Part 1

229 12 0
                                    

Aura Anindya, gadis berusia 18 tahun. Ia tinggi, kurus, dan kulitnya berwarna kuning langsat, khas perempuan Indonesia. Bentuk wajahnya oval, hidung mancung, dan bibir merah yang menawan.
Sore itu, ia baru saja tiba di rumah. Aura, sudah melaksanakan tugasnya, yaitu membantu ayahnya membuka toko obat herbal. Hal itu ia lakukan setiap hari.
Aura, menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kayu. Ia kembali meraih novel yang siang tadi dibacanya. Kemudian, ia mulai melanjutkan membaca novel terjamahan karya 'William Shakespeare'.
Aura suka sekali membaca novel. Apalagi cerita mengenai mafia, tipe-tipe badboy yang digambarkan pengarang dalam novel-novel yang dibacanya. Membuat Aura berkhayal ingin memiliki satu saja pria yang seperti itu.
Dia polos, dan mengira bad boy di dunia nyata selalu tampan, dingin, dan nantinya akan menjadi pasangan yang bucin. Kemudian, membalas cintanya. Ya, begitulah pria sempurna yang ada di imajinasinya.
Saat di rumah sendiri, Aura bebas tertawa cekikikan atau menangis karena novel yang dibacanya. Ketika Bu Mita, yang merupakan ibu tirinya berada di rumah. Ia tidak berani tertawa dengan leluasa karena wanita itu pasti akan sangat marah.
"Huftt gerah!"
Listrik yang tiba-tiba mati membuat ruang tamu sekaligus ruang tengah di rumah kayu sederhana yang di tempati Aura dan kedua orang tuanya, menjadi panas.
Aura beranjak dari duduknya. Ia membuka tirai sekaligus membuka jendela. Kemudian, membuka kausnya, menyisakan tank top warna hitam dan celana pendeknya.
Gadis itu kembali duduk bersandar dan larut dalam novel sedih yang dibacanya.
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Aura yang terlalu fokus membaca novel tidak menyadarinya, hingga langkah kaki itu berhenti di depan pintu.
Braak.
Suara pintu terbuka yang di dorong dengan kuat lalu menabrak dinding, terdengar keras. Aura, terkejut melihat sosok yang ada di depannya.
Aura, menatap pria yang tengah berdiri di ambang pintu, dengan mulut ternganga. Ia tinggi dengan tubuh kekar. T-shirt lengan pendek yang ia kenakan melekat, memperlihatkan otot pada lengan yang terbuka.
Kedua bola mata Aura, masih mengamati pria di hadapannya. Ia mengenakan baju serba hitam. Celana, atasan, sepatu, dan topi yang singgah di kepalanya berwarna hitam.
Pria itu menegakkan lehernya. Menatap ke arah Aura, membuat pandangan mereka saling bertemu.
Seketika jantung Aura bertalu-talu. Wajah pria di hadapannya sangat tampan. Sepasang mata elang yang tajam, dengan alis tebal. Hidung mancung, rahang yang kokoh, dengan bibir warna merah.
Namun, ekspresi wajahnya terlihat dingin dan datar. Detik berikutnya, Aura tak sadarkan diri.
==❤==
Aura tersadar. Pelan ia mengerjapkan kelopak matanya hingga sadar sepenuhnya.
Gadis itu, berusaha bangkit. Cukup susah karena kedua tangannya terikat ke belakang. Mulutnya pun tak bisa dibuka.
Kedua manik mata Aura, menyapu pandangan ruangan itu. Namun, tidak melihat apapun. Gelap, hanya ada sedikit cahaya, yang berada di atas pintu. Begitulah menurut Aura.
Aura menggeser tubuhnya ke belakang, hingga bersandar pada dinding. Ia mencoba mengingat kejadian sebelumnya. Hanya wajah pria misterius itu yang dia ingat, selanjutnya ia tak mengingat apa-apa lagi.
'Dimana aku?'
Udara di ruangan itu pengap. Cahayanya pun tak ada, gelap hanya hitam. Tidak bisa melihat apa pun.
Bau debu begitu kuat setiap Aura menghirup nafas. Sepertinya ia berada di tempat asing yang sangat kotor.
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Kemudian, suara langkah kaki berhenti, berganti dengan suara pintu dibuka.
Cahaya dari luar masuk ke dalam. Rupanya Aura berada di ruang bawah tanah. Celah cahaya yang ia kira berada di atas pintu ternyata bagian dari bawah pintu. Kemudian, ada tangga ke bawah dengan tinggi setara dengan dinding ruangan itu kurang lebih tiga meter.
Pria dengan tinggi dan kekar dengan bentuk tubuh yang sama dengan pria yang Aura lihat sebelum pingsan tengah berjalan menuruni tangga dengan santai.
Detik berikutnya lampu menyala dan pria itu sudah berdiri di ujung tangga. Untuk kedua kalinya Aura melihat pria tampan itu.
Kali ini lebih jelas karena pria itu tidak mengenakan topi. Rambut cepaknya, ia sugar di sisi kanan, rapi dan terlihat semakin menarik. Pria itu sangat tampan meski ekspresinya dingin. Benar-benar tipe idaman Aura.
Mark berjalan mendekat ke arah Aura. Bola mata warna Hazel, membuat Gadis yang tengah di sanderanya tak berkedip. Larut dalam keindahan bola mata cantik milik Mark.
"Kau sudah sadar?" tanya pria itu seraya berlutut. Kemudian ia melepas perekat yang menutup bibir si gadis.
"Aaa ...," teriak Aura. Gerakan Mark sangat kasar. Seperti merobek lapisan bibirnya yang lembut. "Ini di mana? Kenapa aku di sini? Kau siapa?" tanya Aura dengan tubuh bergetar. Pria itu tampak menakutkan, dingin, kejam, tetapi sangat tampan. Semakin mirip dengan karakter badboy di dalam benaknya.
"Sementara waktu aku harus menahanmu di sini, kau adalah sandera, jangan melawan dan macam-macam, selama kau tunduk kau akan baik-baik saja karena bukan kamu yang aku cari!" ucap Mark. Ia melihat ke arah gadis di hadapannya.
Aura tampak berantakan dan lemas, baju yang ia kenakan hampir terlepas. Bibirnya kering dan matanya sayu.
"Aku haus, setidaknya lepaskan aku dan beri aku minum, atau kau akan berdosa karena membuat gadis perawan mati kelaparan!" pinta Aura di sela-sela nafasnya. Mungkin hari sudah berganti karena saat sadar, Aura merasa sangat haus.
Jari-jemari Mark meraih pergelangan tangan Aura. Perlahan mulai melepas tali tambang yang mengikatnya.
"Tunggu di sini!" titah Mark. "Jangan kabur!" tambahnya.
"Bagaimana aku bisa kabur, berdiri pun aku tak bisa!" sela Aura. Tubuhnya semakin gemetar. Selain karena lapar, sekilas gadis itu melihat luka jahit di punggung tangan pria asing di depannya. Membuat otaknya traveling ke mana-mana.
Siapa kamu sebenarnya?
Kenapa kamu menculikku?
Apa jangan-jangan kamu pengagum rahasiaku?
Kenapa ada luka seperti itu di tanganmu wahai pria asing?
Otak Aura tak henti berkelana, menebak-nebak siapa sebenarnya pria itu.
Mark membalas tatapan sanderanya sekilas. Ia sudah berhasil melepaskan ikatan di tangan sanderanya. Kemudian, ia berdiri, lalu segera meninggalkan ruangan itu.
Aura melihat ke arah tangga dengan pintu yang masih terbuka. Ini kesempatan baginya untuk kabur. Sayang sekali ia tak punya tenaga sama sekali. Kakinya sangat lemas, belum lagi kering di tenggorokan yang menimbulkan rasa haus yang luar biasa.
Kembali terdengar suara langkah kaki, kali ini lebih dari satu orang.
Benar saja, ada dua pria berbadan kekar masuk ke ruang bawah tanah.
Aura memperhatikan pria satunya lagi, dia terlihat sangat menyeramkan. Tindik di telinga, juga ada beberapa tato di leher dan kedua lengannya.
Apa kalian gangster?
Kalian siapa?
Tunggu, kalian tidak akan membunuh dan menjual organ tubuhku kan?
Memikirkan hal itu Aura, merasa mual. Ia pun kembali tak sadarkan diri.
"Mark kau menakutinya!" ujar Jovi terkekeh mendapati Aura yang pingsan di depan matanya.
"Kau yang membuatnya takut, dia pasti ketakutan melihat rambut gondrongmu yang ikal!" canda Mark. Ia kembali berlutut.
Dipandanginya, Aura yang tak sadarkan diri. "Merepotkan saja?!" keluh Mark dengan kesal.
"Benarkah dia adik dari buronan Tuan Dante? Dia terlihat seperti gadis biasa saja!" ucap Jovi.
Mark menekan bagian telapak tangan sanderanya dengan keras. Yaitu bagian lunak di antara ibu jari dan jari telunjuk gadis itu, yang membuatnya tersadar.
Mark menatap Aura yang ketakutan. Jangan berharap Mark merasa kasihan, itu tidak akan pernah terlintas di hatinya
"Minumlah! Kau harus hidup agar usahaku tidak sia-sia!" ucap Mark. Netranya mengamati gadis itu yang rakus menelan air mineral dari botol yang ia berikan.

To be Continue

Sandera Sang MafiaWhere stories live. Discover now