5. Mengenai Sudut Pandang

563 90 3
                                    

"Maaf, tadi kamu mau bilang apa?" Aroha kembali bersuara setelah percakapannya yang cukup serius dengan rekannya di sambungan telepon berakhir.

"Eh?"

"Tadi, kamu mau bilang sesuatu, kan? Lanjutin. Kita masih punya waktu kurang-lebih 5 menit."

Alvar menatap Aroha tidak yakin, dalam situasi seperti ini... di saat Aroha sedang berburu waktu dan bertaruh dengan keadaan seseorang, apa masih layak untuk mereka membicarakan hal yang sangat bertolak belakang? Apalagi menurut Alvar apa yang mereka bicarakan tidak lebih penting dari situasi yang harus Aroha hadapi secepatnya.

"Nggak apa-apa. Sesuatu kayak gini udah jadi hal yang umum di dunia medis. Kami bahkan bisa bicara masalah apa pun di tengah meja operasi—tentu menyesuaikan dengan keadaan pasien juga. Sebab kalau nggak berusaha menyempatkan waktu, bisa jadi orang-orang seperti kami bahkan nggak bisa selesaikan pembicaraan apa pun karena selalu aja ada yang terjadi kapan pun dan di manapun tanpa tahu situasi pribadi yang juga kami hadapi."

Alvar melirik jam di dashboard mobil, kali ini waktu mereka memang hanya tersisa lima menit. Pria itu membasahi bibirnya, memutuskan untuk menyampaikan apa yang ada di kepalanya dalam pembicaraan mereka tadi.

"Saya nggak merasa permintaan Bapak sesuatu yang nggak masuk akal."

Aroha menoleh ke arah Alvar, tepat ketika wanita itu membanting stirnya ke arah kanan. Tubuh mereka sama-sama berguncang hebat, tapi keduanya sama sekali tidak menunjukan ketakutan sama sekali, di saat orang-orang di luar sana sudah mengumpat bahkan memaki bagaimana cara Aroha mengemudikan mobil itu Aroha masih bisa dengan tenang menanggapi mereka dengan menyerukan permintaan maaf berkali-kali.

"Huh?"

"Bukannya wajar untuk orang tua mengkhawatirkan anak mereka? Apalagi kalau itu anak perempuan. Orang tua mana pun, apalagi seorang Ayah pasti ingin yang terbaik untuk putri mereka. Ingin putri mereka tinggal dengan aman, hidup dengan tenang dan bahagia bersama sosok seseorang di sampingnya."

Dengusan kembali terdengar dari mulut Aroha, dengusan yang terdengar dan terlihat penuh penghakiman setelah mendengar apa yang diucapkan pria di sampingnya. Well, sebenarnya Aroha bukan tipe yang menghakimi ucapan orang lain, tapi karena sosok di sampingnya itu melakukan hal itu lebih dulu—entah secara sadar atau tidak, Aroha jadi tidak bisa menahan diri untuk melakukan hal yang serupa.

"So, menurut kamu—kamu sosok yang bisa kasih semua itu untuk saya?"

"Eh?" Alvar terlihat panik, pria itu menyadari Aroha sudah mengambil ucapannya terlalu mentah bahkan mengartikannya dalam sudut pandang lain. "Maksud saya dalam artian yang general, Mbak. Bukan secara khusus mengerucut pada kasus kita atau tentang saya. Tapi secara umum dari sudut pandang setiap orang tua."

Kita? Mendengarnya sedikit terasa aneh di telinga Aroha. Wanita itu mencoba untuk mengabaikan bagian itu, agar fokus percakapan mereka tidak terpecah. Tentu saja Aroha harus mengakui kalau dirinya mungkin sedikit salah mengartikan ucapan Alvar jika maksud Alvar memang tidak sekompleks itu. Meski... tetap saja, ada bagian dari ucapan Alvar yang perlu dikoreksi besar.

"Pandangan kamu sepertinya terlalu sempit, Alvar. Nggak semua orang menganggap kebahagiaan itu sama seperti kamu memandangnya."

Alvar mendengarkan dengan seksama, sama sekali tidak terlihat tersinggung atau tidak nyaman ketika pernyataannya Aroha bantah.

"Kamu pikir orang lain nggak bisa bahagia meski mereka sendiri? Kamu pikir orang lain nggak bisa merasa lebih aman ketika mereka justru seorang sendiri? Pun dengan rasa tenang, banyak orang di luar sana yang justru merasa tenang ketika mereka sendiri—sebab bagi mereka, bisa jadi bersama orang lain justru menjadi ancaman. Bisa jadi bagi mereka hidup dengan orang lain justru sebuah kekacauan." Mobil jeep putih yang Aroha kendarai memasuki kawasan rumah sakit tempatnya bekerja, dengan cepat wanita itu mengarahkan mobil ke jalur unit emergency berada, agar dirinya bisa lebih cepat mencapai ruangan persiapan operasi yang harus ia tuju.

Mobil itu kemudian berhenti, dengan bunyi decitan yang cukup kencang hingga baik tubuh Aroha maupun Alvar menjorok ke depan menahan guncangannya.

"Kita lanjutin pembicaraan ini nanti, tapi saya harap kamu bisa pikirin apa yang saya maksud barusan." Aroha membuka sabuk pengamannya, menarik handle pintu dan hendak melompat keluar dari mobil yang ia kendarai kurang dari 15 menit terakhir itu sebelum gerakannya terhenti dan menoleh menghadap Alvar untuk terakhir kali sebelum pergi.

"Terima kasih untuk mobilnya. Kamu bisa tunggu saya kalau takut tiba-tiba dicari polisi karena banyak melanggar rambu tadi, tapi—" Sebelum Aroha berhasil menyelesaikan kalimatnya, ponselnya yang bernada emergency kembali terdengar dan itu membuat Aroha tidak bisa bercakap-cakap lebih lama lagi dengan pria itu.

"Apa pun itu, silakan kamu yang putusin. Mau tunggu atau apa pun. Saya pergi dulu!" Ucap Aroha, kali ini benar-benar membuka pintu mobil, melompat dari mobil itu dan menutup pintunya lumayan keras.

Wanita itu terlihat berlari sambil merogoh tas mencari ponselnya yang berbunyi, lantas ketika menemukannya Aroha langsung menempelkan ponsel itu ke telinga.

"Iya, Gabby. Saya udah di rumah sakit. Ini udah di depan IGD—"

Pemandangan itu Alvar saksikan dari dalam mobil, mengamati dengan penuh perhatian setiap gerak-gerik yang wanita itu buat hingga sosoknya hilang di balik pintu unit gawat darurat yang tertutup. Alvar menarik napasnya panjang, menghembuskannya pelan berharap yang terbaik untuk pasien yang ada dalam penanganan Aroha.

Itu bukan pertemuan yang pertama, kedua atau bahkan ketiga mereka memang. Itu pertemuan kesekian keduanya yang mungkin bisa dibilang sudah tidak terhitung. Tapi bagi Alvar, itu kesempatan pertamanya bisa membicarakan banyak hal dengan Aroha—meski bagi orang lain apa yang mereka bicarakan termasuk singkat dan hanya membahas satu topik yang mana itu pun tidak sampai tuntas meraka bahas. Tapi tetap saja, bagi Alvar itu kesempatan berharganya untuk mengenal seorang Aroha Nasution dari jarak dekat, dalam sudut pandang yang lain, dan kaca mata yang tidak pernah Alvar pakai sebelumnya.

Sebab sebelumnya bagi Alvar, Aroha adalah sosok yang begitu jauh, begitu sulit untuk ia pandang dalam waktu yang lama, pun tidak ada alasan dan kesempatan untuknya berbicara banyak dengan wanita itu.

Aroha adalah putri dari seorang pemimpin negara yang sedang berkuasa, selain itu sosoknya adalah sosok independent yang memilih untuk tinggal di luar lingkungan pemerintahan dan berada sejauh mungkin dari dunia perpolitikan. Mengunjungi kedua orangtuanya di istana hanya sesekali jelas membuat siapa pun di lingkup istana tidak bisa mengenal sosok wanita itu lebih jauh maupun lebih dekat.

Maka dari itu, permintaan, tawaran, perintah atau apa pun itu sebutannya yang diberikan Presiden Negara saat ini pada Alvar adalah sebuah kehormatan tersendiri untuk pria itu. Sebab kalau bukan karena permintaan sosok yang Alvar hormati itu, Alvar tidak yakin, bahwa dirinya akan memiliki kesempatan untuk bisa bicara lebih banyak atau bahkan mengenal sosok seorang wanita bernama Aroha Nasution

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 03, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Menantu PresidenWhere stories live. Discover now