01

151 20 0
                                    

Happy reading pren!

Semoga menikmati, uhuk.


*****



"Opah, please izinin Etam ketemu sama papa. Etam pengen kyk temen-temen Etam yang tiap hari bisa liat papanya."

"Tidak Etam. Tidak akan pernah."

"Opah, Etam capek kalo harus hayalin  papa terus, Etam mau itu jadi kenyataan opah."

"Lebih baik kau menghayal daripada harus bertemu dengan papamu."

*****

Kamar berwana abu-abu milik remaja chubby tampak berantakan, mainan berserakan di bawah kasur, buku-buku komik yang terbuka pun ikut merasakan dinginnya ubin.

Anak yang masih bergelung hangat dengan selimut tampak tak ingin membuka matanya.

Alarm berbunyi mengisi kekosongan ruangan itu, namun percuma saja, sang pemilik kamar tak terusik sedikitpun.

Ahh, tunggu, sepertinya ia bangun. Anak itu memberengut kesal, mengusak matanya yang terasa sangat lengket. Sepertinya, akibat kotoran mata.

"Apasih?, Etam kan masih bobok!"

Pintu kamar anak itu terbuka, memperlihatkan lelaki tua yang berjalan ke arah Etam.

Masih dengan wajah cemberut, Etam mengulurkan tangannya, dengan kaki yang bergesekan dengan kasur karena merasa kesal, "Opah, hiks..."

Lelaki tua itu tersenyum lucu melihat sang cucu yang begitu manja, apa-apaan ini?!, Hanya karena alarm berbunyi saja ia menangis?. Ahh, cengeng sekali!.

Tangan berotot yang mulai tak ketat lagi itu mengangkat Etam, menggendong anak itu seperti koala. Mengusap punggung si kecil dengan teratur agar berhenti menangis.

"Sstt, sudah. Nanti kita hancurkan jam baker itu." Ujar lelaki tua itu--Papilio.

"Sekarang, adek mandi ya."

Etam mengangguk, bercicit pelan, "Mau mandi sama opah."

Papilio menghela nafas panjang, sudah terbiasa mendengar ujaran seperti itu. Ia membawa tubuh kecil itu ke kamar mandi. Membuka pakaian si kecil, menyisakan celana dalam warna hijau bergambar hulk. Sangat lucu.

Lelaki itu, papilio. Sudah terbiasa mengurus Etam, bahkan sejak anak itu masih berumur 1 tahun. Mereka hanya tinggal berdua, di rumah megah, namun sepi penghuni. Tak pernah sekalipun Papilio mengeluh dan kesusahan dalam mengurus cucunya, bahkan ia memperlakukan Etam dengan baik. Meski pada awalnya, ia sangat kesulitan untuk membagi waktu antara Etam dan kerjaan.

Sang istri sudah meninggal 3 tahun lalu, sebab itu mereka hanya berdua. Mengurus segalanya sendiri bukanlah hal yang sulit untuk seorang Papilio. Meski begitu, bukankah ia sudah berpengalaman dalam menjaga anak?. Menjaga papa Etam, contohnya.

"Opah, hari ini udah boleh ketemu sama papa?" Anak yang duduk di dalam bathtub sambil memainkan dua bebek karetnya itu bertanya. Tak menatap wajah sang opah.

Lagi pula, Etam sudah tau jawaban apa yang akan dilontarkan oleh opahnya 'Tidak'. Maka dari itu, rasanya ia malas menatap wajah bengis itu.

"Tidak." Kan, benar kata Etam. Opah pasti begitu. Selalu melarang Etam untuk bertemu dengan papanya. Melihat foto saja Etam tak pernah.

Etam, remaja bergigi kelinci itu setiap paginya pasti akan bertanya demikian, untuk mengawali pembicaraan yang berujung membosankan. Bukan tanpa alasan Etam ingin bertemu dengan sang papa, ia hanya ingin direngkuh oleh tubuh itu. Bukan Etam tak ingin bertemu sang bunda, opah bilang, bunda sudah tiada saat melahirkannya. Saat mendengar itu, rasanya Etam melebur bak timah dipanaskan. Bahkan, hati Etam sepertinya tak utuh lagi.

"Opah." Anak itu menatap melihat Papilio yang sedang menggosok badannya dengan telaten. Mulai dari tangan, kaki, hingga selangkangan.

Papilio berdehem mengawali kata, "Ada apa?"

"Semalam, waktu opah pelgi. Ada om-om datang kesini, katanya mau ketemu sama Etam. Tapi om Frans nggak bolehin olang itu masuk." Dengan semangat anak itu bercerita, menggelengkan kepala saat pas dengan perkataan.

Frans, guru private Etam. Anak itu tak bersekolah di luar, ia hanya akan belajar di rumah. Itu juga karena opah memaksanya. Mau tidak mau, Etam harus menurut, bukan?.

"Jangan bertemu dengan orang tak dikenal. Berbahaya." Hanya itu yang selalu Papilio katakan saat mendengar cerita yang sama dari sang cucu.

Pasalnya, bukan hanya sekali atay dua kali saja cerita seperti itu Etam ceritakan, rasanya. Hampir setiap hari Etam berkata itu. Dikuatkan dengan laporan yang disampaikan oleh Frans, si guru private.

Papilio mengangkat tubuh itu keluar dari bathtub, memasangkan jubah mandi pada tubuh mungil itu.

"Kebesalan, Etam sepelti anak kecil." Cengengesan, merasa lucu dengan diri sendiri.

"Katakan R dengan benar, sayang." Papilio menggendong Etam, keluar dari sana dan berjalan menuju walk in closed.

"Etam kan cadel, susah opah. Lebih baik jika dibilang L saja." Anak itu cengengesan, memainkan dagu sang opah yang tampak baru dicukur dengan tangan mungilnya.

"Opah, itu, Etam mau yang itu." Jari anak itu terulur menunjuk setelan baju saat baru saja Papilio membuka lemari itu.

Papilio menurut, mengambil setelan kaos putih dengan celana ponggol.

Ia tersenyum, kala selesai memakaikan pakaian pada tubuh kecil itu, Etam terlihat sangat lucu. Ukuran kaos yang cukup besar dan hampir menutupi celana yang anak itu pakai.

"Lucu. Cium opah dulu." Ia memajukan pipi sebelah kanannya, menepuk dengan telunjuk panjangnya.

Cup

Satu kecupan manis mendarat pada pipi yang hampir keriput milik Papilio. Senyumnya lebar, selebar jalan tol.

"Opah~" mendadak Etam mengerut, memilin ujung baju yang ia kenakan.

"Ada apa, hm?" Lelaki itu mengangkat tubuh kecil sang cucu, membawa Etam untuk sarapan. Ia tak mau, cucu kesayangannya itu telat makan. Mengingat, kalau Etam punya riwayat penyakit lambung.

Remaja mungil yang sudah menelusupkan wajahnya pada pertengahan ketiak sang opah itu ragu untuk bicara. Ia takut jika opah akan marah padanya.

Ahh, Papilio jelas tau. Etam pasti sedang ada maunya, makannya anak itu tak langsung menjawab, yahh karna, mungkin kemauannya sedikit menentang.

"Katakan." Orang tua itu menepuk-nepuk pantat Etam, siapa tau Etam mau mengutarakan apa yang ia inginkan. Jika tidak, mungkin Papilio akan mati penasaran.

"Etam, mau sama mas, Biyan." Gumaman tak jelas itu keluar. Meski begitu, dengan pendengaran Papilio yang sangat tajam itu, ia bisa mendengar perkataan Etam.

"Tidak. Ini bukan jadwalmu bertemu dengannya."

"Hiks...hiks..." Etam terisak, ia tak suka penolakan. Apalagi, penolakan saat ia sangat ingin bertemu dengan Biyan.

"Kita nggak kawan." Etam bergerak gusar, berusaha turun dari gendongan orang tinggi itu. Namun, percuma saja, ia gagal.

Tubuhnya dipeluk dengan lengan kekar yang mulai meleyot itu dengan kuat. Ahh, jelas saja. Papilio itu takut Etam jatuh, bukan apa-apa, sekarang mereka sedang berada di atas tangga.

"Jangan harap Etam mau cium, opah. Hmpt!"


*****

Tbc

Jangan lupa voment yaa, muahahaha

MatelykWhere stories live. Discover now