Prolog

22 1 0
                                        

"Ah, Papa ini. Ona nggak mau pokoknya masuk teknik informatika."

Aku bersama papa sedang duduk di ruang depan rumah kami. Aku dan papa sedang mendiskusikan jurusan yang akan aku ambil setelah menamatkan sekolah menengah atasku. Kenapa hanya berdiskusi dengan papa? Karena beliau lah yang tidak setuju jika aku mengambil jurusan yang aku inginkan. Kalau mama, sih, dukung-dukung saja aku mau apa. Katanya, kasihan kalau aku harus belajar hal yang nggak aku suka. Nah, mama saja mengerti, masa papa tidak?

"Memang kenapa?" tanya Papa setelah menyesap kopi hitamnya. Pandangannya masih fokus pada koran di tangannya.

"Soalnya banyak wibu, pasti bau bawang. Kayak Papa ini."

Mendengar jawabanku yang nyeleneh, papa malah melotot ke arahku. Tidak ada yang salah, kan? Aku cuma bicara fakta. Papaku ini wibu akut. Meski sudah punya istri, tapi masih saja mengidolakan waifu-waifunya yang tidak nyata itu.

"Enak aja. Bau bawang gini juga mama kamu mau sama Papa." Papa menyombongkan dirinya.

Perkataan papa membuatku memutar kedua bola mataku malas.

Papa melipat korannya dan kini menatapku dengan serius. "Ona, serius ya sekarang. Teknik informatika itu sekarang banyak dibutuhin. Prospek kerjanya terjamin. Coba percaya sama Papa, 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun yang akan datang, teknik informatika itu bakalan jadi salah satu jurusan paling penting. Kalau kamu kuliah jurusan ini sekarang, anggap saja kamu sedang investasi."

"Tapi aku nggak suka, Pa! Aku nggak familier sama sekali. Masa Papa mau ngeliat anaknya stres karena kuliah di jurusan yang nggak dia mau. Ya kalau aku otakku mumpuni, kalau enggak?" Aku tetap mempertahankan argumenku. Aku kan nggak mau waktu empat tahunku terbuang sia-sia untuk belajar hal yang aku nggak suka.

"Kan ada Papa yang bakal ajarin."

"Ah, males kalo harus percaya sama Papa. Palingan Papa sibuk nonton anime terus. Mama aja kadang dicuekin."

Papa terlihat gregetan karena aku tak henti-henti menyinggung status wibunya. Aku menatap papa dengan tatapan menantangku.

"Ya udah, ayo kita buat kesepakatan," putus papa.

"Apa? Ona nggak mau kalau aneh-aneh ya, Pa." Aku melipat kedua tanganku di depan dada.

Papa berdeham, bersiap untuk memberikan penawaran terbaiknya. "Gini, kamu daftar jurusan teknik informatika di kampus negeri dan sastra Indonesia di kampus swasta. Kalau kamu lolos di negeri, kamu harus ambil. Kalau kamu gak lolos, silakan ambil sastra Indonesia."

Aku berpikir sejenak. Hmm, tidak buruk. Aku tidak peduli apakah kampusnya negeri atau swasta, yang terpenting aku bisa belajar di jurusan yang aku mau. "Oke, Ona terima tawaran Papa."

"Oke, deal." Aku dan papa berjabat tangan.

Katakanlah aku aneh, tapi aku berdoa kepada Tuhan setiap hari supaya aku tidak lolos ke kampus negeri.

Namun naas, sepertinya Tuhan punya rencana lain buatku ...

Coding in LoveWhere stories live. Discover now