Seratus Hari Setelah Kematian Papa

97 8 0
                                    

Aroma hujan adalah satu-satunya hal yang mampu membuatku tersenyum setelah seratus hari kematian Papa. Sebab aroma tersebut selalu mengingatkanku tentang dua laki-laki penyayang yang mengajakku menari di taman depan rumah sembari menanti rintik hujan pertama di bulan Oktober dua puluh dua tahun lalu. Dua laki-laki yang sama-sama telah mati, bedanya yang satu sudah benar-benar mati karena penyakit mematikan sedangkan satunya mati jiwanya semenjak menerima permintaan Papa untuk menikahiku.

Helaan napas panjang yang keluar dari bibirku serupa sihir pemanggil hujan. Sebab pada helaan pertamanya titik-titik sebesar biji jagung menimpa rambutku, menyentuh puncak kepalaku lantas mengalir melewati pundak, membasahi sekujur tubuhku yang dibalut homedress ivory, dan menampakkan lekuk yang bahkan hingga 110 hari semenjak hari pertama pernikahanku, lekuk itu sama sekali tidak terjamah.

Harusnya aku tidak perlu mempermasalahkan malam pertama dan malam-malam selanjutnya yang selalu terlewatkan. Bukankah aku sudah tahu kalau laki-laki yang kucinta sejak usia 12 tahun itu tidak benar-benar mencintaiku? Iya, dia tidak benar-benar mencintaiku atau lebih tepatnya dia sama sekali tidak mencintaiku.

Baginya, aku tidak lebih dari seorang gadis kecil yang suka pada hujan, suka pada cokelat, juga pada boneka teddy bear beraroma apek yang selalu terpajang di sudut kamar dengan wajah layu. Dia hanya menganggapku sebatas itu, tidak peduli seberapa sering aku menunjukkan kode-kode cinta kepadanya. Bahkan parahnya, dia telah mengucapkan kalimat menyakitkan beberapa jam setelah perayaan pesta pernikahan kami. Kalimat yang jelas mengungkapkan bahwa pada hatinya tidak sekali pun namaku terpatri. Bahwa pada hatinya ada satu nama yang mungkin akan selalu abadi.

Pernikahan ini hanyalah wujud rasa terima kasihnya kepada Papa-- satu-satunya laki-laki dewasa yang menyelamatkannya dari keterpurukan saat dia masih berusia 7 tahun. Maka, saat Papa memintanya untuk menikahiku dia sama sekali tidak menolak. Terlebih saat itu Papa dalam kondisi kritis, kanker telah benar-benar menggerogoti tubuh Papa. Membuat beliau tidak bisa lagi berlama-lama menjagaku dan menurut beliau hanya laki-laki yang bernama Satria Bagaskara itu lah yang mampu membuatku bahagia. Namun nyatanya ....

Aku tertawa hambar sembari menatap laki-laki jangkung yang turun dari Volkswagon silver. Dia terlihat gagah dalam balutan jas abu-abu, tampan dengan rahang keras, garis hidung tinggi, dan tentu saja dengan mata elang yang akhir-akhir selalu menatapku dengan kebencian.

Hujan masih belum berhenti, mereka masih setia menyentuh setiap jengkal tubuhku, mengaburkan air mata yang menetes membasahi pipiku, juga menyaksikan tiga sosok yang berdiri di masing-masing tempatnya.

Aku yang terdiam di depan halaman dengan  tatapan kosong.

Suamiku, Satria Bagaskara, yang memegang payung sembari menatapku dengan kebencian.

Dia, wanita yang berdiri di bawah naungan payung milik suamiku. Wanita yang jelas namanya masih terpatri abadi di dalam hati Satria.

"Apakah ini waktunya?" tanyaku dengan senyum datar.

***

Cahaya redup lampu kamar menjadi hal pertama yang menyambutku, disusul dengan wangi teh melati yang asapnya menyebarkan rasa hangat di tengah dinginnya udara malam. Dingin yang bukan hanya berasal dari sisa-sisa hujan di luar sana, tapi juga berasal dari tatapan Satria yang menyergapku.

Entah sudah berapa lama dia berada di kamarku, duduk dengan melipat kedua tangannya di dada sambil menatap kesal ke arahku. Aku lupa, setelah kejadian tadi sore kepalaku mendadak pening, pandanganku mengabur dan tiba-tiba saja aku sudah terbangun di kamar bersama malaikat pencabut nyawa--sebut saja Satria dengan panggilan itu--karena dia memang serupa malaikat maut yang mampu membuat jantungku seolah-olah terhenti.

"Mengapa kamu ada di sini?" tanyaku sembari mengubah posisi bantal agar aku dapat lebih nyaman bersandar, "Aku pikir kamu pergi dengannya." Sengaja aku menekan kata 'dengannya' supaya Satria paham bahwa tidak sepantasnya dia membawa wanita itu di rumah ini, rumah warisan Papa.

"Renata maksudmu?" Satria tersenyum sinis. Aku bisa melihat tatapan mencemooh dari sepasang matanya. "Pergi dengan Renata dan membiarkan kamu pingsan di halaman, begitu?"

Akan lebih baik jika aku pingsan lebih dulu, sebelum melihat wanita itu menggandeng mesra Satria tepat di depan mataku. Setidaknya aku tidak akan merasakan perih yang menusuk-nusuk seperti saat ini. Perih yang juga menunjukkan betapa bodohnya aku, mencintai laki-laki yang bahkan tidak pernah sekali pun menganggapku berarti.

"Lalu, di mana sekarang wanita itu?" Aku memijat pelipis dengan kedua tangan, mencoba mengurangi rasa nyeri yang  bendenyut-denyut.

"Mengapa kamu peduli dengan Renata, Malya?" Satria berdecak kesal, dia bahkan bangkit dari sofa lantas mendekat ke arahku. "Mengapa tidak kamu habiskan saja tehmu lalu tidur dengan nyenyak?"

"Kamu pikir aku bisa tidur nyenyak setelah melihatmu membawa wanita itu ke rumah ini?"

Tanganku terasa kebas, ingin rasanya aku memukul-mukul dada Satria seraya berteriak lantang agar dia sadar bahwa tidur lelapku telah lama lenyap. Iya, sejak Satria mengucapkan kalimat menyakitkan di malam pertama kami, aku tidak bisa lagi tidur dengan nyenyak.

"Stop memanggil Renata dengan sebutan seperti itu, Malya. Dia Renata dan dia wanita yang aku sayang."

Satria menatapku tajam, jelas ada kemarahan yang meletup-letup di sepasang matanya. Sial! Begitu dalam arti Renata di mata Satria, saking berartinya hingga membuat dadaku terasa sesak. Sangat sesak.

"Aku, Malya Arkadewi, istrimu." Aku tersenyum manis ke arah Satria, senyum manis yang mungkin baginya terlihat begitu menyebalkan. "Kamu masih ingat janjimu kepada papaku, 'bukan?"

***






Wedding in TrapWhere stories live. Discover now