01. Hal Yang Tertinggal

Start from the beginning
                                    

Kepulan debu tipis langsung menyapa ketika pintu terbuka. Cipto tersenyum lalu membukakan pintu lebih lebar, mempersilakan Batari untuk masuk.

Tanpa ragu, Batari melangkah masuk ke dalam ruangan yang mungkin luasnya hanya 4x4 m saja. Ia mengedarkan pandangan setelah Cipto menyalakan saklar, membuat lampu temaram menyala dan menerangi ruangan tersebut.

"Ini tempat apa, Bah?"

Batari mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Apa ini gudang? Tapi disini begitu sesak dengan benda-benda tua nan antik yang menawan mata. Menakjubkan.

Memang betul ruangan terbengkalai ini dulunya adalah gudang, namun sudah Cipto sulap menjadi tempat berisikan benda-benda tua nan bersejarah setelah dirinya mengalami perpindahan masa pada waktu tertentu.

Cipto kembali tersenyum dan ikut masuk. Ia menuju sebuah rak buku dan mengambil sebuah kotak kayu jati dengan ukiran yang begitu unik. Setelahnya, ia perlihatkan pada Batari.

 Setelahnya, ia perlihatkan pada Batari

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ini apa, Bah?"

Cipto menarik kursi dan menyuruh Batari duduk. "Sini, buka sama Riri"

Batari menurut. Ia duduk di kursi dan berhadapan dengan meja yang diatasnya tertata beberapa benda klasik lainnya.

"Nih, buka sama Riri" Ulang Cipto seraya menaruh kotak kayu berukuran 30x20 cm itu dihadapan cucunya.

Dengan seksama, Batari memandangi dan meraba pahatan kayu tersebut. Keren. Lalu dipojok kanan bawah itu tertera sebuah angka.

"Ini dari taun.. 1919 Bah?" Pekik Batari tak percaya. "Berarti udah 100 taun lebih atuh?" Sambungnya.

Cipto terkekeh pelan melihat ekspresi terkejut Batari, menggemaskan. Kemudian ia duduk ditepi meja sembari menunjuk kotak kayu tersebut.

"Kotak kayu ini awalnya tempat rempah-rempah buat dijadiin obat. Abah dikasih dari anggota kerajaan Surakarta dulu" Jelasnya.

Sebelah alis Batari mencuat ke atas. Ia memperhatikan sepuluh jarinya, seperti sedang menghitung sesuatu. Lalu menatap sang kakek bingung.

"Taun 1919? Emang Abah udah lahir gitu? Kan belum" Terka Batari berusaha berpikir logis.

Cipto tertawa lepas mendengar ucapan lugu Batari. Lalu ia mencubit ujung hidung cucunya. "Itu rahasia"

Batari berdecak kesal. "Abah mah, masa sama Riri main rahasia-rahasiaan. Engga rameh ah Abah mah" Rajuknya.

Beginilah jika Batari menghabiskan waktu bersama sang kakek, bisa melupakan beban yang sedang ia tanggung. Contohnya seperti sekarang ini, Cipto bisa membuat cucunya anteng dengan memperlihatkan koleksi benda-benda tua miliknya. Tapi untuk soal ruangan ini, Batari baru mengetahuinya sekarang.

"Udah, sekarang buka aja kotaknya"

Batari mengangguk singkat dan perlahan membuka kotak kayu tersebut. Benda pertama yang dilihatnya adalah sebuah arloji tua. Meski tua, jarum di dalamnya masih berputar. Bahkan waktunya sama seperti jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri Batari.

Setelah Batari mengambil arloji tadi, nampaklah beberapa lipatan kertas juga lembaran foto tua yang sudah menguning disana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah Batari mengambil arloji tadi, nampaklah beberapa lipatan kertas juga lembaran foto tua yang sudah menguning disana. Diambillah selembar foto tersebut dan Batari perhatikan beberapa orang di dalamnya. Rupanya itu adalah foto pernikahan. Tapi tunggu, kenapa mempelai wanita yang mengenakan pakaian adat jawa itu mirip sekali dengan ibunya ketika masih remaja?

"Bah, ini Mama?" Pekik Batari kaget.

Cipto yang sedang membuka sebuah buku, melirik foto yang Batari tunjukkan. Dengan santainya ia berdalih. "Oh, itu cuma mirip aja"

Dengan lugunya pula, Batari mengangguk. Membuat Cipto tersenyum dan menepuk puncak kepala gadis itu. Kemudian Batari melihat foto berikutnya. Disana ada beberapa orang yang berfoto di depan sebuah rumah megah berwarna putih.

Mulai dari pojok kiri, ada dua pemuda tampan kembar yang memakai pakaian adat jawa lengkap dengan blangkon di kepala mereka. Lalu disebelahnya ada gadis bule dengan rambut pirang berkepang dua, meski bule ia mengenakan kebaya juga jarik. Lalu disampingnya ada perempuan bule berambut panjang mengenakan dress putih selutut.

Disebelahnya lagi ada anak kecil laki-laki bule memakai topi baret abu sambil membawa sebuah boneka beruang putih. Lalu dipinggirnya ada gadis pribumi manis bergelung, memakai kebaya dan jarik sedang menadah anak ayam berwarna kuning. Kemudian diurutan terakhir atau paling kanan, ada seorang pemuda bule yang memakai atribut tentara lengkap dengan helm bertengger di rambutnya yang agak pirang.

Tunggu dulu. Tapi, kenapa wajah gadis bergelung itu mirip sekali dengannya? Apa hanya kebetulan mirip saja? Sepertinya sih begitu.

"Ah, cuma mirip aja ini mah" Lirih Batari yakin dengan pelan.

Kini tatapannya teralih pada pemuda berpakaian tentara disamping gadis bergelung tadi. Batari semakin memicingkan matanya memperhatikan sosok tampan tersebut hingga..

Allahuakbar.. Allahuakbar..

Tak lama kemudian, terdengar suara kumandang adzan bergema diluar sana membuat Cipto bangkit dari duduknya. "Udah adzan. Liat-liatnya dilanjut nanti aja" Ucapnya.

"Nanti, Riri boleh kesini lagi kan Bah?" Tanyanya sumringah.

Cipto mengangguk seraya mengusap rambut bergelombang Batari. "Ya boleh atuh. Yuk, sekarang Riri mending istirahat dulu sama yang lainnya"

Batari mengangguk. Ia berlalu setelah Cipto mengunci ruangan tersebut dari luar dan kembali masuk ke dalam rumah. Bersamaan dengan itu, suara benda jatuh terdengar dari dalamnya tanpa diketahui siapapun.

Kini, kotak kayu yang seharusnya berada diatas meja sudah berada di lantai. Berserakan menumpahkan isinya. Memperlihatkan selembar foto yang terakhir kali Batari lihat tadi.

Hingga ada sebuah tangan kekar seputih susu terulur meraih untuk mengambil foto tersebut dari lantai dan..

Plip.

Tiba-tiba lampu padam dengan sendirinya, membuat seisi ruangan itu gelap gulita.

*****

Abah : Kakek (b.sunda)

*****

reginanurfa
-07012023-


BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Where stories live. Discover now