maunya kerja di observatori kayak Papa," tukas Ava digelayuti kesal. "Bukan kerja di majalah."

Senyum yang terpasang di wajah pembaca kartu tarot itu tidak bisa dibilang ramah, tapi juga jauh dari kesan sadis. "Kamu masih kecil, jalan kamu masih panjang. Mimpi kamu bisa berubah dalam," dengan cepat, dia menghasilkan suara dengan menggesekkan ibu jari dan telunjuknya, "hitungan detik."

"Jodoh saya gimana?" Ava memang datang ke sini karena ingin tahu tentang Kevin, kakak kelas yang sudah ditaksir Ava sejak dua tahun lalu. "Saya udah naksir cowok dua tahun, tapi dia kayaknya nggak peduli."

Tawa yang mengisi tenda terdengar memekakkan telinga hingga Ava dia bergidik. Menggerutu, dia merasa tidak ada yang salah dengan pertanyaannya.

"Akan ada saatnya kamu jatuh cinta. Masih belum waktunya kamu peduli tentang pasangan hidup." Dia menunjuk satu kartu, membuat pandangan Ava mau tidak mau bergerak ke arah yang sama. "Kamu akan sering patah hati, tapi itu karena kamu tahu apa yang kamu cari dari seorang pria. Untuk pria yang kamu taksir sekarang, kakak kelas, kan?" Dia menggeleng. "Dia cuma akan bikin kamu kecewa."

Sekali lagi, Ava dikejutkan oleh informasi yang belum disampaikannya tersebut. Berdeham pelan, dia memutuskan agar tidak terlihat kaget. "Anda kan bukan Tuhan yang tahu isi hati orang atau masa depan!" balas Ava dengan kedongkolan yang semakin bertumpuk.

"Tapi kamu tetap di sini," balasnya tenang dan penuh kemenangan. "Kalau memang kamu tidak percaya, kamu pasti sudah pergi dari tadi."

"Sekarang saya beneran pergi. Makasih!"

Setelah memasukkan selembar uang dua puluh ribuan ke dalam bejana yang memang dijadikan tempat uang, Ava keluar dari tenda dengan mengentakkan kaki.

"Dia pikir siapa nyuruh-nyuruh aku buat lupain Kevin?" Ava bersungut sembari menyibakkan pintu tenda dan kembali ke keramaian pasar malam yang riuh.

"Ava!" panggilan itu membuat Ava menoleh. Mengentakkan kaki, dia menghampiri Yuni, teman satu kelas yang membujuknya agar menemui pembaca tarot. Wajahnya tampak masam hingga senyum yang sebelumnya terpasang di wajah Yuni, berangsur pudar.

"Kok muka lo kusut banget gitu? Emang dia bilang apa?" todong Yuni langsung.

Menyilangkan lengan di dada, gerutuan Ava masih belum juga hilang. "Masak dia nyuruh aku buat lupain Kevin? Katanya Kevin cuma bikin aku kecewa." Ava mendengus keras. "Sok tahu banget!"

"Terus dia bilang apa lagi?" tanya Yuni penuh keingintahuan.

"Udah, ah! Nggak penting banget dia ngomong apa lagi. Nonsense pokoknya! Palingan juga dia ngomong hal yang sama ke semua orang yang datang ke tendanya." Dengan tidak sabar, Ava membetulkan letak tas yang dicangklongnya. "Kita mau ke mana lagi? Aku laper."

"Ada tenda mi ayam yang enak, tuh! Gue kemarin makan di sana. Murah lagi."

"Ya udah, yuk!"

Mereka berdua lantas berjalan menjauh dari tenda yang tidak ingin lagi dilihat Ava.

"Eh, ada Kevin, tuh!" celetuk Yuni saat mereka hampir mencapai tenda Mi Ayam Bang Habib sambil mencengkeram lengan Ava dan mengarahkannya ke arah Kevin yang sedang berdiri memegang arum manis berwarna merah muda.

"Ya ampun, dia ganteng banget, Yun!" puji Ava yang langsung terkesima mendapati Kevin yang hanya mengenakan kaus putih, jin hitam, dan jaket denim biru tua. Rambutnya terbelah sempurna di tengah, sementara Ava tidak segan memandangi wajah yang jauh lebih cocok menjadi pemenang Coverboy majalah remaja dibanding cuma jadi siswa biasa.

"Samperin!"

Tanpa menunggu Yuni menyelesaikan kalimat, Ava sudah melangkah maju. Namun ayunan kakinya mendadak berhenti begitu matanya menangkap perempuan lain yang mendekati Kevin. Melihat dari gerak-gerik mereka, Ava tahu perempuan itu pastilah sosok spesial karena detik berikutnya, Kevin menyodorkan kembang gula yang ada dipegangnya sebelum meraih tangan perempuan berambut sebahu itu dalam genggamannya.

Ava tidak bisa bereaksi. Dia hanya diam mematung sementara pandangannya mengikuti Kevin dan perempuan misterius itu hingga keduanya hilang ditelan kerumunan. Kalimat pembaca tarot kembali terngiang di telinganya.

Dia cuma akan bikin kamu kecewa.

Ava hanya bisa menelan ludah menyadari kalimat tersebut menjadi nyata dalam waktu singkat.


***

Halo semuanya, 

Seperti saya janjikan, ini adalah bab pembuka dari Foolish Games. Gimana menurut kalian dari pembuka ini aja? Kasih tahu, ya.

Semoga tahun baru kalian semalam menyenangkan!

Foolish GamesWhere stories live. Discover now