Part 1

10.5K 428 22
                                    

Bulan tak bersinar, kabut tebal berpendar, suara lengkingan kuda tak henti terdengar. Cakrawala merah merona, hutan pinus yang biasanya gelap gulita tampak jingga dalam pandangan mata. Teriakan demi teriakan menggema disudut-sudut desa. Jerit tangis balita yang terpisah dari Ibunya, istri yang kehilangan suami, bahkan hewan ternak bersahutan ditengah nyala api yang mulai menghanguskan desa ini.

Dan ditengah kota suasana mencekam semakin terasa. Pemberontak menghunus pedang, memenggal pengawal istana dengan membabi-buta. Dalam pandangan mata hanya ada kekacauan. Siapa yang melawan dibunuh tanpa perasaan. Higashiyama tenggelam dalam api peperangan. Hingga seruan kemenangan sekelompok iblis tak bermoral itu menggema dalam peliknya suasana, meruntuhkan kepemimpinan Shogun Yoshikaga.

"Apa yang kita lakukan selanjutnya, Arai?" tanya satu dari sekian banyak pemberontak. Baju perangnya dipenuhi noda darah.

"Menikmati apa yang kita dapatkan saat ini," jawab sosok gagah itu diatas kuda perangnya.

Youzen, nama pria yang bertanya, hanya terdiam melihat seringai tuannya, atau sebut saja kawan lama. Mendengus jengkel, ia memilih pergi menghampiri sekumpulan bawahannya.

"Kau lihat ini, Ibu. Kudapatkan apa yang kau inginkan. Lihat bagaimana pecundang itu akan membusuk di penjara." senyum culas Arai ulas, sebelum memacu kudanya meninggalkan tempat ia semula.

Ditengah keributan itu Arai berlalu. Menelusuri jalanan yang penuh dengan kekacauan. Penduduk desa yang tersisa terbirit menyelamatkan keluarganya. Menangisi keadaan yang membuat mereka kehilangan sandang, pangan, dan papan. Bawahannya benar-benar serius saat berkata akan membumihanguskan Higashiyama.


---


Turun dari punggung kuda yang sedari tadi ia tunggangi, pemimpin pemberontak itu mulai mendaki tangga sederhana yang terbuat dari tumpukan batu bata. Mata elangnya tampak datar meski seharusnya ia tetap waspada. Saat tangga itu selesai dilaluinya, berdirilah kuil sederhana didepan mata. Bangunan itu sunyi meski ia meyakini beberapa petani ada ditempat ini. Jejak kaki yang tertangkap indera penglihatannya menjelaskan segalanya. Arai membuang ludah. Melangkah dengan pasti pada bangunan bertingkat dua yang tampak dimakan usia.

Selain istana hanya kuil ini yang selamat dari jilatan api. Hanya karena ia sengaja menyuruh bawahannya tak menyentuh tempat ini.

"Pembunuh!!"

Secepat kilat pedang itu terhunus, membelah batu sekepalan tangan pria dewasa yang nyaris menghantam kepalanya. Arai menoleh, tepat pada tiga orang bocah kumal yang berdiri tak jauh darinya. Bibirnya melengkung begitu saja. Bukan sebuah senyuman atau rengutan, melainkan seringai menakutkan yang menggetarkan hati banyak orang. Dengan langkah pelan ia berjalan tanpa menyarungkan pedang. Sontak saja membuat tiga bocah itu kian gemetar ketakutan. Bocah-bocah itu perlu diberi pelajaran jika melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dulu.

Detik dimana pedang itu terayun, sekelebat bayangan berdiri tepat dihadapannya. Merentangkan tangan. Menjadi sekat antara dirinya dengan tiga bocah yang hendak ia permainkan. Waktu seolah membeku, pada detik dimana kedua mata itu saling bertemu.

Sosok yang berdiri dihadapannya sungguh diluar nalar manusia, mungkin ia peri dengan sayap yang tersembunyi dibalik gerai rambut panjangnya. Matanya sekelam malam, kulitnya seputih salju, bibirnya sewarna bunga sakura. Melihat apa yang dikenakannya, dia mungkin salah satu dari penjaga kuil itu.

"Ohh... apa yang kutemukan?" tanpa dapat terduga, seringainya muncul begitu saja. Arai amati sosok itu dari atas kepala hingga mata kaki. Garis bibirnya kian tampak menakutkan, saat menyadari laki-laki itu terlihat begitu tenang menghadapi ancaman macam dirinya. Seolah menegaskan bahwa Arai bukanlah apa-apa.

Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang