35. Pacar Terkeren

Beginne am Anfang
                                    

"Jadi, saya tanya kamu, yang memiliki banyak kesamaan dengannya dari segi usia dan juga latar belakang. Menurut kamu, apa yang paling harus saya siapkan selain sikap kebapakan dan mengayomi?"

Tina tercenung sejenak, lalu menatap lurus pada sang atasan. "Menurut saya, selain sebagai seorang politisi matang dengan kapasitas serta sikap kebapakan, Bapak juga harus menjadi seorang laki-laki," katanya tenang.

Bram mengangkat alisnya, tinggi. "Menjadi seorang laki-laki?" tanyanya dengan nada geli.

Tina mengangguk. "Saya sudah mempelajari profil wartawati itu. Dia seorang player, suka main api, dan karakteristik pria yang biasa menjadi pasangan tetapnya adalah tipe sedikit berbahaya dan matang secara usia," jawabnya tanpa keraguan.

"Dan ... kamu menyarankan saya untuk memikat dia?" Nada suara Bram makin terdengar geli.

Kembali, Tina mengangguk. Ekspresinya tetap penuh keyakinan.

Bram terkekeh. "Kamu serius rupanya." Dia mengambil gelas berisi kopi hitam pahitnya dan minum. Benaknya berkelana.

Ide Tina tidak buruk, dia sendiri yakin kalau pesonanya sebagai laki-laki belum hilang, meski usianya sudah sedikit melewati setengah abad. Namun, ide itu terdengar lucu, karena Tina tahu persis Bram tidak pernah tertarik kepada perempuan lagi semenjak mantan istrinya yang peselingkuh itu mati bertahun-tahun lalu karena bunuh diri setelah sebelumnya mengalami pelecehan berulang kali dari banyak pria dan terancam cacat secara fisik.

Tentu saja, Bram ada di balik kejadian tragis itu.

*****

"Kamu mikir apa, Di?"

Diana menoleh dan bertemu pandang dengan Tyo yang sudah siap dengan kaus hitam dan rambut gimbal yang dikuncir di belakang kepala. Dia tersenyum dan menggeleng.

"Enggak pa-pa. Cuma, otakku mumet aja. Biasa, pekerjaan," jelasnya.

Tyo tersenyum tipis. "Bukan karena tadi ketemu mantan?" tanyanya.

Diana tertegun. "Uhm ... apa kamu, cemburu?" Dia balik bertanya. "Kamu enggak niat cari gara-gara sama aku cuma karena Berto, kan?" Nada suaranya defensif.

Tyo masih tersenyum. "Aku khawatir kamu terganggu dengan apa pun yang dia omong. Buatku, dia enggak mengancam sama sekali," jawabnya, tenang.

Perasaan tak enak membuat Diana tersenyum masam. Sepertinya dia terlalu sensitif sampai mencurigai motif Tyo. Namun, mengingat hubungannya dengan pria itu masih sangat muda, tidak heran kalau kepercayaan masih belum sepenuhnya tumbuh, kan? Wajar juga kalau dia curiga dengan apa pun yang diucapkan Tyo, meski dia yakin, Tyo tulus dan bukan orang yang menyimpan makna tersirat dalam kalimatnya.

"Sori, Tyo. Aku ... terlalu mumet aja," ucapnya, akhirnya.

Tyo mengusap puncak kepalanya. "Kamu masih belum sepenuhnya bisa memercayai aku?" tanyanya tiba-tiba.

Diana termangu. "Uhm ... kenapa kamu tanya gitu?" Dia balik bertanya.

Tyo mengangkat bahu. "Enggak pa-pa. Hanya saja, harus kita akui, kamu dan aku jadian terlalu cepat. Bagaimanapun, kita belum sepenuhnya saling kenal, seenggaknya, kamu belum terlalu kenal aku meski aku sudah merasa sangat mengenal kamu."

"Kok kamu ngomong gitu?"

"Karena aku bisa merasakan, Di. Kamu sering menahan diri, menyimpan banyak hal, mungkin kamu ingin menanyakan sesuatu ke aku, tapi kamu ragu. Iya, kan?"

Diana terdiam. Kalimat Tyo menohok tepat ke hatinya. Sepertinya pria itu bisa membaca gelagatnya, atau mungkin, sikapnya yang terlalu kentara?

"Aku ... kamu tahu kalau aku punya banyak alasan untuk jadi orang yang curigaan dan sering berpikiran negatif, kan, Tyo? Kamu bisa bilang kapan pun kamu capek dengan sikapku, aku enggak akan maksa kamu ngerti," katanya, pasrah.

Tyo tertawa kecil. "Aku enggak memendam perasaan ke kamu selama bertahun-tahun cuma untuk nyerah gara-gara masalah gini, Di," katanya. Dia bangkit dan mengulurkan tangan untuk membantu Diana berdiri. Saat gadis itu menyambut uluran tangannya, dengan gesit dia menarik Diana hingga menabraknya, lalu dengan impulsif menenggelamkan gadis itu dalam pelukannya.

"Butuh lebih dari sekadar kamu berkomunikasi dengan mantan untuk bikin aku menyerah, Di. Aku enggak secemen itu," bisiknya di telinga Diana.

Ada kehangatan mengisi hati Diana, membuatnya tersenyum lebar dan bahagia. "Makasih banyak, Tyo," bisiknya. Dia sedikit mendorong Tyo untuk melepaskan pelukannya, lalu berjinjit dan mengecup singkat bibirnya. "Aku juga enggak akan segampang itu nyerah untuk berusaha membalas perasaan terpendam yang kata kamu udah lama banget itu."

Tyo terkekeh. "Kita sepakat, ya? Sekarang, siap untuk latihan?"

Diana mengerucutkan bibirnya. "Sebentar. Karena kita sudah sepakat, aku mau jujur soal satu hal, Tyo. Ini ganggu banget."

"Apa?"

Diana menimbang sejenak. "Gini. Menurut Ibu, Berto dan ayahnya, mungkin enggak tahu sama sekali soal berita yang ditelusuri Bapak, tapi, aku malah merasa sebaliknya. Meski enggak terlibat, bisa jadi Berto tahu soal siapa yang harus bertanggung jawab untuk kejadian delapan tahun lalu. Aku mau minta pengertian kamu."

"Untuk?"

"Aku ingin mendekati Berto lagi, menanggapi ajakannya untuk ketemuan, dan mengorek informasi apa pun yang bisa kudapat. Apa kamu setuju?"

Tyo tertegun selama beberapa saat. Matanya bertemu dengan sepasang mata Diana yang menelisik, penuh harap dan juga penasaran. Berat, dia menghela napas.

"Kalaupun aku enggak setuju, bukan karena dia mantan kamu, Di, tapi, karena dia anak Herman Bulaeng dan menantu dari Rachmat Wijaya. Apa saja bisa terjadi kalau kamu terlibat dengan dia. Orang-orang itu berbahaya, Di."

Diana mengangguk. "Aku tahu. Itu sebabnya, aku memberi batasan waktu sendiri untuk aku mendekati Berto."

"Maksud kamu?"

"Aku hanya akan bertemu dengan dia dan mengorek keterangannya selama kamu ada. Dia belum tahu kalau aku punya pacar, dan aku yakin, wajah kamu enggak terlalu dikenali. Jadi, kamu bisa beredar di sekitarku tanpa diketahui orang. Betul, kan? Setelah waktunya kamu tugas dan menghilang, aku akan berhenti menemui dia."

Tyo termangu sejenak, lalu terkekeh mengakui betapa cerdik sang kekasih. "Oke. Kalau begitu kamu boleh mendekati dia."

Diana langsung melompat ke dalam gendongan Tyo yag terkejut bukan main. Dia melingkarkan kakinya di pinggang pria itu dan menciuminya dengan gemas.

"Kamu memang pacar aku yang paling keren, Tyo. Muach!"

Bersambung.

Cast Pak Bram ini cocoknya siapa ya? Yang ganteng, kharismatik, dan cerdas, a.k.a licik?

So, sampe ketemu di bab berikutnya.  Kayak biasa, yang mau baca lebih cepet sampe tamat silakan ke Karyakarsa aja langsung ya.

Maacih.

Winny
Tajurhalang Bogor 21 Desember 2022

Diana, Sang Pemburu BadaiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt