2. MISTERI DI GUDANG TUA

53 1 0
                                    

Kematian Mbah Girah kuberitahukan pada Farah dan Firda. Dan mereka semua datang untuk melayat. Tapi tidak kuceritakan pada mereka kejadian malam sebelumnya. Aku merasa itu terlalu ganjil untuk diceritakan.

Namun sebelum pulang, Firda tiba-tiba bertanya, "Apakah Mbah Girah sempat mengatakan sesuatu sebelum meninggal, Mbak?"

Tentu saja aku kaget mendapat pertanyaan itu. Seolah Firda mengetahui adanya peristiwa tertentu sebelum kematian pelayan tua tersebut. Tapi wajahnya polos-polos saja saat bertanya demikian. Tak ada gelagat yang mencurigakan.

Akhirnya, dengan bersikap setenang mungkin, aku menjawab, "Seingatku tidak, Dik. Memangnya kenapa?"

Aku tidak tahu kenapa harus berbohong. Sepertinya tidak ada alasan melakukannya. Tapi naluriku menyuruh berbuat demikian. Jadi itu bersifat spontan saja.

Firda pun tidak mengejar atau menjelaskan alasannya. Dia hanya tersenyum seraya menjawab, "Tidak ada apa-apa, Mbak."

Tapi pertanyaan dan sikapnya itu justru membuatku curiga. Karena kelihatan seperti menutupi sesuatu. Karena itulah, daripada menyimpan persoalan ini sendiri, aku memutuskan untuk mengontak Farah melalui telepon.

"Masalahnya Mbah Girah selama ini kelakuannya aneh, Dik," aku jelaskan padanya. "Jadi aku bingung apakah kata-katanya bisa dipercaya atau hanya melantur belaka. Apakah Dik Farah mengetahui apa yang dia bicarakan itu?"

Sayangnya Farah sendiri sama bingungnya. Dia mengaku tidak tahu apa yang dimaksud oleh Mbah Girah. Meski demikian, aku bisa mendengar nada kecemasan tercermin dalam kata-katanya.

"Mbah Girah memang kaku sekali orangnya, Mbak," sahut Farah. "Tapi sepengetahuan saya dia tidak pernah berbicara yang melantur, apalagi mengada-ada. Sebaiknya Mbak waspada dan berhati-hati saja sementara ini. Saya akan mencari tahu apa yang dia maksud. Nanti saya hubungi lagi."

Aku agak merasa lega setelah bicara dengannya. Sayangnya kelegaan ini tidak berlangsung lama. Tepat keesokan paginya, justru aku harus berurusan dengan misteri baru yang bisa jadi lebih aneh dari yang selama ini kujumpai.

Pagi itu aku bermaksud menyuruh Kang Joyo untuk membeli sesuatu. Tetapi pria itu tidak kutemukan berada di kebun seperti seharusnya. Demikian juga di seluruh bagian halaman depan. Di kamarnya pun sama saja. Dengan pikiran was-was, aku coba mencari di pekarangan belakang.

Mungkin perlu kujelaskan bahwa pekarangan belakang ini jauh lebih luas daripada halaman depan. Berbatasan langsung dengan sebidang tanah yang dimiliki oleh mendiang istri bapak. Pepohonan lebat memenuhi tanah ini. Selama tinggal di sini, belum pernah aku punya kesempatan menjelajahinya.

Ketika tukang kebun tersebut tetap tidak kutemukan, aku betul-betul panik. Jangan-jangan apa yang terjadi pada mbah Girah juga menimpa kang Joyo. Melawan segenap akal sehat, aku berjalan terus ke belakang. Memasuki tanah yang rimbun dengan pepohonan itu.

Sungguh, rasanya seperti memasuki hutan. Pepohonan rapat di segala penjuru. Semak belukar juga tumbuh liar. Semua itu menyulitkan langkahku. Hampir saja kuputuskan berbalik arah, ketika mataku menangkap sebentuk bayangan gelap di balik deretan pepohonan tersebut.

Tertarik dan penasaran, aku melanjutkan langkah. Ketika sudah dekat, bayangan yang kulihat tadi ternyata sebuah gudang tua. Sepertinya sudah lama terbengkalai. Tak urung membuatku terpana. Aku tidak tahu kalau ada bangunan di tanah kosong ini.

Saat kuhampiri gudang tersebut, bulu romaku mendadak berdiri. Ada suara dari dalamnya. Sejenak aku kira cuma salah dengar. Tapi ternyata tidak. Ada seseorang atau sesuatu di dalam. Saat aku masih bingung harus berbuat apa, tiba-tiba pintu gudang itu terbuka. Dan seseorang muncul dari dalamnya.

Kang Joyo!

Lelaki itu sama kagetnya saat melihatku. Tapi dia lebih cepat menguasai diri. Dengan polosnya dia mendahului berkata, "Waduh, nyaris copot jantung saya, Nyonya! Saya kira siapa tadi. Kenapa Nyonya sampai ikut blusukan kemari? Di sekitar sini masih banyak ularnya lho!"

Aku memperhatikan keadaannya. Pakaian yang dia kenakan nampak lebih kotor dari biasanya. Dan dia keluar dari gudang itu sambil membawa karung besar, dibopong di punggungnya. Butuh beberapa kejapan mata sebelum aku bisa buka mulut, "Saya tadi mencari Kang Joyo...kenapa ngelayap ke sini? Dan tempat apa ini?"

"Lho, Nyonya belum tahu soal gudang ini?" Kang Joyo kelihatan heran. "Ini dari dulu sudah ada kok. Dari dulu juga sudah dipakai sebagai gudang. Buat menyimpan barang-barang lama yang dibuang sayang. Saya tiap hari ke sini buat nyapu-nyapu. Biar tidak terlalu kotor."

Sepertinya itu sudah menjawab semua. Tapi aku tetap merasa ada yang aneh. Rasanya tidak masuk akal dia tiap hari blusukan ke sini tapi aku tidak tahu. Dan kalau memang dipakai buat menyimpan barang lama, kenapa gudang ini dibangun agak jauh serta susah dicapai dengan adanya pepohonan yang rapat itu?

Di luar itu, ada satu pertanyaan lagi. "Buntalan apa yang kau bawa di punggungmu itu, Kang?"

Sepersekian detik Kang Joyo seperti ragu, sebelum lekas menjawab, "Daun kering, Nyonya. Maklum, atap gudang ini banyak yang bocor. Daun-daun dari luar sering berjatuhan ke dalam. Makanya itu harus dibersihkan tiap hari."

Aku bisa saja memerintahkan dia untuk membuka buntelan itu. Sekedar memastikan saja. Tapi aku merasa tidak enak. Jadi aku hanya mengangguk-angguk. Kulangkahkan kaki menuju pintu, maksudku ingin melihat dalamnya. Yang tidak kuduga, Kang Joyo menghalangiku.

"Tidak pantas seorang majikan seperti anda masuk ke gudang tua bulukan itu, Nyonya," tegasnya. "Tidak perlu repot-repot melakukannya. Nanti anda malah sakit, kena debu dan segala macam kotoran yang ada di dalam."

Aku mengerutkan kening. "Bukankah baru kau bersihkan?"

"Benar, Nyonya. Tapi tetap saja namanya bangunan tua. Masih banyak debu dan kotoran di sana. Belum lagi makhluk-makhluk seperti kaki seribu dan tikus. Minggu kemarin malah saya menemukan ular. Tidak usah masuk, Nyonya."

Caranya mengatakan itu memang cukup polos sehingga tidak membuatku marah. Tapi tetap saja aku merasa curiga. Apapun alasannya, melarang pemilik masuk gudang miliknya sendiri itu sungguh aneh.

Aku berniat untuk membantahnya dan bersikeras untuk masuk. Tapi kemudian mataku tertumbuk pada robekan pada karung itu. Kang Joyo tidak menyadarinya. Dari robekan itu aku bisa melihat isinya. Dan itu membuatku menahan nafas.

Karung itu ternyata berisi gepokan uang kertas!

........

THE STEPMOTHER OF TUYULWhere stories live. Discover now