"Iya kan? Hahaha." Mata kami sempat bertemu sebentar, lalu dengan cepat ia mengalihkan pandangannya ke atas. Berpura-pura memperbaiki poninya yang terlihat tidak berantakan; masih lurus, rapi, dengan warna coklat kehitaman, menutupi alisnya yang sedikit tebal oleh make-up.

Sebagai seorang laki-laki yang nyaris tidak mengetahui apapun mengenai make-up, setidaknya aku paham bahwa dia bukanlah orang yang pandai dalam menggunakan make-up atau mungkin 'tidak terbiasa' adalah kata yang lebih tepat. Alis yang ia poles terkadang terlihat tidak simetris. Lipstik yang ia gunakan terkadang terlihat tidak merata di seluruh bibir tipisnya. Dan bedak di wajahnya, terkadang mengingatkanku dengan bedak di wajah bocah-bocah yang baru saja selesai mandi di sore hari, yang sedang disuapi nasi oleh Ibunya di pekarangan rumah.

Tapi, aku tidak pernah mengomentari perihal make-up pemula itu. Aku rasa itu adalah cara dia untuk mengapresiasi pertemuan kami.

Aku masih ingat, salah satu temannya pernah berkata bahwa wajahnya terlihat terlalu lugu dan mungkin satu atau dua make-up tipis akan membuatnya terlihat lebih dewasa. Jika disuruh memilih, aku akan lebih memilih wajahnya yang polos itu, yang seperti kertas kosong; 'Tabula Rasa.' John Locke berpendapat jika manusia terlahir tanpa tahu apa-apa, dan pengetahuan datang dari pengalaman serta persepsi individu tersebut, seperti menulis di atas kertas kosong. Wajah 'Tabula Rasa' itu yang membuatku selalu menjadi 'penulis dadakan,' aku akan membicarakan berbagai macam hal-hal aneh dan dia akan diam mendengarkan lalu sesekali mengangguk di tengah pembicaraan.

Kenalan kami mungkin pernah berpikir jika kami adalah pasangan yang sangat kontras. Tetapi, memiliki banyak 'kesamaan' tidak dapat dijadikan acuan sebuah hubungan yang baik. Interaksi asimetris dari dua orang yang kontras menciptakan ruang bagi mereka untuk saling mengapresiasi kelebihan satu sama lain, dan meyakini jika perbedaan setidaknya dapat saling menutupi kekurangan satu sama lain. Semenjak mengenalnya, aku mulai bisa mengapresiasi hal-hal sederhana dan perhatian-perhatian kecil—seperti sekarang, hanya duduk-duduk berdua dan menghabiskan sore dengan minum kopi bersama.

Anak-anak dikenal sebagai entitas yang sedikit mengganggu, mengingat mereka sering sekali melakukan kontak mata dengan orang lain tanpa rasa malu. Anak-anak sangat bergantung pada indera visual mereka untuk 'mempelajari dunia' dan anak-anak yang jarang melakukan kontak mata, sering dianggap sebagai salah satu gejala ADHD. Entah kenapa, ketika dewasa orang-orang mulai kehilangan kemampuan untuk melakukan kontak mata itu. Mungkin, kontak mata dianggap terlalu mengintimidasi, atau kurang sopan sehingga setiap kali kita berbohong mata kita akan menghindari kontak mata lalu melihat ke samping, atau saat berbicara dengan seseorang kita akan melihat ke arah mulutnya dibanding matanya. Beberapa orang dewasa masih memiliki kebiasaan melakukan kontak mata secara intens, dan dia adalah salah satunya. Dibanding mengintimidasi, warna matanya yang unik justru memancing seseorang untuk menatap matanya lama-lama.

Mata berwarna 'Amber' terkadang disebut menyerupai warna tembaga berkarat. Kombinasi melanin dan konsentrasi lipochrome yang tinggi, menciptakan warna kuning keemasannya yang khas, warna mata yang langka bagi manusia namun umum bagi binatang sehingga seringkali disebut sebagai mata serigala.

Matanya sendiri terlihat seperti jendela kaca dengan cahaya matahari pagi yang hangat menerobos masuk dan terurai oleh kaca jendela. Jika diperhatikan baik-baik, akan terlihat garis hitam yang melingkari irisnya yang berwarna kecoklatan. Aku pernah mengatakan padanya, bahwa warna matanya merupakan salah satu karunia terbesar yang ia miliki. Warna mata yang hanya memungkinkan karena berbagai macam mutasi genetik rumit yang terjadi sejak manusia pertama kali berjalan di atas bumi di antara era Pliosen dan Pleistosen. Ada waktu ribuan tahun, dan puluhan nenek moyang terlukis di kedua bola matanya yang bulat itu.

"Hah?! Akhirnya ada pengetahuan penting yang kamu bicarain!" katanya waktu itu yang aku tau sebenarnya sedang menutupi rasa malu. Sejak itu, dia semakin membanggakan matanya dengan melakukan kontak mata yang tidak perlu dan berkedip-kedip dengan pelan, seakan mengisyaratkan: "Lihat nih mataku, bagus kan? Tolong pandang ia lama-lama!" Tapi, kali ini mata itu tertutup siluet dari lampu yang bergantung di atas meja kami dan memandang jauh ke arah jendela.

"Rian, aku mau pergi pesan. Kamu mau tambah?"

"Iya."

"Hot Americano satu, doppio, oke!"

"Iced."

"Iced? Tumben. Kenapa?"

"Entahlah."

---

Di atas meja kami, tergantung satu buah lampu pijar Edison Bulb tanpa kap lampu. Pada dasarnya, lampu pijar menggunakan resistor sebagai filamen. Saat arus listrik dialirkan, filamen tersebut menjadi sangat panas dan membuat warna cahaya yang dipancarkan menjadi berwarna kuning kemerahan yang khas. Konon, lampu ini didesain menyerupai desain lampu yang diciptakan oleh Thomas Alva Edison pada tahun 1879 dan populer digunakan di cafe-cafe karena meninggalkan kesan atmosfer yang hangat dan vintage.

Kira-kira, begitulah yang dikatakan oleh Rian saat kami pertama kali bertemu. Di sela-sela obrolan kami, dia akan mengatakan sesuatu yang jarang diketahui oleh orang banyak, entah darimana dia tahu soal itu dan entah kenapa dia harus repot-repot mengingat hal-hal yang trivial itu. Satu waktu aku pernah menanyakannya, untuk apa sih mengingat-ingat hal trivial seperti itu? Dan dia justru malah menjawabnya dengan, "Trivial berasal dari bahasa latin 'Trivium' yang secara literal berarti 'Pertigaan jalan.' Pertigaan jalan merupakan tempat yang umum dan tidak ada sesuatu yang spesial atau penting di sana. Maka dari situ lah makna sifat remeh-temeh di kata trivial berasal," katanya dengan nada sedikit mengejek.

"Trivii birisil diri bihisi litin triviiim." Aku membalas ejekannya, dan dia hanya tersenyum kecil lalu memperbaiki posisi kacamata John Lennon miliknya.

Minuman kami berdua telah habis sejak tadi. Seorang pelayan laki-laki berseragam serba hitam berjalan ke arah meja kami, menaruh Caffe Latte serta Americano--minuman kedua kami, ke atas meja. Sebenarnya, ia memesan Ice Americano namun minuman yang datang justru Hot Americano. Memang dia hampir selalu memesan Hot, namun kali ini ia ingin memesan Ice. Tidak ada perbedaan yang jauh memang, hanya tinggal menaruh beberapa bongkah es batu dan jadilah Ice Americano! Namun, dia tetap menerima minuman tersebut tanpa melayangkan protes ke pelayan dan meminumnya seakan memang minuman itulah yang dia pesan. Tentu saja, tanpa menambahkan gula sama sekali ke dalam minumannya.

Jika ada kalimat yang dapat mendeskripsikan Rian secara singkat, maka laki-laki 'Kopi Hitam' merupakan istilah yang sangat tepat; bland. Tipe seseorang yang akan berkunjung ke suatu tempat, dan akan selalu memesan, "kopi hitam aja, nggak pakai gula."

Satu hari aku pernah mengajaknya ke salah satu Toko Gelato yang sedang populer. Pelayan di Toko Gelato itu sempat tercengang mendengar pesanan Rian: "Kopi hitam aja, nggak pakai gula." Pelayan itu sempat terdiam sejenak, mungkin sedang mencari kalimat sopan untuk mengatakan "Anu mas, ini kita jualan es krim." Mungkin pengalaman kerja di bidang service selama bertahun-tahun membuat pelayan tersebut pandai dalam mengurusi customer yang ribet. "Bagaimana kalau saya sarankan Affogato buat Kakak?" kata si pelayan.

Affogato, dessert yang populer dan sederhana: satu scoop vanilla gelato ditenggelamkan ke dalam satu shot espresso dan sepertinya Rian akan menyukainya, pikirku. Tapi dia justru mengatakan, "Tolong espresso-nya saja. Doppio. Jangan lupa ditambah air."

"Tinggal bilang minta es batu kalau kamu memang mau minum yang dingin."

"Nggak usah, nanti rasanya beda." Rian mencium aroma kopinya, meneguknya tiga kali, lalu menarik napas dari mulut hingga terdengar seperti suara orang sedang mendesis. "Ssssss..." Dia bilang ini cara terbaik untuk menikmati rasa kopi, tapi menurutku mau diminum dengan cara apa pun rasa kopinya tetap sama-sama pahit.

"Gimana? Enak nggak?" tanyaku.

"Definisi enak yang kamu sebut tadi seperti apa? Apa yang enak buatku belum tentu enak buat kamu."

"Yaudah, aku ganti aja. Gimana? Kamu suka nggak?"

"Suka? hm." Rian menggulung lengan bajunya ke atas hingga sikunya terlihat. "Kalau dibilang suka, ya aku suka," lanjutnya sambil melirik ke arahku. "Manisnya cukup, nggak berlebihan. Hangat. Selalu bikin aku rindu."
"Kopinya?" tanyaku, maaf Rian aku sudah tahu trik-trik bikin kegeeranmu.

"Iya." Rian mencolek punggung tangan kananku. "dan kamu juga." 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 03, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Americano dan LatteWhere stories live. Discover now