24. Teman Yang Galak

Magsimula sa umpisa
                                    

Diana mengangguk sambil tersenyum.

Wajah Bejo menunjukkan rasa ngeri. "Lo pacaran sama dia? Enggak takut? Kayak ... psiko gitu orangnya? Apa tuh? Punya kepribadian ganda gitu?"

Diana berdecak. "Cowok kalo enggak ada sisi seremnya, bisa kayak elo nanti, Jo. Mana macho?"

Bejo ternganga. "Woy! Maksud lo apa, nih? Gue kurang cowok, gitu?"

"Bukan gue yang ngomong."

Kepala Diana didorong telunjuk Bejo yang emosi. Kamerawan itu langsung mengangkat tas kameranya dan berjalan mendahului, meninggalkan Diana yang terbahak-bahak di lobi.

"Jo, woy! Ngambek gitu aja, elah!" Jail, Diana menyusul dan langsung melingkarkan lengannya di pinggang Bejo yang langsung berjengit dan mendorongnya menjauh.

"Di! Lo gila? Ngapain lo meluk-meluk gue?" tanya Bejo ketakutan, membuat Diana heran.

"Napa, dah?" Dia bertanya balik.

Bejo melihat sekeliling. "Gue masih pengen hidup, Di," bisiknya. "Kalo Mas Tyo lo itu ngelihat gue dipegang-pegang ceweknya, bisa mati dimutilasi gue. Dia polisi, pasti pinter ngaburin barang bukti."

Diana melongo. "Lebay lo!" serunya kemudian, disusul tawa geli.

Namun, Bejo jelas serius dengan perasaan takutnya. Dia memberikan tatapan peringatan saat Diana mendekat, membuat Diana hanya bisa mengerucutkan bibirnya sebal.

*****

"Si Ora mana, sih? Bokap lo bisa marah nih kalo sampe telat kita," gerutu Diana sambil melihat arlojinya. "Mana gue ada janji sama pengacara pihak Pak Wali habis ngomong sama dia."

"Nasib gue apes banget, sih? Cuma ada tiga orang yang bikin gue takut dan elo ngumpulin semuanya dalam satu ruangan," bisik Bejo, bukan untuk menjawab Diana. Dia menunduk, pura-pura memeriksa kameranya.

Diana memandangnya heran. "Ngapain lo ngeluarin kamera, kita bukan wawancara, kok?" tanyanya.

Bejo malah membelalak kesal, dan memberikan tanda ke arah pintu kantin kampus. Spontan Diana menoleh ke arah pintu kantin dan melihat tiga orang masuk hampir bersamaan. Pertama, kekasihnya, Tyo—dia memberikan senyum termanis kepadanya yang hanya disahuti Tyo dengan anggukan sebelum kemudian mencari tempat duduk di sudut. Penampilan Tyo sedikit rapi, mirip dosen.

Kemudian, yang kedua. Profesor Husni, guru besar sekaligus pakar ekonomi yang dihormati sekaligus dibenci banyak pihak karena idealismenya yang sering berseberangan dengan mereka. Beliau berjalan bersama dengan Ora yang tampak mendengarkan setiap perkataannya dengan serius. Keduanya langsung melihat Diana dan Bejo, dan melangkah tanpa ragu mendekati mereka. Cepat, Diana berdiri untuk memberikan salam hormat kepada sang guru besar.

"Pagi, Prof. Terima kasih banyak karena memberi kesempatan saya konsultasi," katanya, sopan. Dia tersenyum pada Ora. "Hai, Ra. Kamu dan Prof Husni saling kenal?"

Ora hanya mengangguk sedikit. "Iya, dulu pernah ikut seminarnya dan sering diskusi barbuk perdata," sahutnya. Dia duduk, tanpa sadar menempatkan dirinya dan Profesor Husni di kiri dan kanan Bejo yang tampak mengkeret.

Prof Husni mengangkat sedikit sudut bibirnya. "Maaf, saya mengusulkan bertemu di sini karena sekalian ingin makan, dan takut tidak ada waktu lain," sahutnya sambil ikut duduk.

"Tidak apa, Prof. Saya tahu Prof sibuk, ini sudah kehormatan banget bisa ketemu Prof. Silakan, Prof. biar saya pesankan dulu, Prof mau apa?"

"Soto Betawi dengan nasi putih, terima kasih banyak."

"Kamu, Ra?" Diana mengalihkan perhatian pada Ora.

"Aku minta air jeruk saja, thanks, Di." Ora tanpa sengaja memandangi Bejo yang tersenyum salah tingkah. Pengacara itu tidak membalas senyumnya dan malah mengerutkan kening, heran. Tapi, bahasa tubuhnya malah diartikan Bejo sebagai mengintimidasi.

Diana, Sang Pemburu BadaiTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon