37. Sikap Tyo Yang Aneh

Start from the beginning
                                    

Diana mengangguk-angguk. “Kalau begitu saya akan mengambil kesimpulan kalau Bapak masih berharap hukum berpihak pada Bapak?”

Sang walikota menggeleng. “Hukum berpihak pada kebenaran, itu saja. Sekalipun Ning adalah keponakan istri saya, jelas dia punya motif untuk menghancurkan nama baik saya. Seharusnya dia tidak melakukan itu, mengingat semua yang sudah saya dan bibinya lakukan. Kami sudah memperlakukan dia dengan baik, tapi dia malah melemparkan tuduhan entah apa. Bisa saja dia hamil dengan pacarnya, kan? Kenapa saya dibawa-bawa? Seperti masalah saya tidak cukup berat saja setelah anak saya juga tertimpa musibah dan terpaksa membuang waktu juga masa mudanya di penjara.”

Diana memasukkan satu poin penting di catatannya. “Jadi, tuduhan yang diarahkan kepada Bapak adalah musibah yang disebabkan oleh tuduhan Ning, ya, Pak? Bagaimana kalau polisi ternyata membuktikan Bapak bersalah, seperti putra Bapak yang kini harus bertanggung jawab dan menghabiskan waktunya di tahanan? Apakah itu musibah, atau sebuah konsekuensi yang harus dijalani?”

Tatapan sang walikota sedingin es. “Biar hukum yang bicara, Mbak Diana. Saya tidak ingin menyampaikan pendapat pribadi saya saat ini karena media jelas memojokkan saya dan membuat seolah-olah Ning yang benar. Kita tunggu saja hasil sidang nanti. Oke? Apa kita selesai?”

Diana mengangguk. “Sudah, Pak. waktu lima belas menit yang saya minta sudah habis, jadi kita selesai sekarang. Terima kasih untuk kesempatan yang Bapak berikan.”

“Tolong ingat, berita berimbang, tidak berat sebelah ya, Mbak Diana?”

Senyum mengembang di bibir Diana. “Tentu, Pak.” Dia bangkit dan mengulurkan tangan untuk berjabatan. “Wawancara yang luar biasa, saya akan tulis sebuah artikel paling berimbang yang bisa Anda dapatkan, Pak. Selamat siang.”

*****

“Lo yakin, dia salah, Di?” tanya Bejo sambil memasukkan tripodnya ke bagian belakang mobil.

Diana mengangguk. “Yakin. Cuma, dia kayaknya enggak merasa bersalah, sih,” jawabnya. Dia mengambil ponsel dan mengerutkan kening, menyadari kalau komunikasi terakhirnya dengan Tyo adalah dua hari lalu, tepatnya, saat latihan bela diri.

Ke mana Tyo? Bukankah dia berjanji akan menghabiskan waktu dengan Diana selama satu bulan penuh, sebelum bulan depan akan sangat sulit dihubungi? Keras, dia menghela napas. Ada yang berubah dari pria itu, dan entah kenapa, dia merasa kalau kesalahannyalah penyebabnya. Tyo terkesan lebih pendiam, jarang bicara, dan sering membuang pandangan ke arah lain saat bicara dengannya. Diana yang semula ingin bermanja-manja dan merayunya dengan genit usai latihan, akhirnya mundur teratur karena langsung mendeteksi tembok pemisah tak kasat mata yang dibangun Tyo.

Sekarang, kegalauannya sudah di tahap maksimal. Dia rindu Tyo, tapi juga sebal karena sikap pria itu. Sepertinya dia harus mencarti tahu dulu sebelum bisa menemui tyo lagi, supaya tidak ada kesalahan sama yang diperbuat.

“Jo, gue mau tanya.” Dia berkata pada Bejo.

“Nanya, deh.”

“Uhm … cowok mendadak pendiem dan males ngelihat ke arah pacarnya, itu gara-gara apa?”

Bejo mengerutkan kening. “Lo nanya begituan?” tanyanya, heran.

Diana menatapnya, polos. “Iya. Napa?” Dia balik bertanya.

Bejo mengedip cepat. “Lo yang sering pacaran, ngapain nanya ke gue yang kawin aja gegara dijodohin? Harusnya lebih tahu lo, kali, Di.”

Diana berdecak. “Iya, gue pengalaman pacaran. Tapi, seumur hidup gue itu cewek, mana ngerti gue, pikiran cowok? Udah, jawab aja. Kalo lo tetiba diemin bini lo, itu kenapa?”

Bejo menghela napas. “Banyak alasan, tapi gue enggak pernah diemin bini gue, kali.”

“Misalnya, Bejooo!” Diana gemas.

“Sori.” Bejo cengengesan. “Oke, kalo sampe gue diemin bini gue, mungkin karena bikin gue kesel, atau dia enggak pengertian, gue baru balik kerja, langsung disuruh masak sendiri. Tapi bini gue enggak pernah gitu, ya? Ini misal.”

“Iya!”

“Atau, bisa aja, gue enggak suka sama omongannya, tapi karena takut dia sensi, gue enggak bisa bilang gue enggak setuju, jadi mendingan gue diem. Gitu.”

Diana tercenung. Apakah yang terjadi? Ada ucapannya yang salah dan menyinggung Tyo, tapi pria itu tidak yakin untuk mengungkapkan perasaan tidak sukanya?

Ah, sial! Apa sih yang dia omong waktu itu?

Sebuah pesan masuk, dan Diana hampir bersorak melihat siapa pengirimnya. Tyo! Apa pria itu menduga kalau Diana resah karena sikapnya, dan memutuskan untuk menghubungi Diana? Ah, kita lihat saja. Antusias, Diana membuka pesan itu.

Tyo, My love   :     “Apa kamu tahu, di mana kunci deposit box Pak Aryo?”

Diana mengerutkan kening dan tanpa sadar menyentuh kunci yang jadi liontin kalungnya. Cepat dia mengetikkan jawaban.

Me          : “Tahu. Ada sama aku.”

Terlihat Tyo langsung mengetikkan balasan.

Tyo, My Love  :     “Apa kamu bisa ketemu aku di bank tempat deposit box itu besok pagi? Aku akan berdandan ala Arab dan memakai kacamata hitam. “

Diana tertegun. Dia cepat-cepat mengirimkan balasan.

Me               :     “Bagaimana dengan penguntit itu?”

Tyo mengetik.

Tyo, My Love  :     “Aku sudah tahu siapa orangnya. Kamu datang ke bank setelah sarapan di sembarang tempat saja, di mana kek, jadi dia enggak tahu pergerakan kamu.”

Diana tercenung.

Me               :     “Oke. Aku kabari kamu, kapan tepatnya aku sampai ke situ.”

Tyo, My Love  :     “Oke, sampai besok.”

Diana tertegun. Sampai besok? Jadi hari ini Tyo tidak akan menemuinya? Jengkel, dia langsung mengirim pesan lagi.

Me               :     “Kita enggak ketemu hari ini?”

Jawaban Tyo datang dengan cepat.

Tyo, My Love  :     “Aku enggak bisa. Besok saja.”

Beberapa saat Diana termangu. Kenapa bahkan pesan Tyo terlihat dingin? Seperti ada yang tidak beres. Kesal, Diana memasukkan ponsel ke saku. Tidak perlu menjawab lagi, apalagi sampai mencari tahu kenapa Tyo jadi aneh begitu. Diana tidak punya waktu.

Ponselnya kembali berbunyi, dan kali ini ada telepon masuk. Diana memeriksa nomor si pengirim dan mengerutkan kening. Cepat dia menggeser tombol jawab. “Halo?”

“Halo,” sapa suara wanita di seberang. “Saya Tina, asisten Bapak Bramantyo, ingin mengkonfirmasi soal janji wawancara besok?”

Diana tertegun. “Uhm … ya. Silakan.”

“Pak Bram akan menemui Anda di rumahnya, alamatnya akan saya kirimkan, dan tolong, janagn terlambat atau melebihi waktu yang ditentukan.”

Diana tersenyum geli. “Oke, saya akan datang tepat waktu.”

Sang asisten, Tina mengucapkan terima kasih dan langsung memutus panggilan. Untuk beberapa saat Diana termangu, masih tidak percaya kalau dirinya begitu beruntung bisa mewawancara tokoh yang paling sulit diwawancara itu.

Bramantyo. Mari kita lihat, seberapa banyak keterlibatannya.

BERSAMBUNG

So, buat kalian yang belum sempet ikutan giveaway berhadiah masing-masing 250 koin Wattpad untuk dua pemenang, kesempatan masih ada ya. Cukup dengerin podcast eike Dear Precious Me di Spotify, dan jawab pertanyaan di episode Versi Diriku Yang Lebih Baik atau Selamat Hari Ibu lalu posting jawaban di IG dengan #dearpreciousme dan tag akun @winnyraca atau langsung DM aja.

Ditunggu ya.

Buat yang mau baca cerita ini lebih cepat, langsung ke Karyakarsa, di sana udah sampe tamat.

Makasih banyak buat kalian yang setia ngikutin cerita ini.

Winny

Tajurhalang Bogor 26 Desember 2022

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now