Bab 21 Pujian atau Olokan

156 28 1
                                    

"Dia itu lucu kalau pas lagi makan. Pipinya bisa membesar dan mengecil kayak balon."

"Larinya kayak penguin! Sayangnya, Gea gak punya keahlian meluncur pake perutnya."

"Rambut sebahunya itu bikin dia kayak si Dora. Untung aja dia gak bawa monyet di pundaknya."

Dan ... masih banyak lagi perkataan Gara yang membuat Gea baru kali ini berpikir begitu keras untuk memaknai sesuatu. Soal ujian nasional saja kalah sulit dari perkataan Gara yang penuh teka-teka ini! Penuh kode rahasia! Penuh intrik di dalamnya! Penuh isyarat yang belum tentu bisa dimengerti oleh siapa pun!

"Dia pasti lagi ngejek, kan? Tapi, kok rasanya kayak bukan lagi ngejek, yah?" pikir Gea.

Andai saja ia berani menginterupsi ... andai saja Ibu Gara tak ada ... sudah Gea sumpal mulut Gara itu dengan kain lap.

Aaarrrggghhh!!! Gea kesal sekali!!!

"Dulu, pernah ada yang bully kamu gak, Ge?" tanya Ibu Gara tiba-tiba.

Mata Gea seketika membola mendengar pertanyaan yang baru saja terlontar itu.

Pertanyaan yang begitu menjebak!

"Mau bully kamu secara fisik maupun verbal," desak Ibu Gara, "mengingat masa-masa remaja itu rentan banget sama yang namanya saling mengejek. Berita-berita sekarang ini, banyak banget ternyata kasus bully yang bahkan berujung kematian."

"I- itu ...," Gea melirik Gara sengit yang dibalas lelaki itu dengan tatapan sengit serupa, "ada, Bu," sambungnya meski terbata-bata.

Mata Ibu Gara membola sempurna. "Oh, yah? Siapa? Temen sekelas?"

Gea menarik salah satu sudut bibirnya sambil terus menatap Gara. "Gara! Dia yang suka bully aku!" katanya tanpa ragu.

Ibu Gara sampai melongo mendengarkan jawaban Gea barusan.

Beda halnya dengan Gara yang ternyata malah tertawa terbahak. Seolah apa yang dikatakan Gea barusan tak berarti apa-apa.

"Kenapa malah ketawa?" sengit Gea. Jengkel juga sebenarnya karena tawa Gara seperti tengah mengejek perkataannya barusan. "Aku ngomong jujur kok! Kamu tuh yang suka bully aku dulu di sekolah, Gara! Kamu gak inget?"

"Gara bully kamu?" Ibu Gara masih tampak tak percaya. "Tapi, dia bilang ...."

"Imut? Pipi tembam?" Gea berdecak sebal. "Dia lebih sering panggil aku anak gajah, si gendut, bahkan sering banget tuh minta aku beliin makanan di kantin pas lagi jam pelajaran."

Ibu Gara melotot tajam. Bukan pada Gea untungnya, tapi pada Gara yang tengah tertawa terbahak. Secara otomatis senyuman di wajah lelaki lenyap seketika.

"Ngomong apa sih kamu, Ge?" elak Gara. "Ibu gak usah dengerin omongannya dia deh. Emangnya hal kayak gitu bisa disebut pembullyan? Enggak, kan? Saling ngasih nama panggilan unik ke temen itu hal biasa, Ge. Gak usah mendramatisir keadaan!"

"Gara!" tegur Ibu dengan wajah sengit. "Gak ada yang mendramatisir keadaan! Bully tetap aja bully! Ngasih nama kayak gitu juga termasuk bully! Gea punya nama. Ngapain kamu manggil dia dengan sebutan kayak gitu?"

Gara membuang wajah sebentar sebelum kemudian menoleh lagi pada Ibunya. "Tapi, semuanya udah berlalu kok, Bu. Gea juga sekarang udah cantik dan tubuhnya kurus. Gak perlu lah dia jadi bahas yang udah-udah!"

"Tapi, kamu tetap salah, Gara. Minta maaf! Sekarang juga!" desak Ibu tegas. "Mau hal itu udah berlalu atau enggak, kamu tetap salah! Minta maaf sekarang juga!"

Apakah ini sebuah mimpi? Ibu Gara memarahi anaknya sendiri karena aduan Gea? Inikah buah dari kesabaran Gea selama ini? Semudah inikah Gea membalas perlakukan Gara dulu padanya? Kenapa tidak dari dulu saja sih Gea kenalan sama Ibu Gara! Kalau tahu tabiatnya baik begini, sudah dari dulu Gea mengadukan tingkah polah anaknya yang bengal bukan main.

FAT(E) LOVEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora