32. Kebimbangan Sisa Mas Lalu

Start from the beginning
                                    

Marini tercenung. "Bagaimana kalau gara-gara itu kamu ... kita ... kembali harus menghadapi kejadian kayak delapan tahun lalu?"

Hening. Dia termangu selama beberapa saat dan menatap ibunya sebelum kemudian bicara dengan hati-hati. "Apa ... Ibu takut? Ibu mau aku berhenti?"

Ibunya menggeleng. "Bohong kalau Ibu bilang enggak takut, Di. Tapi Ibu enggak berharap kamu berhenti. Hanya saja ...."

"Ibu khawatir sama aku?"

Kali ini ibunya mengangguk. "Ibu sudah tua, seburuk apa pun kejadian yang mungkin ada di depan sana, sudah enggak ada masa depan yang Ibu harapkan. Beda dengan kamu. Waktu bajingan itu ... Ibu merasa ...." Kalimatnya terhenti, dan dia harus menepuk dadanya untuk menghilangkan rasa sesak saat mengingat kejadian lalu.

Diana ikut merasakan sesak yang sama, tetapi memutuskan untuk tersenyum, menghibur ibunya. "Bu, aku juga trauma karena kejadian itu. Tapi, kalau aku berhenti karena takut, berarti mereka menang. Terus, gimana kita bisa hidup dengan tenang, Bu? Kita masih dapat ancaman, dan itu enggak akan berhenti hanya karena kita diamkan. Ada yang harus kita lakukan untuk menghentikan mereka, Bu. Mungkin, itu enggak akan jadi satu-satunya kejadian buruk dalam hidup kita, jadi kita sebaiknya enggak memilih untuk menyerah. Ibu setuju, kan?"

Marini menghela napas. "Ibu tahu, Di. Ibu hanya enggak ingin ... kamu sampai berada dalam situasi yang sama, Di. Ibu enggak akan sanggup ...."

"Aku janji, aku akan jauh lebih berhati-hati. Semua tindakanku akan kupertimbangkan dengan sangat baik, dan kalau ada sedikit saja kemungkinan berbahaya, aku akan memberi tahu Tyo. Ya, Bu?"

"Ya. kamu harus lakukan itu." Marini termangu, mendadak merasa ada yang janggal. "Tyo?"

Diana tersenyum. "Iya, Tyo."

Ibunya menatap dengan keheranan. "Di ... kenapa kamu manggilnya enggak pakek embel-embel gitu, lho? Enggak sopan, ah."

"Kenapa enggak sopan? Itu panggilan akrab buat pacarku lho, Bu."

"Pacar?"

"He'eh. Aku sama Tyo pacaran. Uhm, sudah berapa hari, ya?"

"Pacaran?" Suara Marini meninggi. "Kamu dan Mas Tyo?"

Diana langsung merengut. "Kenapa, sih, Bu? Ibu masih ngarepin Tyo jadi bapak tiriku? Ya, jangan, dong. Dia bakalan jadi bapak anak-anakku, bukan kakek mereka, Bu."

Dahinya langsung didorong sang ibu. "Mulut kamu kalau ngomong asal njeplak, lho!"

Diana cengengesan. "Piss, Bu."

Ibunya menggerutu dalam bahasa daerahnya selama beberapa saat sebelum kemudian memandang putrinya dengan tatapan tak terbaca. "Kamu ... serius pacaran dengan Mas Tyo, Di?" tanyanya hati-hati.

Diana termangu. "Kenapa Ibu tanya?" Dia balik bertanya.

Ibunya terlihat menimbang sejenak. "Di, Mas Tyo adalah orang yang baik, Ibu enggak punya keberatan terhadap dia. Tapi, kamu ingat, kan, kalau dia pernah terluka, sama seperti kita? Ibu hanya berharap, kamu menjalin hubungan dengannya karena sudah merasa yakin, hati kamu siap untuk melepaskan masa lalu kamu. Itu saja."

*****

Kalimat ibunya terus terngiang sampai menjelang tengah malam dan membuatnya tak bisa tidur. Pertanyaan yang mengusik terus bergaung di benaknya. Apakah dia siap untuk sebuah hubungan baru? Kalau sebelumnya dia merasa yakin dengan keputusannya menjalin hubungan dengan Tyo, dan bertekad untuk memberi dirinya sendiri dan juga pria itu kesempatan untuk sebuah kebahagiaan, kini mendadak dia ragu. Apakah dia sudah melepaskan masa lalu? Apakah luka yang ditinggalkan Berto sepenuhnya sudah pulih? Bagaimana kalau nantinya dia melukai Tyo? Pria yang telah begitu baik kepadanya?

Berat, Diana menghela napas. Dia duduk di dekat jendela, sedikit ke pinggir agar bayangannya tidak terlihat jelas di balik tirai. Dengan kepala terasa penuh dia memandang keluar, pada keheningan malam yang pekat. Bagaimana keadaan pria itu? Apakah lukanya sudah diobati? Apakah kekhawatiran ini murni kekhawatiran seorang kekasih, atau hanya kepada seseorang yang telah banyak membantunya? Apakah adil bagi Tyo kalau dia tidak sepenuhnya mendapatkan hati Diana, karena sebagian dari hati itu telah membusuk oleh kekecewaan?

Bunyi notifikasi ponselnya mengalihkan Diana sejenak dari kekusutan pikirannya. Dia meraih ponsel dan membaca pesan yang langsung membuat matanya membesar.

"Kenapa melamun? Kau mikirin aku? Aku sudah ke klinik kok. Jangan khawatir, cepat tidur."

Bagaimana Tyo bisa tahu kalau dia sedang melamun? Diana berdecak. Pasti pria itu ada di sekitar sini. Cepat dia mengetikkan balasan.

"Kok kamu bisa tahu aku melamun? Kamu ada di sini?"

Terlihat Tyo langsung mengetikkan jawaban. "Aku di tempat kamu pernah mergokin aku."

Diana langsung membuka tirainya dan melihat ke arah pohon besar tempat dia dulu memergoki Tyo, tapi, tidak melihat apa pun. Buru-buru dia mengetikkan balasan. "Ke garasi, aku tunggu kamu di situ."

Tanpa menunggu, Diana keluar kamar, menuruni tangga, langsung menuju garasi. Dia membuka garasi dan mendapati Tyo sudah ada di depan pintu. Entah kenapa, hatinya dipenuhi perasaan yang tak terlukiskan. Rasanya hangat, dan begitu nyaman. Membuatnya langsung memasrahkan diri dalam pelukan Tyo yang seketika termangu.

"Kenapa kamu enggak bawa martabak?" tanyanya sambil menggosokkan wajahnya ke dada Tyo yang langsung basah karena air mata yang mengalir begitu saja. 

BERSAMBUNG

Diana kalo galau yang di otak sama mulut malah gak sinkron deh. Wkwkwkwk.

So, ngingetin lagi. Buat yang mau baca lebih cepet sampe extra part, silakan ke Karyakarsa ya.

Makasih banyak udah mampir, selalu jaga diri, jangan lengah. Penyakit terutama si Covid masih merajalela. Waspadalah!

Winny
Tajurhalang Bogor 7 Desember 2022

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now