29. Motif Hadi Tanusubroto

Start from the beginning
                                    

“Saya bisa lihat kamu cukup kredibel, tidak mengecewakan untuk putri seorang Aryo Seto. Saya juga sudah cek semua artikel tulisan kamu, mengesankan. Tapi, sejujurnya, artikel tentang suap seksual ini agak … spekulatif, ya? Kamu yakin, tidak akan ada celah untuk penuntutan atas kontennya? Tidak ada unsur hoaks dan sebagainya? Apakah narsum kamu sendiri … kredibel seperti kamu?” tanyanya. Cara bicaranya kali ini seperti seorang mentor pada anak didiknya.

Diana mengangguk tanpa ragu. “Narsum saya kredibel, dan saya sudah cek dari hampir semua aspek. Secara hukum, saya punya bukti otentik, dan sebetulnya saya punya lebih dari satu narsum, hanya, salah satunya meninggal dunia. Itulah sebabnya, artikel pendahuluan masih berupa pancingan karena saya akan lebih menyelami lagi hipotesa saya mengenai orang-orang yang menurut saya akan bereaksi terhadap artikel tersebut,” sahutnya. Dia sengaja melemparkan sedikit fakta untuk memancing reaksi Hadi.

Benar saja, Hadi terlihat sangat tertarik. “Menyelami lagi hipotesa kamu? Maksudnya?”

Kena! Diana senang melihat pancingannya kena sasaran. “Maksudnya, untuk artikel aktual, bukti saya cukup, hanya saja, saya bisa mengembangkannya lebih luas, dengan membuat artikel lain yang berimbang sebagai bukti kalau kita tidak berat sebelah, Pak.”

“Begitu? Caranya?”

“Seperti Bapak lihat, ada beberapa komentar yang menyebut sejumlah nama setelah artikel itu dirilis. Sebagian besar komentar jelas hanyalah ekspresi dari pembaca yang tidak sepenuhnya memahami isu yang sedang dibahas. Mereka hanya sekadar menanggapi. Tapi, ada beberapa komentar yang menunjuk langsung dengan penuh keyakinan nama tertentu yang memang ada dalam dokumen saya. Nah, nama-nama inilah yang ingin saya hubungi untuk wawancara, sebagai itikad baik kita memberikan hak jawab bagi mereka.”

Hadi bertopang dagu dan keningnya berkerut. Tampak memikirkan beberapa hal yang hanya bisa diduga Diana. “Nama-nama yang kamu ingin hubungi ada dalam dokumen?” tanyanya, nadanya terdengar ingin meyakinkan diri sendiri.

Diana mengangguk. “Saya hanya bisa mengatakan, nama-nama dalam dokumen itu pun tercantum karena adanya aliran dana yang berasal dari pihak mereka, belum tentu mereka sendiri yang terlibat langsung. Itu sebabnya, saya yakin mereka akan menerima tawaran kita untuk memberikan hak jawab. Itu kalau saya diizinkan mewawancarai mereka, Pak,” jawabnya. kembali melemparkan umpan.

Hadi mengetuk-ngetuk dagunya, entah kenapa, Diana merasa kalau pria itu terlihat antusias. “Baiklah. Saya akan mendukung kamu. selama berita itu sama sekali bukan hoaks, dan dokumen yang kamu punya adalah bukti otentik, saya tidak punya alasan untuk mencampuri tugas kamu. Hanya saja, kalau kamu merasa membutuhkan bantuan menghubungi orang-orang yang kamu maksud, silakan katakan. Saya tahu mereka bukan orang yang bisa dihubungi dengan mudah.”

Diana hampir terbatuk karena kaget. Sama sekali tidak mengira kalau bos besarnya malah menawarkan untuk membantu. Dalam hati muncul sebuah pertanyaan. Apakah bantuan ini akan jadi bumerang nantinya?

“Uhm … saya sangat menghargai tawaran Bapak. Tapi … saya merasa tidak pantas merepotkan Bapak,” katanya, buru-buru.

Hadi tersenyum. “Saya sangat suka saat orang saya menunjukkan kemampuan orisinil dan bukannya mengikuti budaya terbaru, copas sana-sini, atau mengikuti tren mengutip channel di YouTube. Tentu saja, saya tidak menawarkan bantuan dengan gratis. Saya ingin kamu menuntaskan artikel kamu dengan hasil yang memuaskan, menjadi artikel investigasi yang membawa media kita menjadi media yang paling diperhitungkan. Mengerti?”

Diana sedikit tergagap. “Me … mengerti, Pak.”

“Bagus.” Hadi meraih gagang telepon yang ada di meja kecil sebelah kursinya dan menghubungi seseorang. “Pak Priyo, setelah ini Mbak Diana akan meminta Bapak menghubungi beberapa orang. Tolong dibantu agar mereka mau memberikan waktu wawancara untuknya.”

Diana langsung kehilangan kata. Dalam hati timbul pertanyaan. Apakah dia ketiban durian runtuh sehingga rencananya dipermudah, atau justru dia harus lebih waspada lagi karena belum tahu, pada siapa Hadi Tanusubroto berpihak?

*****

Tina menutupi corong telepon dengan tangan setelah mendengar informasi dari orang di seberang sana. Dia memandang kepada atasannya yang berdiri sambil memandangi pion-pion catur yang sedang dimainkan sendirian.

“Pak, Pak Rahmat Widjaya memberi tahu kalau dia diminta oleh Pak Hadi untuk mau diwawancara oleh wartawati Diana. Pak Rahmat tanya, apakah dia bisa memberikan wawancara itu, Pak?” tanya Tina.

Bramantyo mengangkat wajahnya dan mengerutkan kening. “Pak Hadi yang minta?” Dia balik bertanya.

Tina mengangguk. “Melalui asisten pribadinya,” jawabnya.

Bramantyo tercenung. Apa maksud pengusaha media satu itu? Kenapa bukannya mencegah wartawatinya, dia malah mendukung?

“Katakan pada Pak Rahmat, silakan lakukan wawancara, tapi berhati-hati.”

“Baik, Pak.” Sigap, Tina menyampaikan pesannya. Saat sang asisten menutup panggilan, Bramantyo mendekatinya dan memandangnya dengan tatapan penuh tanya.

“Tina, menurut kamu, apa motif Pak Hadi? Kenapa dia tidak membantu membungkam wartawan itu, tapi malah mendukungnya?”

Sang asisten menimbang jawabannya sebentar. “Uhm, menurut saya, ada dua kemungkinan, Pak. Pak Hadi melihat kesempatan untuk menunjukkan kalau media yang dimilikinya bisa menjadi media nomor satu dengan artikel eksklusif yang tidak bisa didapat media lain. Atau, beliau punya alasan pribadi mendukung putri Aryo Seto karena dulu mendiang adalah mentornya, Pak.”

Bramantyo manggut-manggut. “Begitu?” Ia tersenyum. “Tambahkan satu kemungkinan lain, Tin. Sepertinya dia ingin menunjukkan taringnya setelah dulu sempat kalah dalam pencalonan di pilpres. Dia ingin mengatakan kalau dia punya bukti yang bisa dipakainya untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Bukan begitu?”

Tina mengerutkan kening, sebelum kemudian mengangguk. “Saya rasa Bapak benar.”

Bramantyo terkekeh. “Menarik. Sangat menarik.” Ia berjalan menuju ke mejanya kembali, dan memindahkan salah satu pion. “Kalau begitu, kita akan pakai jalan lain, Tin. Hubungi wartawati itu langsung, minta dia mewawancara saya secara eksklusif sebagai kelanjutan dari artikel yang ditulis Washington Post mengenai penobatan saya sebagai salah satu politisi berpengaruh Asia. Bilang saja … saya ingin semakin memperbagus citra saya sebagai politisi untuk persiapan pemilu nanti.”

“Baik, Pak.” Kembali, dengan sigap sang asisten menghubungi seseorang di seberang sana.

Bramantyo tercenung. Ini pasti takdir. Dulu dia berurusan dengan sang ayah, sekarang putrinya.

BERSAMBUNG

Mulai jelas siapa-siapa aja pihak pe jahat di sini?

So, yang enggak sabaran mau baca sampe habis, di Karyakarsa tersedia baca cepat ya, sudah sampai bab ekstra yang enggak akan ada di versi Wattpad.

Sampe ketemu lagi dan makasih banyak.

Winny
Tajurhalang Bogor 28 November 2022

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now