Pernikahan

33 0 0
                                    

Pernikahan kali ini harus berhasil, tidak ada kontrak, tidak ada perjanjian yang mengikat. Jadi, Olin berpikir, pernikahan kedua ini harus sekali seumur hidup.

Bahagia memenuhi hati Olin, sambil melihat pantulan dirinya di cermin. Cantik!

Ah, biar bagaimana pun, Dimitria tidak mempermasalahkan kecantikan Olin. Hanya ingin menyongsong kehidupan yang baru bersama Dimitria. Rumah yang baru dibeli, rencana punya anak tiga. Olin tidak habis tersenyum, tidak sabar rasanya ingin semua itu cepat terjadi.

Tamu dan petugas KUA sudah hadir, siap menikahkan kedua calon mempelai. Sementara menunggu, mereka beramah tamah dengan pemangku hajat. Ada kerabat Olin, Tante Dina dan suaminya.

Olin sudah bangun sejak pukul tiga dini hari. Dirias ala pengantin tradisional Jawa. Sebenarnya, calon suaminya bukan orang Jawa tulen, dan Olin juga bukan dari suku Jawa. Namun, dalam hatinya ingin saja seperti pengantin tradisional Jawa. Meski tidak ada upacara adat.

Olin hanya ingin kesakralannya dalam menjalani pernikahan ini.

Inginnya setelah akad langsung resepsi, ini kan lebih menghemat biaya.

Kayla, sahabat Olin masuk ke dalam ruang rias. Lalu mendekat ke arah Olin yang masih dirias. “Setengah jam lagi akad, Dimitria belum datang,” bisiknya.

Olin memelotot, tidak mungkin. “Bukannya, setengah jam sebelumnya sudah datang?” tanyanya sedikit panik. “Udah coba telepon uminya? Tria bilang, dia tidak akan pegang ponsel selama di jalan. Atau kejebak macet?”

“Gue telepon suami, dia kan abangnya Dimitria, tapi nggak ada jawaban.” Kayla menghela napas, juru rias yang sedang merapikan tatanan rambut Olin mendelik ke arah Kayla. “Haduh harusnya gue nggak bilang ini ke elo,” gerutu Kayla. Lantas membuka pintu kamat dan pergi.

Olin menghela napas, jantungnya berdetak dengan cepat. Namun sebisa mungkin dia menyembunyikan ekspresi wajahnya yang mulai khawatir.

“Apa gue turun aja ke ballroom?” tanyanya kepada juru rias.

Tatapan si juru rias menuju ke Olin. “Jangan dulu. Nanti juga ada yang kabari. Calonnya pasti datang, deh,” kata si juru rias. Maksudnya menenangkan Olin yang tampaknya mulai gusar.

“Tapi ini lima belas menit lagi, harusnya semua orang udah stang by di ballroom,” balas Olin, tidak tenang. Dia lantas mengambil ponselnya. Tidak bisa dicegah, nalurinya berkata lain. Meski tidak mungkin terjadi.

Olin yang sudah siap dengan kebaya putihnya menelepon Dimitria. Namun teleponnya tesambung ke kotak suara. “Berada di luar jangkauan.” Begitu keterangannya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Mata Olin mulai berkaca-kaca, siapa pun keluarga Dimitria tidak ada yang menjawab telepon! Bukan panik lagi, ada rasa ketakutan yang menggigit hati Olin. Tidak mungkin dia pergi, kan? Atau beubah pikiran?

Napas Olin memburu, melihat juru rias yang menatap dengan iba.

Dari tatapan itu, Olin melirik jam di ponselnya. Lima menit lagi akad nikah, tetapi Kayla, sahabatnya yang akan mendampingi Olin belum memberi kabar. Ke mana Kayla? Yangm jelas, Olin tidak bisa tinggal diam, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan ruang ganti.

Tidak bisa dicegah, bahkan ketika perias meneriaki dan memanggil-manggil, Olin makin menjauhi kamar rias yang ada di lantai delapan itu.

Sepanjang perjalanan menuju aula hotel mulutnya tidak berhenti berdoa, semoga apa yang dia takutkan tidak benar.

Sesampainya di aula hotel, Olin memperlambat langkahnya. Matanya mengalir air mata, tidak bisa dibendung, beberapa orang menggerombol. Entah membicarakan apa.

Ada yang berdebat, tidak jelas memperdebatkan apa. “Saya harus menikahkan oang lain, kalau menunggu paling bisa lima belas menit lagi. Harusnya sepuluh menit lalu kita mulai acaranya.”

Olin menghapus air mata. Ada wajah yang dia kenal di samping bapak yang sedang berdepat itu. Kayla dan Elki, juga ada adiknya Caleb. Meski kakinya seperti tak bertulang, Olin mendekat ke kumpulan orang itu.

Tamu mulai memadati aula, sebagian ada yang duduk di kursi depan area akad. Olin makin lemas, ada yang melambai tangan kepadanya. Wanita itu memaksakan senyuman, tidak mungkin menampakkan wajah yang pahit begini.

“Ada apa, Kay?” tanya Olin lirih.

Mata Kayla membulat, kaget tidak percaya kalau Olin turun dari ruangan rias.

Elki dan Caleb diam tidak mau menjawab.

“Ini, pengantinnya?” tanya penghulu.

“Iya,” jawab Olin.

“Calon mempelai pria-nya belum datang, saya kasih waktu lima belas menit, karena mesti nikahin pasangan lain. Harap maklum, ya, Mbak.”

Napas Olin seperti berhenti, tidak mungkin Dimitria tidak datang. Namun detik berikutnya matanya mengerjap, lantas menghela napas, baiklah masih ada waktu lima belas menit lagi, gumamnya dalam hati. Harusnya cukup waktu untuk mencari di mana Dimitria saat ini. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 02, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Remmaried Mr. Brandon Where stories live. Discover now