5 || and, she fought (1)

Comincia dall'inizio
                                    

Bening menunduk, merasakan sesak dan haru. Ada perasaannya yang lebih tervalidasi. "Tapi, gimana ya caranya supaya saya bisa membaca cerita dengan normal? Tanpa membuat saya nge-feel terlalu dalam ke posisi si tokoh. Apalagi kalau ada adegan wanita yang dipaksa. Padahal saya tahu ceritanya fiktif, tapi saya tetep merasa kesulitan untuk memisahkan diri saya dari tokohnya. Rasanya kayak saya yang kena, padahal saya nggak mau mengingat-ingat lagi."

"Mungkin bisa dimulai dengan novel atau komik yang dulu pernah kamu baca dan suka?" usul Juanda. "Tapi, kalau ternyata kamu nggak cocok membaca cerita fiksi juga nggak apa-apa lho. Kan nggak wajib baca. Dan hanya karena orang lain bilang ceritanya ringan dan lucu, bukan berarti kamu harus merasa mudah cocok dengan cerita itu."

"Iya, saya tahu." Bening menghela napas. "Tapi, saya tetep mau coba. Karena saya nggak mau merasa bahwa saya didikte sama trauma saya. Dan cara yang saya yakin harus dilakukan adalah dengan tetap baca."

Juanda bergumam. "Selama kamu nggak merasa terlalu berat untuk melanjutkan, nggak apa-apa. Toh, masih ada kegiatan-kegiatan lain yang bisa bikin kamu menyibukkan diri dengan hal-hal positif. Kayak, hang out sama teman-teman? Apa kamu merasa nyaman untuk kembali kontakan sama teman-teman lamamu?"

"Uhm." Bukan masalah kenyamanan. Ada hal yang lebih genting: keamanan. Selama orang-orang yang bekerja sama dengan Nicholas belum tertangkap, menemui kembali teman-temannya justru akan membawa bahaya pada mereka. "Iya, masih belum."

"Itu nggak masalah, you can take your time."

"Tapi, saya beberapa kali jalan-jalan sama teman baru saya. Dan saya bahagia kok," tambah Bening. "Tapi, saya cuma interaksi sama perempuan aja setelah . Iya, memang ada beberapa lelaki yang berinteraksi sama saya, tapi itu pun cuma sangat sebentar, dan hanya terkait pekerjaan. Jujur, saya takut pengaruh dari ... orang yang pernah menyekap saya, justru bikin saya sulit bicara normal dengan laki-laki lain."

"Hmm, keresahanmu juga pernah dialami salah satu klien saya yang lain, dan dia mengatasinya dengan interaksi lewat teks dulu—lewat chat—lalu lewat telepon, barulah dia bertemu dan mengobrol dengan teman lelakinya bersama teman perempuan. Bertahap caranya. Mungkin, kamu bisa coba seperti itu dulu?"

"Oh, iya. Kalau lewat chat atau telepon mungkin masih bisa." Bening manggut-manggut. "Makasih, Dok."

"Sama-sama." Juanda mengambil gelas minum. "Ah, iya, Bening. Sebentar lagi, paket sesi kamu kan bakal berakhir. Jadi, kalau mau extend buat bikin pertemuan lagi, infoin aja ke sekretaris saya, ya."

"Oh, iya, Dok." Bening mengernyit. "Sebenernya, yang bagus itu kalau kita udah cepet sembuh, terus selesai kan ya? Jadi harusnya saya cepat menyelesaikannya aja begitu?"

"Hm, di sini, kami lebih suka menyebutnya 'pemulihan' daripada 'kesembuhan'," balas Juanda. "Karena kalau 'kesembuhan', kesannya cukup minum obat, habis itu sembuh, selesai. Sedangkan hal seperti ini, pengalaman-pengalaman yang kamu alami itu bukanlah sebuah 'penyakit'. Yang kamu rasakan adalah trauma, disebabkan oleh lingkungan, dan yang pasti ini semua bukan salah kamu. Pemulihan itu bukan sebuah perlombaan tentang siapa yang paling cepat 'pulih'. Jadi kalau kamu masih butuh saya, itu bukan penanda bahwa kamu lemah, atau penanda bahwa kamu 'masih sakit'. Kamu nggak sedang 'sakit', dan kamu nggak lemah. Kamu cuma sedang butuh bantuan profesional, dan saya bersedia memberikannya sebagai seorang profesional. Kalau sedang tidak butuh juga tidak apa-apa. Kamu bisa memilih untuk tidak melakukan pertemuan dulu."

Bening mengangguk-angguk. Merasa lebih paham. "Dok, kayaknya saya bakal masih lama untuk lanjutin pertemuan sama Dokter. Aku memang merasa lebih baik, lebih berasa ringan juga. Tapi, ada saat-saat di mana aku teringat sama kejadian-kejadian yang nggak ingin kuingat. Dan pas itu terjadi, kadang badanku kayak autopilot. Aku nggak terlalu sadar apa yang lagi kulakukan. Tahu-tahu ternyata udah melakukan."

"Iya, itu namanya trauma responses," terang Juanda. "Nggak apa-apa, Bening. Nggak ada yang instan dalam pemulihan. Proses untuk memulihkan diri dari trauma itu bukan sebuah kompetisi siapa yang durasinya tercepat." Juanda mengelus pundak Bening. "Kalau ingin dianggap ada kompetisi, kompetisinya adalah bagaimana kamu bisa melawan hasrat negatif dari diri kamu. Di sisi lain, hal ini juga sebenarnya dilakukan sama manusia-manusia lainnya. Untuk bisa hidup sehat, baik jasmani dan rohani, manusia harus bisa melawan hasrat negatifnya, seperti hasrat untuk bermalas-malasan tanpa mau bergerak, untuk mengkonsumsi makanan terlalu banyak, atau untuk lepas kendali." Juanda tersenyum. "But you choose to be kind to yourself. That is good."

Bening tersenyum. Dia senang mendengarnya. Dia tak pernah mendengar ucapan itu untuk waktu yang lama. Dan meski butuh paksaan dari dirinya sendiri, dia bisa bangkit alih-alih bergelung di kamar untuk menangis terus berhari-hari. Dia berusaha untuk bisa bangkit. Tak ada pemulihan yang instan. Semua berproses. Termasuk dirinya.

Sebenarnya, ini adalah pertemuan di mana dia paling banyak bicara. Pada pertemuan pertama, Bening bahkan tak bisa membicarakan apa-apa. Tiga puluh menit dalam ruangan, dia hanya diam, meminum teh yang diseduh dokter Juanda, dan tidak mengatakan apa-apa. Dokter Juanda mencairkan suasana dengan bercerita sedikit tentang dirinya, tentang klien-kliennya. Cara Juanda bercerita pun tidak terasa mendominasi. Bening selalu merasa dia bisa bergabung dalam percakapan kapan pun yang dia mau. Namun, Bening masih diam saja hingga waktu berakhir. Dia hanya berbicara ketika harus berpamitan. Namun pada pertemuan kedua, yang sebenarnya digeser lebih cepat atas permintaan Bening, mengalirlah kisah yang ingin Bening ceritakan, kisah yang terpendam dengan trauma-trauma yang dia rasakan.

Sedikit demi sedikit, dia merasa lebih lega, lebih ringan. Dan tubuh yang lebih ringan bisa membawanya ke tempat-tempat yang membahagiakan.

[ ].

30/09/2022
1,4k words

Tergenggam dalam Nyaris | ✓Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora