36. Kekecewaan Tyo

Start from the beginning
                                    

“Pak Bram,” sapa Hadi sambil mendekat dengan senyum lebarnya. “Waduh … kehormatan besar!”

“Pak Hadi, apa kabar?” Bram menyambut lengan sang pengusaha dan membiarkannya memberi sedikit pelukan akrab. “Kalau saya enggak minta waktu ketemu, pasti susah ketemu Pak Hadi.”

Hadi tertawa. “Kalau untuk Pak Bram, pasti akan saya berikan waktu. Ngomong-ngomong, saya baru sadar kalau Pak Bram ini enggak pernah tambah tua, ya? Sudah berapa lama sejak terakhir kita ketemu? Enam tahun? Tapi … Bapak masih seperti dulu saja.”

“Wah … ini menyindir atau minta dipuji balik, Pak?” Bram mengangkat sepasang alis tebalnya, memberikan ekspresi jenaka. “Karena yang pantas menerima pujian justru Pak Hadi. Lihat saja, gagah, tampan, yang jelas, terlihat kaya.”

“Bisa saja.”

Kedua orang hebat itu sama-sama tertawa, sementara di tempatnya, Tina dan Priyo, para aisten setia, hanya menyimpan senyum sinis di benak masing-masing. Alangkah munafiknya orang-orang besar ini, melemparkan senyum dan pujian, padahal di belakang punggung mereka masing-masing menyimpan senjata untuk menikam lawan.

*******

“Langsung saja,” Bram menyeka bibirnya saat selesai makan, dan menaruh saputangan yang digunakan di atas meja setelah melipatnya, rapi. “Saya ingin bertanya, apa ke depannya Pak Hadi punya keinginan bergabung dengan koalisi kami?”

Hadi tercenung. Dia meraih saputangan lain yang disediakan kepala pelayan dan menyeka mulutnya seperti Bram. “Saya tidak paham. Gabung untuk?”

Bram berdeham. “Negara kita akan segera menyelenggarakan hajatan besar. Akan butuh banyak orang hebat dan juga dana yang siap dipergunakan demi kepentingan nasional. Apakah Anda tidak ingin menjadi bagian dari itu?”

Beberapa saat Hadi terlihat menimbang. Seperti Bram, dia juga melipat saputangan yang selesai dipakai, dan menaruhnya rapi di atas meja. ”Mengenai dana untuk digunakan demi kepentingan nasional, well, kalau memang diperlukan, sebagai warga negara tentu saya bersedia memberikan. Sesuai dengan jumlah kewajiban saya tentunya. Tapi, sejujurnya saya sudah tidak lagi tertarik pada dunia politik.”

Bram mengangkat sebelah alisnya, elegan. “Bahkan kalau saya memberi tahu Anda, ada satu posisi yang membutuhkan Anda kalau calon kita nanti menang di pilpres?”

Hadi tersenyum. “Istri saya sangat marah saat terakhir kali saya memilih jalur politik. Katanya, saya kehilangan arah dan akal sehat, karena akar saya adalah bisnis, bukan politik. Rumah tangga kami hampir bubar, Anda pasti tahu itu, bukan? Beritanya ada di mana-mana. Jadi, kalau risikonya adalah kehilangan keharmonisan rumah tangga, saya akan memilih … tidak. Terima kasih.”

Bram mengangguk. Jadi begitu, pengusaha di hadapannya ini ingin menunjukkan kalau dirinya tidak lagi berminat pada politik, dengan alasan rumah tangga. Namun, siapa yang akan memercayai alasan itu? Siapa pun yang pernah mencicipi peluang untuk berkuasa, tidak akan pernah mampu melupakan eforia yang ditimbulkan saat kemungkinan menduduki puncak sudah hampir ada di tangan. Orang lain mungkin percaya pada kalimat yang terdengar tegas dan disampaikan dengan ekspresi penuh kesungguhan dan polos itu. Tapi, Bram bukan salah satunya. Jelas, Hadi hanya sedang menimbang, perlu atau tidaknya dia nimbrung di kancah politik kali ini, dan pihak mana yang akan menjadi tunggangannya. Dasar licik.

******

“Kenapa, Mas?” Yoyo, sepupu Tyo yang bekerja sebagai satpam, bertanya saat melihat sepupunya yang tampak murung.

Tyo menghela napas. “Enggak, mumet aja sedikit,” jawabnya. Dia meraih sebatang rokok, menjepitnya dengan bibir, dan mulai menyulutnya. Tapi, dengan gesit Yoyo merebutnya, lalu mematikan rokok yang sempat tersulut.

“Berhenti merokok itu sulit, Mas. Jadi, jangan dimulai lagi,” tegurnya. “Kamu kan sudah pacaran dengan Diana, dan sebagai pacar, kamu harus menghargainya dengan menjaga kesehatan sebaik-baiknya.”

Tyo terkekeh. Yoyo tidak tahu saja, justru perempuan itu yang membuatnya mendadak ingin merokok untuk pertama kali setelah sekian lama berhenti. “Enggak usah sok tahu,” katanya. Namun, dia menghargai perhatian Yoyo, dan melemparkan satu-satunya batang rokok yang tadi dibelinya ecer di warung itu ke tempat sampah.

Yoyo memperhatikan parasnya dan tertawa kecil. “Capek, ya, Mas? Karena tugas intel, atau karena pacaran dengan Diana?”

Tyo mendengkus. “Enggak usah nebak-nebak,” ketusnya.

Tawa Yoyo berderai. “Astaga … sensinya.” Dia bangkit dan menepuk bahu sepupunya yang terlihat lelah itu. “Perempuan cantik itu katanya memang memerlukan atensi lebih, ya, sepadanlah dengan kecantikannya. Terima saja, kan, Mas sendiri yang milih buat macari dia?”

Tyo mendengkus. Dia mengamati sepupunya yang berjalan menuju kompor lalu menjerang air. “Mau apa, Yo?” tanyanya.

“Bikin kopi,” sahut Yoyo. “Oh, Mas nginep, kan?”

Tyo menimbang sejenak, tapi, kemudian ponselnya berbunyi dan menampilkan pesan dari seseorang yang tak terduga. Ekspresinya berubah waspada.“Eh … kayaknya aku mesti cabut sekarang, Yo. Enggak usah bikin kopi buatku,” katanya sambil bangkit.

Yoyo mengerutkan kening. “Lho, bukannya mau nginep, Mas?”

“Enggak jadi, maaf. Tugas.” Tyo menyambar jaket dan bergegas meninggalkan tempat itu. Setelah beberapa saat, dia sudah ada di salah satu bagian tersibuk Jakarta, berdiri dalam naungan atap lobi stasiun di sebelah seorang pria bertampang sangar meski bertubuh kurus dan kecil.

“Hati-hati, Ceng. Orang yang kamu cari adalah salah satu petugas desersi. Kemarin kita dapat info, kemungkinan dia punya jaringan kuat di kesatuan,” kata pria itu dengan suara rendah.

Tyo termangu. Jadi begitu? Pantas saja, dia sedikit kesulitan mendapatkan informasi soal penguntit Diana.

BERSAMBUNG

So, eike udah nepatin janji ya. Apdet Rabu dan Jumat. Sampe ketemu di episode berikutnya, jangan lupa, tetep dengerin podcast eike di Spotify, Dear Precious Me. Dan buat yang pengen baca lebih cepet, silakan langsung ke Karyakarsa,  di sana udah tamat.

Makasih semuanya.

Winny
Tajurhalang Bogor 23 Desember 2022

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now