1. Rasa

215 21 2
                                        

"Benci gue. Ganggu banget."

"Mati aja lah!"

"Siapa sih yang mau sambut kehadiran lo? Si sok pintar pelaku perundungan? Wah, mendengarnya saja sudah membuatku takut hahaha."

"Lo tuh gak guna."

"Gak penting."

"Gua gak pengen ngeliat muka lo lagi besok! Gak usah coba-coba ngintip ke sekolah lagi kapanpun!"

"Awas aja lo."

Suara-suara itu terdengar jelas menemani Solar di malam tanpa cahaya.

Ia duduk melengkup sendiri di lantai kosan, berusaha bersembunyi dari pandangan publik yang terus membelenggu pikirannya.

Rantai yang terasa permanen mengikat erat tubuh Solar setiap waktu.

Solar diam tak bersuara.

Ia tak sanggup memberikan penolakan apapun.

Kosan yang seharusnya hening di malam pukul 11 ini untuk hidupnya sangatlah berisik. Tidak terlewat sedikitpun suara bak CD rusak yang berputar tanpa henti.

Solar ingin sekali berlari dari tempat ini, tetapi ia tidak punya siapapun.

Ia tidak punya keluarga yang mengingatnya dan ia pun berada dalam keterbatasan finansial.

Dunianya sekarang semakin bagai neraka. Bahkan ketika suara air keran terus mengucur deras dari keran wastafel, ia seperti tidak mendengarnya.

"Lo masih hidup gak sih? Jawab dong!" Suara desakan kembali terdengar dari ponsel yang berada tepat di sebelah kanan tubuhnya.

Solar akan merasa sangat lega jika suara kasar itu dilontarkan dari satu orang. Setidaknya, ia tidak dibenci sebanyak itu. Namun, nyatanya ada sekitar 9 suara berbeda dari balik ponsel yang tersambung dengannya sekarang.

"Diem-diem ae. Kalo masih hidup ya ngomong!" minta paksa salah seorang.

Permintaan yang berulang diucapkan.

Ia bisa menangkap apa yang lawan bicaranya ucapkan, tetapi otaknya tidak bisa berpikir jernih.

Tangannya pun tak bisa diajak bekerja sama.

Ia tak sanggup membalas atau langsung mematikan telepon yang masih tersambung itu. Solar bak membiarkan telinganya terus dicambuk hingga berdarah-darah tak keruan.

"Matiin aja dah telponnya. Males banget gak ada balasan."

"Paling juga udah mati."

"It's party time! Yey!!!"

Telepon itu pun akhirnya berhenti terhubung.

Tidak ada lagi suara macam berandalan tengah malam yang akan mengganggu pikiran setidaknya hari ini.

Ruangan Solar seketika hanya diisi oleh suara air yang mengalir tiada henti.

Matanya perlahan terbuka, menatap lantai yang sepi.

Pikirannya kosong. Ia baru menyadari air keran itu sekarang.

Kepalanya pun memilih mendongak untuk melihat apa yang tergeletak di atas meja. Terdapat pisau tajam ditemani oleh berbagai keperluan sekolah dan apel yang belum juga dikupas.

Tidak. Solar tidak akan menyentuhnya.

Ia mulai bangkit dari lantai yang dingin itu. Bergetar terasa. Tubuhnya tidak begitu mampu untuk bergerak sedikit saja dalam waktu dekat.

Solar hampir terjatuh oleh kakinya sendiri.

Pikirannya kacau balau. Ia jelas keliru memikirkan berbagai kemungkinan terburuk yang dalam hatinya merasa bahwa keputusannya ini akan menyelamatkan ia dari neraka dunia.

Drop Outحيث تعيش القصص. اكتشف الآن