7. TUMBAL YANG SIAL

52 1 0
                                    

Tanpa mempedulikan tubuh Kang Joyo, Firda menyeretku kembali ke dalam rumah. Aku berusaha melawan, tapi otot-ototku masih terlalu sakit untuk melakukan apapun selain menggeliat-geliat. Sama-sekali tak merepotkan wanita itu.

"Seharusnya aku tahu Mbak masih punya telepon cadangan," kata Firda, lebih terdengar jengkel daripada marah. "Farah memperingatkan Mbak, bukan? Aku sudah bilang padanya untuk jangan turut campur saat dia berhasil mengetahui rencanaku. Tapi tentu saja dia tak mau mendengar. Dari dulu dia selalu ingin jadi anak baik. Bah, dia akan menyesal setelah aku selesai denganmu!"

"Kenapa....kenapa kau lakukan ini?" entah bagaimana aku berhasil mengucapkan pertanyaan itu.

"Farah belum menceritakannya? Oh, aku tahu. Dia pasti cuma bilang agar Mbak pergi secepat mungkin. Begitu, bukan? Itu langkah yang bijak. Dia mungkin sadar Mbak bisa pingsan kalau diberitahu mau dijadikan tumbal!"

Tumbal? Kata itu terasa seperti Sambaran petir yang tepat kena ulu hatiku. Aku menatap penyeretku itu dengan mata terbelalak ngeri.

Melihat reaksiku, Firda memberikan senyum Monalisa-nya sekali lagi. "Ah, jangan berlebihan begitu. Apakah Mbak betul-betul percaya aku akan memberikan rumah pusaka keluarga kepada orang luar? Apalagi yang jelas-jelas tidak menyukaiku? Seharusnya Mbak tahu itu cuma umpan. Umpan yang paling jitu untuk memancing Mbak tinggal di rumah ini!"

Kata-katanya semakin membuatku terguncang. Aku mulai menangis. Tapi itu tidak menghentikannya. Firda terus menyeretku ke pekarangan belakang. Kurasa aku tahu kemana dia akan membawaku. Seolah cuma sekarung beras tanpa nyawa, Firda menyeretku begitu saja melalui pepohonan, menyebabkan pakaian yang aku kenakan jadi compang-camping.

Gudang tua itu tidak lagi gelap gulita. Bola lampu yang tua dan temaram menyebarkan cahaya suram kekuningan ke seluruh ruangan. Lebih banyak membuat bayangan daripada betul-betul menerangi.

Firda membaringkan aku di depan dinding belakang yang kosong itu. Sekarang sudah jelas aku tidak berkhayal tentang ruang rahasia di baliknya. Perempuan itu membuka pintunya dengan cekatan, seolah sudah terbiasa. Dia menatap kegelapan di baliknya dengan mata yang berkilat-kilat.

"Keluargaku punya rahasia, Mbak Ayu," ujarnya. "Dari nenek moyang dulu, kami selalu kaya. Tidak peduli sejelek apapun kondisi ekonomi negeri ini, kami tak pernah jatuh miskin. Kenapa? Karena kami punya sesuatu yang lebih berharga daripada emas atau saham. Sesuatu yang hidup dan tinggal di bawah sana..."

Aku masih menatapnya dengan campuran perasaan takut dan bingung. Semua yang dia katakan tidak sanggup kumengerti. Aku mulai berpikir bahwa dia sudah gila.

"Setiap bangsa punya nama yang berbeda untuk menyebutnya," dia melanjutkan dengan semangat seorang guru yang menguasai bidangnya. "Bangsa barat menyebutnya leprechaun, orang Jepang menjulukinya Kappa, sementara kita punya panggilan yang lebih imut buatnya....tuyul!"

"Tu...tuyul?" bola mataku mungkin sudah kelihatan seperti mau copot. "Kau...kau memelihara tuyul?"

Firda mengangguk, senyumnya yang menyebalkan itu kelihatan bangga. "Itu diwariskan secara turun-temurun di keluarga kami, pada keturunan perempuan yang tertua. Jadi aku mewarisinya dari ibuku. Aku akan meneruskan tugasnya jadi ibu angkat buat si tuyul. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya mudah sekali. Tiap tengah malam aku harus menyusuinya dan, sebagai balasannya, si tuyul akan terus memberiku kekayaan."

Aku teringat bayangan kecil yang cekikikan dalam gua penuh uang itu. Teringat bagaimana dia mengejarku, berusaha menyusu padaku. Tanpa sadar aku bergidik. "Lalu...lalu apa urusannya denganku?"

Firda mendengus seolah baru mendengar pertanyaan tolol.

"Mbak kira aku sehina itu?" tukasnya. "Mbak kira aku akan membiarkan makhluk menjijikkan itu menyentuhku? Ibuku mungkin pasrah saja. Tapi aku tak sudi!"

THE STEPMOTHER OF TUYULWhere stories live. Discover now