"Ma, Papa kenapa nggak ikut ke rumah Uti?" Fathur menoleh ke arah wajah Mamanya. Pertanyaan yang dia ulang dari tadi tapi tak pernah mendapatkan jawaban memuaskan.
Fathur memang jenius, anaknya pernuh rasa ingin tau, teliti, dan menyukai hal-hal berbau kabel, dinamo, robot dan buku.
Diusia 2 tahun, kosakatanya mencenggangkan. Dan diusia 4 tahun, Fathur lancar membaca. Hal ini sempat Sarah tes di Biro psikologi. IQ Fathur mencapai 140. Anak jenius. Membanggakan sekaligus mendebarkan. Untungnya selain kemampuan intelegtual yang menonjol, selebihnya Fathur seperti anak sepantaran lainnya. Walau ia lebih senang bermain bersama orang dewasa.
Setelah mengetuk pintu tanpa menjawab 'lagi' pertanyaan si anak. Pintu rumah besar di hadapan sarah terbuka. Mertuanya yang berdiri di sana.
Dan.. Persis sama seperti kebiasaan Lia sebelum-sebelumnya saat menyambut Sarah jika mampir kerumah. Selalu datar.
"Uti!!!" teriak Fathur kegirangan. Ia segera masuk sembari merentangkan tangan.
Melihat wajah mertuanya berubah menjadi cerita sedikit banyak membuat Sarah bersyukur. Walau dia tidak terlalu diterima oleh Lia. Paling tidak Fathur tetap menjadi cucu pertama yang Lia sayang sepenuh hati.
"Dimas tidak ikut?" Walau tidak begitu menyukai Sarah. Lia tetap bersikap baik. Bagaimanapun Sarah adalah menantu pilihan almarhum suaminya.
"Ada kerjaan, Ma." begitu balas Sarah.
"Weekend kok masih kerja."
"Mungkin karena sebentar lagi akhir tahun."
Setelah jawaban Sarah, tidak ada lagi balasan dari Lia. Ia sibuk bermain bersama Fathur di karpet depan TV.
Sedangkan Sarah akan menyusun beberapa masakan dan kue yang selalu ia bawa dari rumah. Yang selalu ia rapalkan doa agar ketika kue dan makanan ini di konsumsi oleh Lia. Luluh lah hati mertuanya.
Sejujurnya, Sarah sangat ingin Lia menganggapnya seperti anak kandung sendiri. Bukan seperti tamu atau orang asing yang kebetulan dapat menikah dengan anak kandungnya.
Apalagi masalah Dimas dan Natalia yang memberatkan jiwa Sarah. Ia butuh sandaran dan masukan seorang Ibu. Karena otaknya benar-benar telah kacau. Praduga dan asumsinya merajai pikiran hingga rasanya Sarah sudah tidak sanggup lagi.
Atau memang.
Sudah tidak sanggup.
Sarah menghampiri Lia dan Fathur. Awalnya ia hanya membawa kue gulung selai nanas dan secangkir teh hangat untuk Lia. Namun, ia berbalik lagi kearah dapur, dan datang-datang membawa seember air dan handuk kecil.
"Ma, duduk dulu di sofa." pinta Sarah. Dia sudah bersimpuh di bawah sofa dengan ember air dan handuk di depannya.
"Ada apa?" Lia mengernyit tidak mengerti.
Melihat Lia tak bergerak sedikit pun. Sarah akhirnya menghampiri, memegang tangan Lia dan membawanya untk duduk di atas sofa depan TV, untungnya Lia tidak memberontak.
Perlahan Sarah amit untuk mengangkat sedikit celana Lia dan membawa kedua kaki mertuanya untuk berendam dalam seember air hangat kuku.
Rasa nyaman dan tenang melanda hati dan pikiran Lia.
"Mama nggak mandiin, Uti? Kayak pagi tadi mandiin Abang?" Fathur berkomentar terlebih dahulu.
Sejak namanya disematkan nama 'Abang' itu pula, Fathur jadi tidak mau dimandikan lagi. Kecuali kalau dia mengantuk paginya dan harus segera berangkat ke sekolah.
"Uti sih sudah mandi. Ini Mama cuman mau cuci kaki Uti aja."
"Kaki Uti kotor?"
"Tidak sayang."
YOU ARE READING
After My Fault (On-going)
RomanceSetelah semua kesalahan Dimas, akhirnya ia harus menelan mentah-mentah atas kepergian istrinya dan surat gugatan dari pegadilan. Kesalahan paling fatal yang ia lakukan atas dasar nafsu sesaat. Memaksa Sarah untuk mengambil keputusan sepihak untuk me...
