Penipuan

185 34 8
                                    

Masih pagi tapi lagu dangdut sudah berputar nyaring di kantor, dan siapa lagi pelakunya kalau bukan Adel.

"Tukang Parkir ngombe dawet
Jo dipikir, marai mumet
Ngopek jamur nggone Mbah Wage
Pantang mundur, terus nyambut gawe
Pantang mundur, terus nyambut gawe."

Adel menirukan lagu itu dan berasa lagi duet dengan sang penyanyi, meski tangannya sibuk bergerilya di atas keyboard laptop tapi badannya goyang dari Sabang sampai Merauke.

"Yang di atas mana suaranya ...." Gadis yang kali ini menguncir dua rambut panjangnya itu berlagak bak sedang konser di alam gaib.

"Ayo, semua kakinya ke atas!" Binar ikut-ikutan teriak, sepertinya dia juga sudah tertular stress seperti Adel.

Sementara aku yang berada di antara mereka hanya bisa menggoyangkan jempol kaki, karena dua tanganku sibuk mengedit video.

"Ning Kediri tuku ketan
Iki crito anak rantauan
Lombok rawit, pedes tenan
Golek duit kanggo masa depan."

Fasih sekali Adel bernyanyi, jangan-jangan dia ikut les renang.

"Golek duit kanggo masa depan," sambung Binar tak kalah heboh.

Apalah aku yang kalau disuruh Ibu beli barang di warung selalu aja ada yang ketinggalan atau salah beli. Apalagi suruh hafalin lirik lagu, dah lah mending ketemu setan.

Layar ponselku berkedip, nama Ibu Negara muncul dan kalau udah gini tanda-tanda mau awal bulan. Karena biasanya Ibu selalu memintaku pulang mendekati awal bulan.

"Mau pulang sendiri apa dipulangin, Nduk?"

Tuh, kan, bener. Belum juga ngucap salam udah dikasih pertanyaan bak lagi ikut ujian negara.

"Iya, Tuan Ratu. Nanti sore hamba pulang."

"Jam berapa, Nduk? Sendiri apa sama Adel?"

Aku melirik Adel yang sedang goyang ngebor, sementara Binar merekam sampai ikut ngebor juga. Lama-lama malah kayak jadi orang kesurupan mereka.

"Iya, sepertinya sama Adel, Buk."

"Yawes, Ibuk mau masak agak banyak. Adel, kan, kalau makan bisa habisin nasi satu magic com," balas Ibu sebelum akhirnya panggilan berakhir.

Karena lagu bisa diganti lewat bluetooth jadi aku iseng menggantinya dengan suara adem mirip ubin masjid milik Mas Muzammil. Langsung deh goyangan heboh tadi terhenti, dua butir manusia itu berubah kalem dan duduk ke kursi masing-masing.

"Stay halal, Ukthi," ucapku menahan tawa.

"Oh, ya, Del. Nanti sore habis liputan mampir ke rumahku dulu," ucapku lagi.

"Aku boleh ikut, Mbak?" sambar Binar.

"Boleh, tapi bayar tiket masuk ke aku," sahut Adel, lalu terbahak-bahak.

"Aku juga boleh ikut?" Suara pria dari pintu masuk membuat kami serempak menoleh.

"Loh, Mas? Katanya mau pulang ke Karanganyar?" ucap Binar seraya berjalan mendekati pria itu, yang tak lain adalah Birru.

Sementara aku memilih memalingkan wajah dan sok menyibukkan diri.

"Iya, ini mau pulang, tapi mampir dulu ke sini."

"Widih, kok repot-repot." Suara Adel terdengar begitu semangat, dan biasanya kalau kayak gitu pasti ada makanan.

Benar saja, saat aku melirik ke arah mereka ternyata Adel sedang membuka dus berlogo ayam goreng tepung yang lumayan terkenal di ruang tamu. Dasar cewek murahan, disogok pake makanan mau.

Assalamualaikum, Mantan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang