"Noona istirahatlah, aku pergi dulu." Tutur Jimin lembut sembari mengelus rambut sang kakak. Rasa tak tega menyerang pikiran Jimin. Namun ia juga tidak mungkin menunggu sang Noona disana. Mengingat Jimin adalah pria normal, yang bisa kapan saja kehilangan kendali atas kejantanannya. Dengan terpaksa, ia tetap harus meninggalkan Aeri yang sedang kacau malam ini. Namun saat Jimin baru saja berbalik arah, Aeri menarik tangan Jimin dengan kondisi yang setengah sadar. "Jiminn" panggilnya dengan isak tangis, masih dengan mata yang terpejam.

Jimin melepas paksa tangan Aeri, kemudian.. "Noona maafkan aku."

Setelah itu Jimin pergi meninggalkan kamar Aeri, tanpa membiarkan waktu berlalu lebih lama.

•❄️•❄️•❄️•


Pagi ini terlihat begitu cerah. Namun tidak bagi Aeri, tubuhnya gemetar setelah mendapat panggilan telepon. Badannya melemas seperti seseorang yang tak memiliki tenaga. Ia jatuh terduduk seakan tak percaya atas panggilan yang baru saja ia terima.

Jimin yang melihat keadaan Aeri begitu memprihatinkan dengan tubuh yang meringkuk dengan tangisnya, seketika berlari ke arah Aeri berada, untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi. "Noona ada apa?"

"Haein.. Haeein.." ucap Aeri dibarengi dengan isak tangisnya.

Jimin memegang bahu Aeri, dengan perasaan yang ikut cemas ia kembali bertanya, "Haein kenapa Noona? Katakanlah." Sorot matanya terlihat lebih serius dari biasanya. Jimin tengah menunggu Aeri mengatakan sesuatu.

Aeri belum menjawab. Tangisnya semangkin pecah. Jimin memegang pipi Aeri guna membuat pandangan wanita itu berfokus padanya, Jimin berusaha membuatnya tenang. "Noona tenang. Tarik nafas. Jangan Seperti ini noona. Tarik nafas."

Aeri mengikuti intruksi Jimin
Menarik napasnya hingga membiarkan dirinya menemukan sedikit ketenangan, kemudian.. "Dia kecelakaan Jimin.."

Aeri kembali melemas setelah mengatakan itu. Namun dengan sigap Jimin langsung memeluk tubuh Aeri. "Noona jangan menangis, ayo kita pergi ke rumah sakit sekarang."

Aeri mengusap air matanya. Menangis bukanlah hal yang putrinya butuhkan saat ini. Aeri bergegas pergi ke rumah sakit bersama Jimin. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Tak butuh waktu lama mereka telah sampai dirumah sakit. Aeri segera berlari ke ruangan dimana sang putri dirawat.

Setelah sampai di dalam ruangan, Aeri kembali menangis sembari bertanya, "Haein, kau tidak apa-apa sayang?" tanya Aeri khawatir sambil memeluk sang anak, lalu menciumnya tanpa henti.

"Eomma..." panggil Haein sembari menggerakkan tangan, untuk membalas pelukan ibunya.

Aeri mengambil tangan sang anak, untuk di letakkan ke pipinya. "Ini eomma sayang, eomma disini."

Setelah memastikan anaknya baik-baik saja, Aeri menitipkan Haein pada Jimin agar ia bisa berbicara pada guru Haein yang sedari tadi berada di ruangan itu. Sedikit menjauh dari sana, kini Aeri siap mengintrogasi guru tersebut. Aeri berusaha menahan amarah, mencoba mengontrol emosi agar tak meluap-luap di tempat yang tidak seharusnya. "Ssaem, bagaimana anak saya bisa sampai seperti ini? Bukankah ini jam pelajaran? Bagaimana seorang murid bisa keluar diwaktu jam sekolah?" banyaknya pertanyaan langsung keluar dari mulut Aeri.

"Maafkan saya, semua murid hari ini dipulangkan lebih cepat karena ada suatu urusan. Saya sudah mencoba menghubungi Aeri-nim, namun tidak ada jawaban. Saya pikir untuk menghubungi ayah Haein, namun saat ayah Haein datang menjemput, Haein sedang menyebrang. Di saat yang bersamaan, ada mobil melaju cukup kencang yang menyerempet badan Haein, hingga membuatnya terjatuh." Ucap sang guru yang berusaha menjelaskan pada Aeri agar tidak terjadi kesalahpahaman. "Maafkan saya, seharusnya saya memastikan Haein masuk ke dalam mobil." Lanjut sang guru sembari membungkuk, meminta maaf.

WINTER: Wound Healer (PROSES REVISI)Where stories live. Discover now