Gadis Penjual Coklat

18 6 0
                                    


Yang tak bisa terlupa, yang menjadikan buta, yang membuat tersiksa, yang kau sebut cinta.

***

Beberapa kali aku mengerjap, memastikan bahwa apa-apa yang menyambutku pagi ini bukanlah mimpi. Kotak silver dengan pita berwarna senada, morning glory segar yang berada di vas dan terpajang di meja samping ranjang, lalu yang paling ajaib adalah kehadiran Satria dengan senyum menawannya.

"Selamat pagi, Malya," sapa Satria membuatku semakin terpana.

Dari kemarin tingkah Satria memang menjadi begitu manis. Bahkan, semalam dia mampu membuat jantungku berdetak dua kali lebih kencang hanya dengan ucapan 'selamat malam'. Walaupun tidak seperti adegan romantis yang selama ini aku impikan, tapi kalimat tersebut sudah sangatlah luar biasa bagiku. Iya, sangat luar biasa.

"Kenapa, apa ada yang salah dengan wajahku?" Suara berat Satria yang kembali terdengar menyadarkanku bahwa apa-apa yang tadinya kuanggap mimpi adalah sesuatu yang nyata.

Aku menggeleng pelan lantas menyunggingkan senyum, berharap apa yang kulihat pagi ini akan menjadi abadi bukan sekadar sandiwara.

Pagi dengan senyumnya, pagi dengan wanginya, dan mungkin esok akan ada pagi bersama peluk dan kecupnya. Tidak mengapa aku akan menunggu dengan sabar, pelan-pelan membuka hatinya, lantas menggantikan nama yang kata dia akan abadi di dalam sana.

"Kamu yang menyiapkan semua ini?" tanyaku sembari mengambil kotak silver yang tergeletak di meja.

Perlahan aku mengamati kotak itu, mengambil kartu ucapan yang menempel di pitanya, lalu aku terperangah saat membaca satu nama yang tertera.

"Renata?" Napasku tertahan saat menyebut nama itu. Rasa-rasanya ada sesuatu yang menusuk dadaku, mencabik-cabik isi di dalamnya, dan membuat segala yang awalnya terasa indah berakhir sia-sia.

"Benar ini untukku? Bukan untukmu, Sat?" tanyaku lagi seraya menyodorkan kotak berpita silver itu ke arah Satria.

Renata dengan segala keistimewaannya. Aku menarik napas dalam-dalam, membayangkan wajah ayu wanita yang di  sepanjang pernikahan kami selalu menjadi sesuatu yang berharga bagi Satria. Setiap waktu, semenjak tujuh hari kepergian Papa, Satria sering tidak betah berlama-lama di rumah. Dia akan menghilang sejak pagi, pamit kerja, lalu pulang saat aku terlelap. Alasan kepergiannya tentu saja bukan sekadar kerja, tapi juga untuk menemui Renata.

Pernah sekali waktu aku membututi Satria. Memastikan kemana dia akan pergi, dengan siapa, lantas pada akhirnya aku mendapati dia bersama Renata. Duduk berdua di taman kota, saling menatap, menangis, tersenyum, kemudian berakhir dengan Satria yang menyandarkan kepala di pundak Renata. Satu pemandangan yang bukan hanya membuat hatiku terluka, tapi juga membuatku merasa tidak pernah dianggap ada oleh Satria.

Dua puluh dua tahun aku tinggal bersama Satria, tidak pernah sekali pun aku melihatnya menangis, bahkan saat Papa meninggal dunia. Maka, saat aku melihatnya tidak berdaya di depan Renata, aku merasa keberadaanku sangatlah sia-sia.

Mengapa bukan aku yang ada di sana?

Mengapa bukan aku yang memeluk Satria?

Mengapa bukan aku yang menghiburnya?

Segala tanya bergumul di dalam kepalaku. Tentang arti aku dalam hidup Satria, juga tentang arti janji yang dia ucap di hadapan Papa.

"Iya, ini untukmu. Renata yang menyiapkannya untukmu, Malya." Ucapan Satria membuatku tersadar dari lamunan panjang tentang Renata.

Satria menunjukkan sekelumit kalimat pada kartu ucapan yang masih melekat di pita silver. Sekelumit kalimat manis yang cukup membuat jantungku berdenyut nyeri.

Yang menjadikanmu indah, yang membuatmu sempurna, yang mencipta bahagia, yang kau sebut cinta.

Selamat menempuh hidup baru, Malya.

With love : Renata

Aku masih diam, bahkan saat Satria membuka hadiah dari Renata tersebut. Hadiah yang berisikan coklat-coklat karakter, membentuk tulisan happy wedding. Andai coklat-coklat itu bukan berasal dari Renata, mungkin aku akan segera mengabadikannya lewat kamera lantas memakan satu per satu coklat tersebut dengan penuh suka cita.

"Apa kamu masih marah kepada Renata?"

Satu pertanyaan yang meluncur dari bibir Satria membuatku terkesiap. Jujur aku tidak marah kepada Renata, aku hanya merasa iri terhadapnya. Iri tentang arti dirinya di mata Satria. Iri tentang kedekatannya dengan Satria. Juga, iri dengannya yang mendapatkan tatapan penuh cinta dari Satria.

"Dia tidak seburuk yang kamu kira, Malya." Satria menyunggingkan senyum, disodorkannya satu coklat ke arahku lantas dia kembali berkata, "Kamu tidak ingin mencobanya?"

Hening.

Aku hanya terdiam, menatap Satria yang sedang tersenyum, juga memerhatikan binar di matanya yang entah mengapa membuatku tersadar bahwa jauh di dalam sana nama Renata akan selamanya bertahta.

"Cobalah ...." Sekali lagi Satria menawarkan coklat itu. Maka, demi menghargai senyum manisnya, aku terpaksa menerima coklat tersebut.

Pelan-pelan aku menggigit coklat tersebut. Lalu, saat coklat itu benar-benar lumer di mulut, aku menyadari bahwa rasa coklat ini sama persis dengan coklat yang pertama kali Satria berikan kepadaku 12 tahun lalu.

Iya, rasanya benar-benar sama. Dulu, saat aku masih berusia 16 tahun. Satria pernah membawakanku sekotak coklat sebagai ucapan selamat karena aku telah diterima di SMK jurusan tata boga.

Aku masih ingat raut penuh semangat yang terpancar di wajah Satria 12 tahun lalu. Saat dia bercerita tentang gadis manis penjual coklat. Gadis yang kata dia terlampau lucu, sebab menawarkan coklat dengan cara yang tidak biasa. Iya, Satria bilang kalau gadis itu menceritakan asal muasal coklat yang dia jual, juga menceritakan tentang banyaknya cinta yang terkandung di dalam coklat tersebut.

"Ibuku membuat coklat itu dengan sihir cinta. Cinta yang sejati, cinta ibuku kepada Ayah yang sakit-sakitan. Cinta ibuku kepadaku dan adik-adikku. Jadi, kalau kamu beli coklat ini artinya kamu akan mendapatkan banyak cinta. Dan, kamu juga membantuku mendapatkan uang untuk biaya pengobatan Ayah. Banyak, 'kan, cintanya?"

Kalimat itu masih terngiang di dalam kepalaku. Bahkan, aku masih ingat bagaimana Satria menirukan gerakan centil gadis yang tidak dia sebutkan namanya itu.

Gadis yang pada detik itu juga membuatku merasakan cemburu. Sebab dia mampu membuat sepasang mata Satria berbinar-binar.

"Gadis penjual coklat?" Refleks aku menyebut julukan gadis tersebut. Sialnya, hal itu malah membuat sorot cinta di mata Satria semakin kentara.

"Kamu mengingatnya?" Satria tersenyum lebar. Aku juga bisa melihat kaca-kaca di sepasang matanya. Menciptakan denyut sakit yang menusuk-nusuk di dalam dadaku.

"Gadis penjual coklat itu adalah Renata," lanjut Satria lagi. Kali ini dia mengucap kalimat tersebut sambil mengusap puncak kepalaku. "Dia berharap kamu mendapatkan banyak cinta saat memakan coklat itu, Malya."

Aku tertawa sumbang, menertawakan hati yang rasanya sudah tidak keruan. Perih, tapi aku tidak bisa merintih. Nyeri, tapi aku tidak mampu menjerit.

"Kamu sangat mencintainya, kan, Sat?"

Sial! Tanpa menanyakan hal tersebut harusnya aku sudah tahu jawabannya. Bahwa cinta Satria memanglah terlampau besar untuk Renata. Sangat besar hingga mampu menciptakan lubang yang sangat besar pula di dadaku.

"Hei, aku suamimu sekarang, Malya." Satria menghempaskan napas sebelum akhirnya dia kembali berucap, "Dan, aku akan belajar mencintaimu ...."







Wedding in TrapWhere stories live. Discover now