Enam belas; mencicip ketakutan

Magsimula sa umpisa
                                    

"Kok lo bisa tau nama bundanya Kang Nadhi?" Chendra memecah gelembung kesunyian itu dengan pertanyaan yang tiba-tiba lewat di kepalanya.

Dengan senyum getir, Junio menjawab, "Salah satu stakeholder diprogramnya Kat, dia orang NGO."

Tuh kan, apa Chendra pikir, Junio memang tidak beruntung akhir-akhir ini. "Terus ketemu di acara itu?"

"Nadhi jemput bundanya pas pulang, ketemu di parkiran."

Chendra meringis, membayangkan momen serba salah itu. Karena sejauh yang Chendra tahu, baik Nadhi maupun Junio punya peraturan tidak membawa sang kekasih ke depan orang tua masing-masing jika isinya hanya kebohongan. Keduanya sepakat, mengenalkan satu sama lain sebagai teman bukan cara yang ingin mereka tempuh di hubungan ini. Mereka yakin suatu saat akan tiba kesiapan untuk menawarkan kejujuran.

Anak itu tidak berkomentar apa-apa lagi. Mobil itu melaju di tengah derai gerimis Jakarta, dan Junio menyaksikannya tanpa suara.

-----------------------------------------------------------------------

Pada kenyataannya, sulit untuk bekerja dengan isi pikiran bercabang begini.

Junio melihat layar ponselnya berkali-kali. Dia menunggu Adji meneleponnya untuk menemani pergi ke rumah sakit bersama. Tapi ini masih jam 2 siang, dan Adji belum juga mengabari apa-apa setelah terakhir bilang sedang di jalan dari Bogor.

Kepalanya sakit, dan dadanya berdenyut menyesakkan. Dio memaksanya untuk makan nasi padang di jam makan siang tadi karena betulan takut jika Junio kolaps di kantor. Sebabnya, lelaki itu tidak mau dikatakan bertanggung jawab jika seorang penerus perusahaan seperti Junio jatuh sakit di depannya. Junio menyebutnya paranoid, tapi Dio berpegang teguh pada prinsip hidupnya untuk sedia payung sebelum hujan.

Tetapi memang ada benarnya, jika saja tadi dia tidak makan beberapa suap, pasti sakitnya bertambah di perut juga akibat maagnya yang kambuh. Junio tidak membutuhkan kombinasi tiga rasa sakit dalam satu waktu. Sebab semalaman, dia juga tidak tidur karena memikirkan Nadhi.

Matanya menatap nyalang ke luar jendela kantornya yang berada di lantai tiga puluhan daerah pusat bisnis Jakarta. Ya, Junio tidak pernah merasakan ketakutan yang seintens semalam. Ketegangan mencekamnya dari dalam, nyaris mengacak-acak kesadarannya yang memang tidak dalam kondisi prima juga. Seisi tubuhnya terasa dingin, jari-jarinya kebas, dan pikirannya berjalan dalam autopilot. Menghitung semua skenario yang mungkin terjadi pada kekasihnya. Dan dadanya selalu terasa diremas erat jika membayangkan, pada skenario terburuk, Junio bisa kehilangan Nadhi.

Dan Nadhi adalah dunianya.

Junio tidak pernah benar-benar merasakan makna kehilangan, tapi hanya dengan membayangkannya, dia tahu bahkan kawarasannya saja bisa tergelincir perlahan.

Adji akhirnya menghubunginya satu jam kemudian. Satu jam yang terasa diseret karena Junio nyaris bisa menghitung detik demi detiknya yang melambat.

Anak itu sudah berada 20 menit dari rumah sakit. Adji tidak jadi pulang dulu, katanya, bundanya Nadhi memintanya untuk gantian jaga sementara. Junio melambai pada Dio yang hanya mengangguk pasrah sambil menerima telepon di ruangannya. Dio tidak mungkin menghentikan aksinya sekarang, toh Junio juga sudah tinggal melakukan proses handover.

Sesampainya di rumah sakit, Junio bisa melihat Adji berada di samping ranjang Nadhi.

Suara pintu yang dibuka menandakan kedatangannya. Kedua lelaki muda di depannya mengalihkan pandangan. Memandangnya bersamaan. Dan Junio hanya mengembalikan pandangan salah satunya.

"Ah, Kak Jun," Adji menyambutnya dengan senyum lelah. Dia beringsut minggir, memberi ruang untuk Junio.

Sementara Nadhi... nampaknya pria itu sudah diinformasikan mengenai kedatangan Junio dari Adji. Tidak ada raut kaget di wajahnya. Nadhi mengulurkan sebelah tangannya yang tidak tersambung selang infus ke arah Junio. Senyumnya lembut menyambut kekasihnya.

batas; di antara - JaemRenTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon