Morning Glory Bouquet

30 7 0
                                    

Beberapa menit tatapanku terpaku pada buket morning glory yang tergeletak di depan pintu. Buket itu terasa tidak asing dalam ingatanku--beberapa tahun lalu aku juga pernah menerima buket yang sama. Seharusnya sang pemberi buket sedang berada di Bali sekarang. Sibuk dengan bisnis florist-nya yang mulai menggurita. Bahkan saking sibuknya, dia sampai lupa datang di acara pernikahanku.

Hai, apa kamu sudah bahagia?

From : Langit

Aku berdecak kesal saat membaca pesan pada kartu ucapan yang terselip di buket tersebut. Ada ribuan pertanyaan yang ingin aku lontarkan kepada sang pemberi buket ini, mencecarnya dengan omelan panjang, juga makian pedas sebab dia sama sekali tidak membalas WA-ku.

Apa aku harus mengomel kepada buket ini? Tidak, 'kan?

Harusnya dia menemuiku. Aku juga ingin tahu cerita tentangnya, tentang bisnisnya, juga tentang gadis yang katanya sangat dia cinta.

Aku sungguh merindukan cerita-cerita konyol yang dulu sering Langit lontarkan. Basa-basi busuk yang dulu terdengar memuakkan kini justru sangat kunantikan. Mungkin ini karena aku sudah merasa sangat kesepian. Mungkin?

Aku mengempaskan napas kasar, sebelum akhirnya menutup pintu, dan membawa buket morning glory ke dapur. Ada vas yang tidak terpakai di sana, kurasa akan lebih menyenangkan jika aku melihat bunga ini terpajang di tempat favoritku. Setidaknya, aku tidak akan merasa kesepian saat memasak makanan favorit Satria. Anggap saja Morning Glory tersebut adalah pengganti Langit yang dulu sering menemaniku mengeksekusi beragam masakan.

"Dari Langit?"

Nyaris saja aku menjatuhkan buket dari genggaman saat Satria tiba-tiba muncul dari arah dapur menuju ruang makan. Bahkan, aku sampai mengelus dada saking kagetnya melihat malaikat pencabut nyawa itu bersuara. Aku kira dia lupa cara berbicara sebab sejak kejadian semalam atau lebih tepatnya sejak kepergian Papa, laki-laki itu lebih banyak diam, bahkan melirikku saja enggan.

"Sudah saling melepas rindu?" tanya Satria lagi dengan ekspresi datar yang membuatku bertambah jengkel.

Entahlah, aku merasa Satria yang sekarang lebih mirip dengan gadis remaja labil yang sedang PMS. Tiba-tiba diam, tiba-tiba marah, dan sekarang tiba-tiba saja kesal tanpa alasan yang jelas.

"Mengapa diam? Masih kurang melepas rindunya?"

Dadaku mendadak bergejolak, melihat Satria menyudutkanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berdasar seperti itu sungguh membuatku ingin membanting apa pun yang ada di depan mata. Harusnya dia diam saja seperti biasa, melewati meja makan tanpa menyentuh makanan buatanku, dan pergi tanpa pamit lantas pulang menjelang petang. Kurasa itu lebih baik daripada melihat dia membicarakan hal yang tidak-tidak.

Menenggak segelas air menjadi hal paling rasional yang bisa aku lakukan saat ini. Setidaknya aku bisa menenangkan dadaku yang terbakar akibat ulah Satria. Toh, sekarang aku sedang tidak ada tenaga untuk membalas ucapan malaikat maut tersebut.

"Diam, berarti iya. Jadi, benar kamu sudah saling melepas rindu?"

Ck, sial!

Aku meletakkan gelas di meja makan dengan kasar, lantas kutatap tajam laki-laki menyebalkan yang kini berdiri tepat di depanku itu. "Kamu kenapa sih, Sat?"

Helaan napas kasar terdengar dari bibirku, semenit setelah aku meletakan buket dari Langit tepat di samping gelas yang isinya baru saja kutenggak habis.

"Tidak biasanya kamu bertingkah konyol seperti ini!" Dengan nyalang aku menatap wajah dingin Satria.

Dia memang benar-benar aneh hari ini. Dari mulai berjalan menuju ruang makan, menanyakan hal-hal yang tidak masuk akal, dan sekarang dia malah sibuk mengambil setangkup roti bakar mentega bertabur gula--kudapan favoritnya semenjak kami sama-sama duduk di bangku SD--tanpa sekali pun memedulikan ocehanku. Hai, bukankah dia yang tadi mencecarku dengan banyak pertanyaan? Lalu, mengapa sekarang dia malah sibuk dengan makanan?

"Memangnya aku tidak boleh khawatir kepadamu?"

Aku menelan ludah. Satria mungkin kerasukan makhluk halus hari ini.

Sejak kapan dia khawatir kepadaku?

Bukankah dari dulu dia bertingkah biasa saja saat melihatku dekat dengan Langit? Toh, dia juga tahu, 'kan, kalau aku dan Langit hanya bersahabat? Tidak lebih.

"Memangnya aku tidak boleh khawatir kepada istriku?"

Istri?

Beberapa menit aku seakan-akan terhipnotis dengan kata tersebut. Entah aku yang tidak waras atau memang Satria yang sedang kesurupan?

Hampir empat bulan kami menikah, baru kali ini aku mendengar dia menyebutku istri. Aku tidak tahu, apakah hari ini aku harus berteriak bahagia atau putus asa? Sebab semuanya terasa begitu tiba-tiba

Aku tidak sedang bermimpi, 'kan?

"Sejak kapan kamu menganggapku istri?" tanyaku kepada Satria lagi. Aku hanya ingin memastikan bahwa apa yang kudengar memang benar adanya.

Senyap. Satria yang tadinya sibuk mengunyah roti, sekarang tiba-tiba menatapku dengan cara tidak biasa. Aku tidak tahu arti dari tatapannya, hanya saja tatapan itu membuat jantungku berdetak tidak terkendali. Seperti ada sesuatu yang menembus dada lalu menuliskan nama Satria di dalam sana.

"Sejak aku mengganti bajumu kemarin sore, Malya," ucapnya datar sambil meraih buket morning glory yang ada di meja makan, lantas dibuangnya buket tersebut ke keranjang sampah. Sementara, aku malah terdiam dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan.

***

Oktober menjadi bulan penuh hujan di Banyuwangi. Nyaris tiap hari aroma basah, suara guntur, dan cahaya kilat menyapa kota tempat Papa membesarkanku ini. Hawa dingin yang tercipta akibat hujan membuatku betah berlama-lama di depan TV, meringkuk dengan menggunakan selimut tebal sambil sesekali meneguk cokelat hangat yang menjadi teman setia saat aku merasa kesepian sebab Satria selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Padahal, kami berada di dalam satu ruangan.

Seperti saat ini, aku kembali mendapati Satria tenggelam ke dalam dunianya--membaca tumpukan buku tebal beraroma khas--yang selalu sukses membuatku cemburu semenjak aku mulai jatuh cinta dengan laki-laki berusia 28 tahun itu.

Sepertinya aku harus banyak belajar dengan buku-buku itu agar bisa mengambil alih hati Satria. Atau mungkin aku harus hujan-hujanan sampai pingsan agar Satria memperhatikanku lagi, seperti kejadian di sore kemarin.

Kejadian sore kemarin ....

Aku menelan ludah lantas dengan cepat merapatkan selimut di tubuh saat ingatan tentang kejadian sore kemarin kembali terlintas di dalam kepalaku.

Rasanya dadaku seperti akan meledak waktu membayangkan adegan Satria mengganti bajuku.

Astaga! Bagaimana mungkin aku tidak menyadari bahwa saat aku tersadar kemarin malam, homedress basah yang awalnya aku kenakan sudah berganti dengan piyama?

Dengan cepat aku melihat tubuhku di balik selimut, lalu aku berganti menatap Satria yang masih sibuk berkutat dengan buku-buku favoritnya. Berulang kali aku melakukan hal konyol tersebut hingga aku menyadari bahwa Satria kini sedang memperhatikan ulahku.

"Kamu baik-baik saja, Malya?" tanyanya sembari meletakkan buku di meja. "Kamu kedinginan?" Satria mengernyitkan dahi, tampak seperti orang yang penasaran akibat melihat ulah ajaibku.

Aku yang melihat tatapan aneh Satria tiba-tiba merasakan hawa panas yang menjalar di sekujur tubuh. Padahal, hujan belum juga reda tapi udara di sekitarku mendadak menjadi begitu gerah.

Alih-alih menjawab pertanyaan Satria, aku justru semakin merapatkan selimut hingga sesenti tubuhku pun tidak lagi terlihat.

Ada perasaan aneh yang memenuhi kepala dan hatiku. Takut, gemetar, sekaligus deg-degan. Bayangan tentang Satria yang mengganti pakaianku kembali terlintas dan itu malah membuat jantungku kian berdebar-debar. Rasa-rasanya aku ingin melarikan diri, tapi sialnya tubuhku malah tidak bisa digerakan. Bahkan, ketika aku merasakan Satria mengusap puncak kepalaku, aku masih saja diam membeku.

"Apa kita perlu melakukannya sekarang? Kurasa cuaca sedang mendukung."

***







Wedding in TrapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang