Bab 34 Malang Terus

170 20 4
                                    

Bab 34 Malang Terus

"Ibu gak pernah ngajarin kamu buat rusak hubungan orang lain, Gea? Ngapain kamu susah payah jadi cantik begini tapi kelakuan kamu jadi kayak setan? Huh! Gak bisa apa kamu tuh bikin Ibu bangga sekaliiii aja? Kenapa kamu itu terus-terusan bikin masalah, Gea? Kenapa?"

"Jadi ini alasan lo diet, Ge? Cuma buat jadi selingkuhan atasan lo sendiri? Pantesan aja lo betah banget kerja di tempat yang sekarang. Ternyata elo ...." Dion berdecak sebal sambil bermain dengan ponselnya.

"Udah. Udah. Kenapa kalian berdua malah marahin Gea tanpa nanya apa sebenarnya yang terjadi?" Bapak berusaha menengahi.

"Bapak gak usah belain dia! Dia ini jelas-jelas udah bikin salah!"

Gea hanya bisa menangis ketika ibunya memukulnya berulang kali sambil memakinya. Bapak yang mencoba melerai, malah ikut-ikutan kena semprot Ibu. Gio juga berusaha menenangkan ibunya, tapi ia malah balik ikut-ikutan memarahi Gea ujung-ujungnya.

"Dasar anak gak tahu diuntung! Bikin malu keluarga! Lebih baik kamu mati aja sana!" umpat Ibu geram. Ia sampai mendorong tubuh Gea hingga tersungkur ke lantai. "Kamu udah bikin Ibu gak berani keluar rumah dan ketemu tetangga, Gea. Itu semua gara-gara kelakuan kamu!"

Gea hanya diam saja. Menangis dalam diam setelah Ibu tak lagi memukulinya, tapi memakinya dengan umpatan lebih kasar. Ia juga tak mencoba untuk membela diri. Lagian buat apa juga? Toh kenyataannya yang diucapkan Ibunya dan Dion memang benar. Dia sudah membuat keluarga malu dan mungkin lebih baik Gea mati saja.

Bukan hanya Ibunya yang kesulitan bertemu dengan orang. Karena sepanjang perjalanan pulang, Gea harus mendapatkan banyak tatapan menusuk dari orang-orang yang dilewatinya. Wajar saja sih. Dia kan sekarang terkenal sebagai pelakor. Mana yang dia rebut itu atasannya sendiri lagi?

Lucu banget emang sandiwara yang Gara buat. Gea sampai kehilangan sebagian dari kehidupannya sebagai imbalan. Bukan untung, tapi buntung. Dan naasnya, yang rugi di sini hanya Gea. Gara dan Vania yang merancang ini sendiri, bagaimana? Tampaknya mereka berhasil balikan lagi. Yah. Itu kan skenario mereka?

Gea berjalan tertatih hendak menuju kamarnya, namun Ibu malah menghadangnya. "Mau ke mana kamu?" Ibu berkaca pinggang. "Keluar sana! Jangan pernah berani menginjakkan kaki di rumah ini sebelum kamu bisa menyelesaikan masalahmu. Ibu gak sudi membiarkan seorang pelakor berkeliaran di rumah ini!"

"Tapi, Bu. Gea harus pergi ke mana?"

"Sana samperin selingkuhan kamu! Ini kan yang kamu mau? Hidup bahagia saja sana sama cowok pilihan kamu itu. Tapi, ingat! Ibu gak akan pernah sudi melihat kamu lagi!"

"Bu ...."

"Pergi sana!"

"Ibu ... tolong jangan gini ke Gea. Gea bisa jelasin semuanya. Berita itu bohong, Bu! Gea sama Gara gak pernah ada hubungan apapun. Ini semua cuma sandiwara aja!"

"Gak usah mengada-ada kamu. Kamu pikir Ibu bisa dibodohi? Pergi sana! Ibu gak mau kena imbas yang lebih fatal lagi kalau harus membiarkan kamu tetap tinggal di sini."

"Bu ... tolong, Bu ... Pak ... tolong, Pak ... jangan usir, Gea ...."

Gea sampai berlutut. Memohon pengampunan dari orang tuanya yang kini Bapak saja diam seribu bahasa. Menatap Gea dengan mata berkaca-kaca. Kecewa tapi enggan mengumpati anaknya seperti apa yang dilakukan istrinya.

Tepat saat itu Pramu muncul. Ia menarik tubuh Gea, membantunya bangkit, lalu membawanya pergi dari tempat itu. Gea tak protes. Ia malah patuh saja ketika Pramu memintanya untuk segera naik ke atas motornya.

***

Gea mengekori Pramu menaiki tangga yang ada di luar kafe menuju lantai ke dua. Ini sebenarnya bukan lantai, tapi area atap yang dipenuhi banyak sekali tanaman hias. Tentu saja Pramu yang merawatnya dengan baik.

Di salah satu sudut atap, ada sebuah bangunan kecil yang biasa digunakan Pramu sebagai tempat tidur jika malas pulang ke rumah. Kamar darurat yang juga biasa Pramu gunakan jika ingin beristirahat sejenak di tengah-tengah pekerjaan.

"Kamu tidur di sini aja. Nanti biar aku yang jelaskan sama orang tua kamu soal kejadian sebenarnya."

"Beritanya udah tersebar, Pram. Mereka gak bakalan mungkin percaya ucapan kamu. Biarin aja lah! Salahku juga mungkin karena bersikap pengecut kayak gini. Harusnya sejak awal aku gak pernah takut sama ancaman Gara dan keluar dari Molapar dari dulu. Kamu benar. Aku harusnya bisa percaya diri sama diriku yang sekarang, bukan takut sama ancamannya Gara."

Gea menjatuhkan diri di ranjang kecil yang teronggok rapi di sisi ruangan. Tanpa sungkan menarik selimut, lalu memposisikan diri membelakangi Pramu yang tampak sibuk memunguti botol-botol minuman kosong yang berserakan di lantai.

"Tadi kita bertiga diskusi, Ge. Dan Zara ngomong sesuatu yang kayaknya kamu harus tahu juga."

"Kalian bebas gosipin aku gimana aja. Aku gak akan protes. Suka-suka kalian aja deh menilaiku kayak apa. Aku emang salah. Gak tegas, pengecut, sama penakut. Jadinya gampang ditindas si Gara!"

Gea menanggapi dingin. Seluruh tubuhnya terasa lelah bukan main karena hari ini banyak sekali yang terjadi padanya. Ia ingin tidur sejenak atau kalau bisa seperti yang dikatakan ibunya tadi.

Mungkin lebih baik Gea mati saja.

Jujur, Gea tak tahu apa yang harus ia lakukan esok. Semuanya tampak gelap dan tak nyata. Ia seolah tak memiliki kehidupan di keesokan harinya lagi. Kalau bisa, mati saja. Lalu setelah itu semua orang akan melupakannya dan semua masalah selesai.

"Kamu kayaknya suka sama Gara, Ge."

Gea spontan balik badan mendengar pernyataan singkat Pramu itu. "Jangan gila, Pram. Mana mungkin aku suka sama tuh cowok?" Gea terkekeh sinis. "Ada-ada aja sih kalian ini. Dapet kesimpulan kayak gitu berdasarkan apa? Huh! Ngaco banget!"

Pramu membuang bungkusan hitam berisi botol plastik tadi yang sudah ia punguti semua, memasukkannya ke tong sampah yang ada tepat di luar ruangan kecil itu. Lalu kembali masuk ke dalam rumah, mengambil posisi duduk dengan dua kaki bersilangan di salah satu sudut ruangan.

"Karena lo gak mungkin diem aja udah dirugiin sama si Bara. Orang normal, mau cewek atau cowok, bukannya gak bakal diem aja kalau dimanfaatin sama atasannnya tanpa ngasih tahu? Karena itu namanya penyalahgunaan seorang atasan ke bawahannya. Kalau emang ini bagian dari marketing, harusnya kamu juga tahu dong dari sebelumnya. Tapi, meskipun kamu tahu setelah skandal itu muncul, kamu tampak biasa aja ngadepinnya. Cewek yang emang gak punya perasaan ke cowok yang kayak gitu, pasti bakalan memilih resign dari kerjaannya. Tapi, kamu enggak, Gea. Kamu bertingkah kayak orang lagi bucin yang pengen terus ada di samping si Bara tanpa peduli cowok itu sebenernya nyakitin kamu atau enggak. Hubungan kayak gitu tuh toxic banget, Ge."

"Jangan salah paham. Itu karena aku tuh pengecut, Pram. Aku takut sama dia." Gea tergelak sebentar. "Gak mungkin aku suka sama dia!"

"Benci sama cinta itu beda tipis, Ge. Tapi gak ada salahnya juga kamu memikirkan terkaannya Zara. Bisa jadi kan kamu gak sadar sama perasaan suka kamu ke si Gara?"

Teman-temannya memiliki pendapat yang lucu menurut Gea. Ia sendiri saja tak terpikir tuh punya perasaan suka sama si Gara. Tiap hari aja mereka cekcok. Gak pernah ada akurnya!

Kalau dulu, Gea penakutnya kebangetan, sekarang mungkin ada perbedaan dikit. Meski takut sama Gara, Gea tak jarang melawan perintah dia kok! Apa yang kayak begini bisa disebut sebagai cinta?

Ngawur banget sumpah!

"Kalau aku beneran punya rasa suka sama si Gara, itu artinya nasibku emang malang banget, Pram. Bisa-bisanya suka sama orang yang pernah ngebully! Apes banget! Malang bukan main! Mending aku mati deh kalau harus hidup malang terus begini!"

FAT(E) LOVEحيث تعيش القصص. اكتشف الآن