Part 1: A Dare

328 13 1
                                    

Pikiranku melayang menatap pekarangan rumah bercat putih ini. Aku tidak tahu pasti apa yang ku lakukan. Mengunjungi musuh terbesar mungkin? Ingin berbaikan kah? Huh, aku mendengus.

"Bunuh saja aku daripada harus berdamai dengan si muka kuda itu."

Tapi tak urung tanganku mendorong pagar besi yang menimbulkan decitan tak nyaman. Hingga sampai di pintu pun masih ada keraguan terbersit, yang kemudian dengan cepat kutepis.

Tok tok...

Ah, benci sekali rasanya. Melihat sesosok pria di hadapanku saat ini. Bukan... bukan karena tampangnya yang tidak enak dilihat atau apa. Oh... Demi Tuhan, aku bisa saja memandangi wajah itu seharian, tanpa sedikit pun merasa bosan. Jika saja...

"Hm sudah datang nona jutek?" nadanya dingin, sedikit mengejek. Sambil merapikan rambutnya yang terlihat basah acak-acakan. Bagaimana mungkin dia terlihat seksi hanya dengan menyisipkan tangan ke rambut basahnya itu? Bisakah aku menyentuh tambutnya?

Stop!

Aku mengerang pada diriku sendiri. Bisa-bisanya aku berpikiran bejat seperti itu.

"Kita perlu bicara" seruku lantang. Sebelah alisnya terangkat. Aku menatapnya waspada.

"Sekarang" kataku dingin.

"Bersikap manis dulu, kamu akan dapat yang kamu mau" jawabnya ringan, kemudian berlalu ke dalam rumahnya. Meninggalkanku terpaku di depan pintu.

"Hey!" teriakku frustrasi.

"Gue pengen ngomong, serius" lanjutku tak sabar. Mengikutinya yang entah kenapa terlihat santai sekali menuju kamarnya di lantai dua. Aku mengikutinya dengan langkah cepat. Tidak mudah menyeimbangkan langkah dengan kaki super milik Julian. Aku berlebihan, oke. Tapi kakinya panjang, itu tidak adil.

Dia membuka pintu kamarnya, membiarkannya terbuka setelah dia masuk. Kemudian berdiri bersandar di pagar balkon.

"Sini" perintahnya singkat.

Aku mendengus malas. Tapi akhirnya menurut. Dia mengamatiku yang terlihat malas menyeret tubuhku mendekatinya. Dengan tidak sabar ditariknya tanganku hingga tubuhku menubruk dada bidang Julian, garis bawahi kata bidang itu. Dia menarik pinggangku dengan satu tangan sementara tangan yang lain menyelipkan rambutku di belakang telinga. Matanya menatap tepat di mataku. Sementara kurasakan detak jantungku meningkat karna ulahnya.

"Mau taruhan lagi?" bibirnya menyeringai. Aku menggeleng cepat.

"Kenapa? Nyenengin loh, liat kamu berlakuan konyol begini" wajahku menekuk. Ingin rasanya kulayangkan tinjuku ke wajah tampan pria ini.

Semua karena taruhan sialan itu. Aku mendengus kesal. Ingatan dua hari yang lalu terus berputar dalam kepalaku. Jika saja aku tidak menerima tantangan dari sahabat-sahabatku itu tentunya sekarang dia tidak akan terjebak dengan pria arogan ini. Pria arogan, tampan, most wanted person di sekolahku ini.

Flashback

Saat jam istirahat aku dan dua sahabatku, Soraya dan Gina seperti biasa menikmati waktu di kantin sekolah. Gina baru saja bilang dia bosan hari ini. Aku tidak terlalu peduli, dia selalu saja bosan di sekolah seperti biasa.

"Juni, nggak mau ikutan ToD nih?" Tiba-tiba saja Soraya memotong lamunanku. Soraya memandangku penasaran.

"Males ah" jawabku singkat.

"Nggak berani kan?" Gina tersenyum menantang. Mataku berkilat menatap senyumannya. Gin tahu betul aku paling tidak bisa menolak saat ditantang seperti ini.

"Fine" jawabku ketus.

"Dare" jawabku tanpa berpikir panjang.

Detik berikutnya aku menangkap kilatan jahil di mata Gina. Gina menatap Soraya singkat. Senyumannya berubah menjadi seringaian.

Juni atau Juli? Oh! WhateverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang