05 | YUUKI - Courage

228 78 25
                                    

"Papa, Jani pengen ngomong sesuatu..." Rinjani melatih dialognya di depan cermin sambil mengatur ekspresi sekali lagi. Bayangan di cermin meringis, menunjukkan kalau upayanya pasti gagal. "Jani mau ke Amerika, tapi nggak mau dianter." Dia tidak memiliki alasan logis demi menolak keluarganya mengantar selain memberitahu mereka tentang kemampuan anehnya. Atau jangan-jangan... Papa sebenarnya sudah tahu makanya memutuskan untuk menjelaskan asal-usulnya kemarin, supaya Rinjani paham kalau kekuatan itu bukan berasal dari keluarga yang mengadopsinya selama ini.

"Rin-chan!"

Rinjani terperanjat karena Aoki yang memanjat balkon kamarnya. Tetangga sekaligus teman masa kecilnya itu tak nampak kesusahan sama sekali. "Lagi ngapain?" tanyanya.

Rinjani mengeluh. "Susah mau minta izin Papa buat berangkat ke Amerika sendirian."

"Kenapa berangkat sendirian? Bukannya kemarin papamu sudah berniat untuk mengantar?"

"Aku nggak bisa bilang tentang kemampuan aneh ini ke keluargaku."

"Memangnya kamu sudah tahu mau pergi ke mana atau menemui siapa? Sudah tahu mau membicarakan apa?"

Rinjani menggaruk pelipisnya, kemudian menggeleng pelan. "Terus kamu ngapain ke sini? Kenapa nggak masuk lewat pintu depan?"

"Aku bosan." Selagi mengatakan itu, Aoki menguap lebar. "Mau tidur bosan, mau main game bosan, mau makan, nggak laper. Bingung mau ngapain."

Rinjani duduk di sisinya. "Aku juga. Kepengen punya kerjaan. Kayak Debby atau Jingga."

"Kepengan jadi Jingga itu harapan yang ketinggian. Turunin dikit ekspektasimu." Bibir Rinjani mencebik mendengar komentar itu. "Minggu depan aku ada turnamen di Penn," ujar Aoki tiba-tiba. "Setiap pemain diizinkan bawa satu orang anggota keluarga atau teman."

Mata Rinjani membulat lebar. "Penn ada di dekat Caruther."

Aoki mengangguk. "Kamu... boleh ikut kalau mau. Nanti aku yang bilang ke Bang Mika sama Om Rudolf."

"Nggak perlu! Ada Val! Dia juga ikut, 'kan?"

Aoki menggaruk ujung hidungnya. "Kali ini kami nggak setim. Dia dikirim ke Shanghai buat turnamen lain, menggantikan kapten Apollyon 2 yang cedera."

"Oh, begitu, ya?" Rinjani mulai menimbang-nimbang segala hal, termasuk memutuskan untuk bercerita pada Aoki mengenai Ronan yang mampir tiba-tiba ke kamarnya lalu menghilang bagai ditelan udara. "Kamu tahu otakku engak pintar. Iya, 'kan?"

Aoki mengangguk. "Kamu lebih bodoh dariku. Kenapa?" Ia melihat ke arah tumpukan kado yang belum sempat dibuka. Kelihatannya Rinjani memang tidak terlalu bahagia dengan hari ulang tahunnya tempo hari. Aoki mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu menemukan kindle hadiah darinya tergeletak di atas tempat tidur. Itu berarti hadiahnya sudah dipergunakan semalam. Kesimpulan itu menerbitkan senyum tipis di ujung bibirnya.

"Kemarin ada orang- maksudku dewa," Rinjani menggeleng. "Maksudku sesuatu... yang asing -datang ke kamarku."

"Perempuan?"

"Laki-laki. Dia punya sayap."

Aoki menegakkan punggungnya sambil mengernyit. "Ini lebih aneh dari biji jeruk yang tumbuh dalam hitungan menit. Dan apa hubungannya dengan otakmu yang enggak pinter?"

Rinjani mengangguk. "Aku bersumpah melihat sayapnya. Mirip malaikat-"

"Memangnya pernah lihat malaikat bersayap?" potong Aoki skeptis. "Kamu pakai narkoba, ya?" lanjutnya. Rinjani memukul lengannya dengan sadis.

"Sosoknya bertebaran di film-film. Dia laki-laki... seumuran kita, kurasa... tapi, entahlah. Sesuatu tentang dirinya membuatku berpikir kalau dia lebih tua dari kelihatannya. Intinya... dia datang untuk menyapa dan menjelaskan tentang Magoirie."

MAGOIRIE: Green Wood [Published by Lovrinz]Where stories live. Discover now