"Aturan apa?" Mengerang kesal, Phoenix merasa tidak lapar lagi. Berdebat dengan Atlas benar-benar membuatnya kenyang.

"Lo nyiapin makanan." Atlas berdecak kesal. "Lo bukan anak kecil lagi! Kenapa itu aja lupa?"

Phoenix melebarkan mata. Hanya perkara pesan Libra dan Jupiter tentang pekerjaan rumah yang mereka bagi. Phoenix bagian dapur sedangkan Atlas bersih-bersih.

"Aku nggak tinggal di rumah kamu sementara ini. Artinya jalani hidup sendiri-sendiri!" sela Phoenix cepat.

Atlas memandang Phoenix tajam tanpa mengeluarkan suara. Phoenix balas memandangnya dengan berani meski jantungnya berdebar-debar. Jelas dia takut jika Atlas menyakitinya. Seperti yang sudah-sudah, mencekik lehernya dan mencengkeram rahang.

Tersenyum miring merendahkan Phoenix. Atlas tidak salah menilainya. Dia adalah gadis naif. "Menyedihkan!" makinya.

Phoenix berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. "Terserah kamu ngomong apa. Aku nggak mau kamu ada di sini lagi! Habis makan silahkan pergi!"

"Kenapa lo yang ngatur?"

"Ini bukan rumah kamu!" Phoenix frustasi.

"Kita bersaudara, bukannya ini rumah gue juga?"

Phoenix menganga tidak percaya. Memegang kepala pusing. Tertawa garing, hampir saja Phoenix melupakan mereka bersaudara. Karena tidak ada jenis saudara seperti mereka. Tidak ada seorang saudara terutama yang lebih tua semena-mena pada adiknya.

"Kamu masih nganggap kita saudara?" sindir Phoenix sinis. "Nggak ada saudara macam kamu! Memojokkan saudaranya sendiri. Dijadiin seperti babu. Maksa-maksa dan ngancam!" dumelnya merangkai kejahatan Atlas selama ini.

"Kenapa nggak laporin ke mama lo dan putuskan buhungan persaudaraan ini?" tanya Atlas enteng.

Phoenix kaget lantas kembali memandang Atlas tajam. Dia tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut Atlas. Laki-laki itu yang selama ini memaksa Phoenix bungkam, dia yang merampas ponsel Phoenix dan menghapus bukti kenakalannya.

Phoenix tidak menghabiskan makanannya. Membawa piring ke wastafel dan meletakkan begitu saja. Phoenix tidak mau masalah ini panjang dan ujung-ujungnya tetap dia yang salah.

"Duduk!" Atlas melarang Phoenix pergi karena pembicaraan mereka belum selesai.

Phoenix mengabaikannya, melangkah cepat dan disertai suara Atlas meninggi.

"Phoenix!!"

Phoenix berhenti melangkah dan air matanya meluruh begitu saja.

"Siapa nyuruh lo pergi?" geram Atlas menambahkan. "Duduk!"

Memutar badannya dan mendekat. Kembali duduk di kursinya. Memandang Atlas tajam menahan amarah. Wajah dan mata Phoenix basah serta memerah.

Atlas melanjutkan makan dengan tenang. Tanpa merasa bersalah maupun terbebani telah membuat Phoenix menangis. Dia balas menatap Phoenix sambil mengunyah lalu tersenyum miring.

Bagi Atlas, Phoenix sangat tidak berarti. Dia pantas mendapatkannya. Phoenix tidak tahu alasannya. Semua terjadi begitu saja. Semakin lama tinggal di rumah Atlas, semakin mengenal tabiat asli laki-laki itu.

Phoenix menunggu Atlas selesai makan. Laki-laki itu menyandarkan badannya menikmati wajah kacau Phoenix. Gadis itu tidak tahan lagi. Dia berdiri dan berlari sambil mengusap wajahnya.

Pandangannya kabur. Phoenix mendorong pintu kamar dan mengunci dari dalam. Menjatuhkan badannya dan menangis kencang.

Dia menangis hingga kelelahan dan berakhir terlelap. Sisa-sisa air matanya menggenang di pipi. Setelah pernikahan Libra dengan Jupiter, Phoenix lebih banyak menangis.

Phoenix bangun mendengar suara deringan ponsel. Memijit pangkal hidung dan memandang layar lantas mengusap pelan.

"Hallo, Sayang!" sapa Libra dari seberang.

"Eugh," Phoenix masih sangat mengantuk.

"Kamu baru bangun, Sayang?"

"Iya, Ma." jawab Phoenix serak. Mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya.

"Kamu sakit, Sayang?" Libra khawatir. "Langsung ke klinik ya? Minta tolong di anterin sama Atlas. Nanti Mama bilangin Atlas."

"Nggak, Ma. Phoenix cuma ketiduran." tolak Phoenix cepat.

Libra mendesah lega. "Kamu belum makan, ya? Capek banget pulang sekolah? Tadi olahraga ya?" tanya Libra beruntun yang dibalas dehaman oleh putrinya. "Atlas gimana, Sayang? Kalian nggak berantem, kan? Atlas baik, kan?"

"Eum," Phoenix berbohong. Dia tidak kelelahan hanya pelajaran olahraga. Dia lelah dengan sikap Atlas yang semana-mena terhadapnya. Tetapi Phoenix memilih menutupi sikap Atlas. "Mama ngapain? Phoenix kangen Mama."

Libra terkekeh, terang-terangan menunjukkan pada Jupiter bahwa putrinya manja. "Mama sama papa lagi piknik di bawah Eiffel." pamernya.

"Ihh ...," Phoenix berdecak iri. "Pengin ikut."

"Nanti kita liburan ke sini," ucap Libra menenangkan putrinya. Phoenix tersenyum kecil, perasaanya bercampur aduk. Di satu sisi, sangat bahagia dengan pernikahan Libra, Jupiter sangat mencintai mamanya.

***

Jakarta, 24 Desember 2022

Novel ini sudah ada versi E-book PDF di Playbook, Karyakarsa dan Nih Buat Jajan (NBJ)

Novel ini sudah ada versi E-book PDF di Playbook, Karyakarsa dan Nih Buat Jajan (NBJ)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
STEP BROTHER  [17+]Where stories live. Discover now