Part 2 - Atap Gedung

Start from the beginning
                                    

Dia menukik, Atlas memarkirkan mobilnya di sebuah gedung yang tidak terlalu tinggi. Phoenix ikut turun, mengikuti langkah Atlas yang lebar.

Menaiki undakan tangga, Phoenix ngos-ngosan tidak kuat. Melewati beberapa pintu dan tangga lagi. Phoenix tidak mengerti mengapa laki-laki itu membawanya ke sana.

Phoenix memijit pinggangnya. Di sana kram, keringat membasahi pelipis dan nafas ngos-ngosan. Atlas menunjukkan yang sebaliknya, santai saja mengayun langkahnya.

"Atlas," Phoenix memanggil bersusah payah.

Atlas mendorong pintu dan menutup begitu saja tanpa menghiraukan Phoenix. Gadis itu memaksakan diri menaiki tangga lagi. Mendorong pintu dan embusan angin kencang menyapu kulitnya.

Hanya sebentar saja, Phoenix tersadar dan mengedarkan pandangannya. Mereka berada di atap gedung. Pantas saja dia mau mati menaiki tangga setinggi itu.

Phoenix melangkah pelan-pelan dan membiarkan pintu tertutup. Teman-teman Atlas sudah berkumpul di sana. Ada beberapa gadis yang sepertinya dari sekolah lain.

Phoenix tidak tahu tempat itu. Dia baru pertama kali menginjakkan kaki di sana. Seruan dan teriakan teman-teman Atlas seolah menjelaskan bahwa lokasi itu adalah tempat latihan.

Hah? Tempat latihan basket di atap gedung? Phoenix tidak habis pikir.

"Aargghh ...," Phoenix menjerit. Refleks melompat menghindari bola. Hampir saja kepalanya kena hantaman bola basket yang terlempar cukup keras.

"Ambilin!" perintah Atlas.

Phoenix menurut. Menunduk mengambil bola. Melempar sekuat tenaga namun tidak sampai pada Atlas. Tenaganya terkuras habis setelah menaiki tangga. Laki-laki itu mengumpat, memaki Phoenix yang lemah.

Phoenix mengabaikan makian itu, dia mengincar bean bag kosong. Phoenix ingin istirahat dan meluruskan kaki.

"Beli minum sama makanan!" Atlas memerintah lagi. Menghentikan langkah Phoenix menuju bean bag yang empuk.

"Di mana?" Phoenix sedikit terbata.

"Bawah, deket parkiran."

"Hah?" Phoenix kaget. Dia baru sampai di atap dan sekarang Atlas memerintahkannya turun untuk membeli minum dan makanan.

"Buruan!"

"Jalan lain lewat mana?"

"Nggak ada!"

"Aku istirahat sebentar."

"Sekarang!"

Phoenix menarik nafas dalam-dalam. Terpaksa menurut. Menarik handle pintu lalu menuruni tangga dengan kaki gemetaran.

"Gila!" Phoenix mendumel kesal tetapi tidak bisa melampiaskan pada orangnya langsung.

Dia duduk di tangga, beristirahat sejenak. Mengatur detak jantung dan nafas ngos-ngosan. Menyeka keringat di pelipis yang bahkan belum kering.

Kemudian melanjutkan lagi sebelum Atlas marah. Menyemangati dirinya sendiri, Phoenix berjanji ini hanya sementara. Dia tidak mau menjadi kacung Atlas lagi. Dia sedang mencari cara untuk lepas dari laki-laki itu.

Phoenix berada di ambang kesadaran setelah sampai di atap lagi. Mendorong pintu dan menunduk ngos-ngosan. Keringat membanjiri tubuhnya, pelan-pelan melangkah menuju meja tempat peristirahatan.

Atlas dan teman-temannya sedang bercanda tawa. Para gadis-gadis tadi bergelayut manja di lengan masing-masing. Sepertinya ada gadis lain yang baru ikut bergabung.

Meletakkan makanan dan minuman di atas meja kemudian mengeluarkan dari dalam tas belanja. Phoenix diam-diam menarik nafas lega, minuman yang dia beli pas untuk mereka. Sayangnya tidak ada yang tersisa untuknya.

"Thanks, Phoenix!" ucap Nash dengan senyum lebar.

"Lo naik tangga?" Sirius mengerutkan dahi melihat wajah Phoenix bermandikan keringat.

"Serius? Lo nggak naik lift turun ke bawah?" Rigel menambahkan.

Phoenix memandang Atlas tajam. "Dimana lift?"

"Di sana!"

Phoenix sangat marah. Atlas mengerjai Phoenix. Sengaja membuatnya kelelahan. Laki-laki itu menyeringai tipis, puas rencananya berjalan lancar.

Phoenix menjauh dari mereka sambil merutuki kebodohannya. Tidak mungkin para gadis-gadis itu mau naik tangga setinggi itu. Bodohnya Phoenix tidak fokus sehingga begitu mudah percaya.

Dia menjatuhkan tubuhnya pada bean bag incarannya tadi. Posisinya memunggungi mereka. Tubuh Phoenix tidak begitu terlihat jelas dari belakang. Dia memejamkan mata, semilir angin berhembus menyapu kulitnya.

"Nih,"

Phoenix membuka mata, Rigel berdiri di depannya. Phoenix segera memperbaiki posisi. Duduk dan mendongak memandang laki-laki itu.

"Tapi bagi dua ya?" Laki-laki itu duduk di sampingnya. Mengangsurkan botol minum yang tersisa setengah.

"Nggak usah," tolak Phoenix menggeleng.

"Lo pasti capek banget naik turun tangga." Rigel memandang Phoenix serius.

Phoenix terlena, mengulurkan tangannya menerima botol minum karena sesungguhnya dia sangat haus. "Makasih,"

"Habisin aja. Gue udah cukup kok."

Phoenix tidak segan-segan lagi. Nafasnya ngos-ngosan setelah menghabiskan air dalam botol tersebut. Rigel terkekeh memperhatikan Phoenix.

Semua itu tidak lepas dari pandangan tajam Atlas.

***

Jakarta, 18 Desember 2022


Novel ini sudah ada versi E-book PDF di Playbook, Karyakarsa dan Nih Buat Jajan (NBJ)

Novel ini sudah ada versi E-book PDF di Playbook, Karyakarsa dan Nih Buat Jajan (NBJ)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
STEP BROTHER  [17+]Where stories live. Discover now