Pendar

20 0 0
                                    

Sama halnya sebuah pendar, cahayaku pun hanya mengerling—bertahan sebentar.

Giftan

@@@

Setelah memadamkan lampu kamar tidurnya, Giftan merebahkan kepala di atas bantal. Dia tidak pernah menggunakan penerangan lain lagi saat tidur. Cowok itu suka gelap. Bukan berarti hitam, melainkan gelap. Giftan suka warna biru gerau, merah marun, hijau army.

Atmosfer gelap kamar dan kesendirian ini membuatnya tenang, sekalipun nantinya pikiran Giftan akan menjelajah kemana-mana. Bukan pada hal horor, tetapi masa lalu yang selalu Giftan rindukan. Suasana gelap mengantar Giftan pada khayalan indah, tanpa dirinya akan terusik untuk menghadapi ketakutannya.

Masa lalu adalah rumah ternyaman bagi Giftan, yang hanya bisa disambanginya lewat imajinasi menjelang tidur. Orang-orang overthinking terhadap masa depan. Sedangkan Giftan, hatinya masih terus singgah di masa yang sudah terlewati.

Segalanya selalu diputar ulang dalam benaknya, dimulai dari saat sang ayah masih menemaninya di rumah lama mereka. Giftan tidak memiliki figur ibu dalam hidupnya. Kata sang ayah, bisa jadi ibunya masih menghirup napas saat ini. Ada satu hal yang tidak pernah ayahnya ceritakan, yaitu mengenai ibunya. 

Giftan tersenyum getir dan berbaring dengan posisi miring. Dulu, dia selalu marah mengapa ayahnya tidak pernah menjawab. Namun, setelah beberapa tahun tinggal bersama paman dan bibinya, Giftan justru dibuat marah mengapa dia harus tahu semua tentang ibunya dari mulut mereka--mulut kotor yang bahkan di setiap harinya membicarakan hal buruk dan mereka gunakan untuk mencacimakinya. 

Sesuatu yang jatuh sempat berbunyi, tetapi Giftan tak ambil peduli. Lamunannya masih terus berkutat pada masa-masa dulu. Giftan berkata pada dirinya sendiri, bahwa tidak apa-apa dirinya tidak memiliki sosok bidadari yang disebut ibu. Dia masih memiliki seorang ayah multitalenta yang dapat melakukan apapun yang Giftan inginkan. Giftan ingin makanan apapun, ayahnya bisa memasakkannya. Giftan ingin mainan, ayahnya bisa membuatnya sendiri, meski hanya dari seonggok kayu lapuk, sang ayahnya mampu merubahnya menjadi pedang atau mobil-mobilan. Bahkan, Giftan ingin terbang pun, ayahnya langsung mengajaknya ke pasar malam dan menaikkannya gajah terbang.

Kebahagiaan Giftan seolah segalanya bagi sang ayah kala itu. Dan Giftan pun merasa sangat dimanjakan olehnya. Sampai akhirnya, sebuah perjanjian diikrarkan. Bukan soal ayahnya bertemu wanita baru, tetapi perjanjian dengan Giftan sendiri. Perjanjian yang untuk membuktikannya Giftan harus bertahan atas semua hal yang ingin menghancurkannya. Dirinya sudah sampai sejauh ini, mungkin saja janji itu akan terpenuhi besok. Giftan tidak pernah tahu, maka yang bisa Giftan lakukan saat ini adalah bertahan hidup.

Tadinya, cara bertahan hidupnya adalah dengan menjadi orang ambisius dalam hal akademis. Prestasi Giftan pernah begitu cemerlang. Semua anak di sekolah mengenalnya. Anak-anak di kelas selalu menawarinya tempat duduk, mungkin berpikir bahwa Giftan bisa membantunya belajar. Rubby menjadi tim olimpiadenya dan bisa duduk dekat dengannya. Dan Gerald, cowok itu paling-paling hanya memaksanya memberi sontekan dan jawaban tugas.

Giftan menginginkan beasiswa untuk sekolah yang bagus. Yang dalam mimpinya memiliki asrama sehingga dirinya tidak perlu repot mendengar sindiran bibinya terhadap ayah Giftan tiap kali memberi jatah uang saku, atau dipukul pamannya karena telat membantunya menyiangi rumput di halaman. 

Dia menginginkan kebebasan. Padahal, tinggal beberapa langkah lagi dia mencapainya. Sayang, keindahan hidupnya harus dirampas tuberkulosis sialan itu. Rencana jangka panjangnya berantakan hanya karena makhluk bersel satu. Hingga akhirnya, Giftan tidak jarang memutuskan bahwa kebebasan yang ingin dia gapai adalah kebebasan dari dunia ini. Jadi, tidak perlu lagi memikirkan masa depan. Giftan mengutuk dirinya bahwa dia tidak akan ada di sana.

Giftan tersenyum lagi, kali ini bukan getir, melainkan senyum kosong. Senyum putus asa. Hidupnya yang manis serasa hanya sekerlipan cahaya. Sisanya gulita.

Suara ledakan kecil terdengar, seperti ada sesuatu yang baru saja memaksa keluar dari sebuah kotak. Giftan menoleh, tidak ada apa-apa, hanya saja Giftan ingat dia meletakkan kotak kado Rubby yang tidak jadi diberikannya di atas meja belajar, sekarang tidak ada di sana. Kotak itu jatuh!

Jangan sampai patung baletnya patah. Rintangan hidup kamu bakal lebih berat, kamu enggak boleh nyerah. Giftan tiba-tiba saja teringat kata-kata si penjaga toko. Dia kemudian berdiri, bangkit dari kegiatannya mengenang masa lalu.

Mengejutkan sekali. Bungkus kadonya sudah terbuka, tidak dengan cara terbuka yang wajar. Normalnya kotak kado itu tidak akan robek. Robekkannya bahkan seperti benda di dalamnya terdorong keluar. Giftan baru sadar, kotak musiknya terbuka dan patung baletnya menghilang. Dia sudah menggagap lantai di sekitar, tapi tidak juga ketemu.

Saat hendak berdiri untuk menggapai saklar lampu, tangan lain sudah menyentuhnya terlebih dahulu. Lampu kamar bersinar terang dan Giftan bersumpah melihat tangan kurus berwarna putih pucat masih menempel di dinding depannya saat ini. Cowok itu mundur perlahan dengan tubuh gemetar. Tangan itu tertarik oleh sesuatu yang mungkin adalah pemiliknya, Giftan belum berani menoleh ke arah kanan. Cowok itu membuang muka dan menutupnya.

Melihat hantu tidak ada dalam daftar kegiatannya sebelum tidur, dan Giftan tidak mau sampai bangun kesiangan esok hari gara-gara insomnia, lalu akan dicelupkan di drum air seharian oleh pamannya.

Tiba-tiba saja sebuah jari mendarat di pundaknya, menyoleknya. Giftan terlonjak kaget sampai terjerembap di lantai. Dia meringkuk dengan kedua lengan melindungi kepala. Gifta merintih takut.

"Tolong, jangan ganggu gue. Cukup si tbc rese ini aja, tolong ...."

"Oh? Enggak, kokꟷ"

"Yah, dijawab lagi."

"Saya tidak akan ganggu kamu. Kamu punya mata boleh kamu buka?"

Sesaat Giftan ragu. Kalau dibayangkan dari caranya bicara, Giftan sepertinya tahu hantu itu berasal dari zaman Belanda. Aksen bicaranya seperti bule baru bisa Bahasa Indonesia, bahkan pencampuran kosakatanya kedengaran sangat aneh. Giftan jadi takut kalau nanti yang akan dilihatnya adalah hantu noni Belanda berkepala buntung, atau mukanya hancur, atau rusak organ tubuhnya dan berdarah-darah hasil penyiksaan zaman penjajahan. Seperti yang ada di cerita-cerita Risa Saraswati.

"Tidak apa-apa, saya mengetahuinya kalau ini akan kelihatan terlalu aneh untuk kamu."

Maka, untuk meyakinkan diri, Giftan ingin mencari tahu. "Saya punya pertanyaan!"

"Apa itu?"

"Kamu punya kepala?"

"Tentu saja. Kalau saya tidak punya kepala saya tidak mungkin berbicara, karena mulut saya di sana."

"Hidung?"

"Saya punya dua lubang hidung."

"Ada batangnya atau hanya lubangnya?"

"Yang benar saja. Saya punya hidung mancung."

Makhluk itu terdengar mulai muak dengan berondongan Giftan yang terasa tidak masuk ke akal sehatnya. Ah, harusnya keberadaan makhluk bersuara perempuan di depan Giftan itu lebih tidak dapat dilogika. Meski demikian, Giftan pun akhirnya memberanikan diri untuk membuka mata. Bulu kuduknya terangkat sejenak melihat kaki telanjang dengan kulit putih pucat di hadapannya. Semakin matanya bergeser ke atas, dia justru mulai terpesona.

Giftan bersumpah, Natalie Portman versi lite ada di hadapannya saat ini! 

***

Hiraeth [By Viavidi]Där berättelser lever. Upptäck nu