2. Sisi Memalukan

600 100 1
                                    

"Mbak Aroha, air hangatnya udah Bibi siapkan. Mbak Aro mau mandi sekarang atau..."

Aroha menggeliat di ranjangnya dalam posisi tengkurap. Meski sekilas wanita itu terlihat tertidur dengan nyenyak, nyatanya tidak sama sekali. Aro bahkan masih bisa mengingat jelas berapa kali ayam piaraan ayahnya di kediaman berkokok setengah jam lalu. Dan itu terjadi persis saat Aro merasa bahwa dirinya bisa tertidur walau sejenak, walaupun jelas akhirnya gagal karena suara ayam itu.

"Ugh! Aku mandi nanti aja, Bi. Biar aku yang siapin sendiri. Ini hari liburku, jadi biarin aku tidur lebih lama..." Gumam Aro, tanpa sedikitpun menggerakan tubuhnya, bangkit, atau sekadar menoleh pada asisten rumah tangga yang sudah setia menemani keluarganya sejak Aro masih sekolah dulu.

Ucapan Aro itu tentu saja merujuk pada aktifitasnya selama menjadi dokter residen yang jelas sama sekali tidak bisa dibilang mudah. Kurang tidur, kurang makan dan waktu istirahat jelas sudah menjadi asupan Aro sehari-hari selama menjalani masa residen dan bergelut dengan gelar kedokterannya kurang-lebih selama sepuluh tahun terakhir, dan ya—mendapatkan waktu tanpa harus memikirkan pekerjaan seperti ini tentu saja menjadi waktu yang paling diberkati, setidaknya itu bagi Aro yang masih berusaha untuk kembali ke alam bawah sadarnya.

Bi Ami, yang mendengar suara parau wanita itu langsung mundur, kembali menutup pintu kamar Aroha perlahan dan membiarkan anak dari atasannya itu melanjutkan tidurnya. Atau lebih tepatnya berusaha untuk benar-benar tertidur.

"Lho, Aroha mana? Udah dibangunin, Bi?" Bi Ami sedikit melonjak terkejut dengan suara di belakangnya yang tiba-tiba menyapa saat dirinya tengah menutup pintu kamar Aro, begitu berbalik yang didapatinya adalah Revana.

"Ah, anu—Bu. Mbak Aro minta untuk jangan diganggu dulu. Katanya Mbak Aro ingin tidur lebih banyak, jarang-jarang Mbak Aro dapat waktu tidur yang banyak kayak gini katanya."

Revana yang baru saja ingin mengomel, layaknya orang tua jaman dulu yang pantang membiarkan anak gadisnya tidur hingga siang bolong harus mengurungkan niatnya setelah mendengar alasan yang Bi Ami sampaikan.

Wanita paruh baya itu jelas tahu bagaimana susahnya Aro mendapatkan waktu istirahatnya, bagaimana putrinya itu mencurahkan hampir seluruh waktunya untuk membantu orang-orang yang datang ke rumah sakit dan menangani mereka. Revana juga jelas tahu bagaimana anak satu-satunya itu berjuang dan belajar selama ini. Merelakan seluruh waktu tidurnya, istirahatnya, bahkan makannya yang sampai saat ini harus Revana ingatkan agar putrinya itu tidak malah jatuh sakit.

Itu kenapa, kali ini, ketika putrinya mendapatkan waktu libur dan memang tidak ada agenda apa-apa, maka dirinya bertekad untuk membiarkan Aro mengambil waktu istirahat sebanyak yang putrinya itu mau, sebanyak yang Aro inginkan.

"Aro nggak sarapan sama kita?" Pertanyaan itu keluar saat Adam dan Revana sudah berada di meja makan, memulai hari mereka bersama di sana sebelum setelah ini keduanya harus memenuhi agenda masing-masing.

"Aro masih istirahat, Mas. Biarin aja. Kalau lagi tugas Aro sulit dapat waktu santai kayak gini. Termasuk waktu istirahatnya. Apalagi kemarin, baru pulang kamu udah nodong Aro dengan topik berat macam itu, jadi Aro pasti butuh waktunya untuk sendiri. Dan aku harap kamu jangan terus-terusan desak Aro kayak gitu. Kasih anak kamu itu sedikit waktu buat pertimbangin semuanya, Mas."

"Aku nggak bilang apa pun, belum ngomong apa-apa lho, Sayang. Aku cuma tanya di mana putri kita, tapi kamu udah pasang perisai buat lindungin Aro. Merasa bersalah karena semalam nggak melakukannya?" Goda Adam, menatap istrinya itu dari cangkir teh yang tengah disesapnya.

Mata Revana menyipit, menyorotkan tatapan sebal pada suaminya itu. Tapi Revana memilih tidak menanggapi, karena dirinya tahu godaan itu tidak akan berakhir di sana kalau diladeni. Tidak, tentu saja Ibu Negara tidak akan melakukannya di depan para pekerja yang sekarang hilir-mudik di dekat mereka. Itu terlalu memalukan di usia mereka yang rasanya sudah tidak pantas lagi untuk saling menggoda di depan umum.

***

Aroha bangun benar-benar setelah matahari bersinar terik tepat di atas kepala. Iya, tengah hari. Tanpa ada satupun yang mengganggu ataupun yang berusaha membangunkannya, Aro akhirnya bisa tertidur setelah hampir semalaman terjaga.

"Ugh... Ah air—aku butuh air." Gumam Aro menggeliat di setengah kesadaran. Suara wanita itu serak, khas suara bangun tidur, tapi kali ini ditambah dengan tenggorokannya yang terasa kering.

Menyeret tubuhnya masih dalam posisi berbaring yang sama ke arah nakas di samping tempat tidur, Aro berusaha menuangkan air di dalam teko kecil yang tersedia di sana ke dalam gelas sebelum membawa gelas itu mendekat dan meneguk isinya hampir separuh.

Napas wanita itu kini berhembus lebih leluasa dibanding sebelumnya, yang seolah tertahan di tenggorokan. Aro menarik dan menghembuskan napasnya dengan ritme normalnya kini, membuka matanya juga dengan kesadaran yang sedikit demi sedikit berusaha ia pulihkan.

Aro menghembuskan napasnya kasar, sebelum bangkit dan kini terduduk di atas ranjangnya. Entah bagaimana masalah prihal dirinya yang dijodohkan kembali melintas di kepala, tiba-tiba, begitu saja, sesaat setelah Aro merasa kesadarannya perlahan kembali ke tahap normal.

Hah... kenapa pula Aroha harus ingat hal itu? Di hari liburnya seperti ini? Mengurut keningnya yang kembali terasa pening, Aro berdiri, melangkah meninggalkan ranjangnya dan berjalan keluar begitu saja tanpa berkaca atau merasa perlu merapihkan dan memperbaiki penampilannya meski hanya sedikit.

Berbalut piama tidur yang kusut, rambut yang berantakan, wajah yang sedikit bengkak karena waktu tidur Aro yang tidak wajar, kotoran di sudut mata, serta sedikit—kalian tahu? Cairan yang mengering di sudut bibir, karena tidurnya terlalu lelap akibat tidak bisa tidur semalam, jejak itu masih tercetak di sana dan tidak menjadi sesuatu yang Aroha perhatikan.

Pintu kamarnya itu Aro buka, entah dengan tujuan apa dan hendak kemana, kakinya melangkah keluar dan menyusuri lorong begitu saja. Hingga tak berselang lama, saat dirinya melihat pantulan dirinya di salah satu cermin besar yang menjadi hiasan dinding di lorong, wanita itu akhirnya menyadari bahwa penampilannya saat ini sangat tidak layak untuk dilihat—tapat ketika itu pula, langkah Aro terhenti bersamaan dengan langkah seseorang lainnya yang juga bereaksi serupa saat berpapasan dengan Aro.

"Selamat pagi, Mbak Aroha."

"A-Al..."

Alvar menunduk, memberikan salamnya sejenak sebelum kembali mengarahkan tatapannya pada Aroha. Detik itu juga langkah Aroha bergerak mundur, terbata, mengangkat tangannya dan menunjuk tepat ke arah pria itu.

"Alihin pandangan kamu!"

"M-Maaf?"

"A-AKU BILANG ALIHIN PANDANGAN KAMU SEKARANG!" Seru wanita itu seperti orang yang terperangkap basah melakukan kesalahan. "CEPAT!" Teriak Aroha lagi, membuat Alvar mengerjap terbata. Pria itu tidak mengerti, kenapa sapaannya justru dibalas dengan teriakan macam itu?

Menantu PresidenWhere stories live. Discover now