Di bawah bimbingan Mbak Agis, kakaknya Adel, yang terlebih dahulu terjun ke dunia kerja seperti ini, kami dipercayai membuka cabang untuk jasa periklanan untuk sosial media. Mbak Agis sendiri juga memiliki usaha kafe ala anak muda, yang dirintis sejak kuliah sampai sekarang punya anak dua.

Dulu saat awal memulai usaha, kami diminta mempromosikan kafe miliknya. Aku yang sama sekali tak percaya diri tampil dan berbicara di depan layar, dipaksa untuk ikut. Alhasil, aku bak anak SD yang sedang belajar membaca.

Aku ingat betul, saat kami harus berakting layaknya pengunjung yang sedang menikmati dan mendeskripsikan makanan di depan kamera yang sudah disetting sedemikian rupa.

"Enak, ya?" Adel memulai perbincangan. Aku deg-degan.

"Iya enak." Aku pun membalas.

Sialnya hanya dua kata itu yang kuingat. Padahal dari TK aku belajar banyak kosa kata, ini ibu Budi, ini ayah Budi, ini adik Budi, ini kakak Budi, lalu di mana Budi? Oh, ya saya nggak tahu, kok tanya saya.

"Enak banget, ya?" Adel kembali bertanya.

"Iya, enak."

Ya Allah, malu ....

"Wow, luar biasa rasanya. Beneran enak, Gaes."

"Iya enak."

Andai waktu bisa diulang ....

"Coba rasain yang pedas, enak banget, lho."

"Iya, enak."

Aku menjawab dengan dua kata itu terus sampai syuting selesai. Bayangkan coba. Bayangkan saudara-saudara! Lebih baik aku jadi cecak yang diam-diam merayap sambil menunggu nyamuk datang dan tinggal hap.

Namun, masa-masa itu sungguh banyak pelajaran yang aku ambil hingga akhirnya bisa sampai detik ini.

"Sekarang sudah berani tampil di depan layar emang?" tanya Author yang sedang menunggu nyamuk datang.

Oh, tentu saja ... tidak.

Berada di balik layar ternyata lebih menyenangkan dan nyaman. Biarlah Adelia Jelita yang cuap-cuap di depan kamera, tapi untung sekarang ada Binar yang juga jago tampil layar.

***

Hari ini, setelah melakukan beberapa pengambilan video kami kembali ke kantor. Aku pikir kemarin adalah hari apes karena kembali bertemu dengan mantan, tapi ternyata hari ini dia lagi-lagi datang ke kantor, membawa sogokan yang membuat Adel berubah jadi Odol. Padahal kemarin sudah janji kalau bertemu Birru lagi, dia akan bersikap cuek.

"Enak banget ini bakminya, boleh nambah nggak, sih?" Mata Adel memang selalu bersinar saat melihat makanan.

"Ambil aja sepuasnya, aku beli banyak," jawab Birru yang pasti sudah sangat hafal seperti ada watak Adel.

Secara kami memang cukup dekat sejak masa orientasi siswa ketika SMA dulu. Aku, Adel, dan Acha, cukup akrab dengan Birru dan Gibran. Kami berlima semakin dekat ketika ditakdirkan sekelas saat kelas 10. Saat naik ke kelas 11 kami terpisah, meski sama-sama masuk IPS, tapi kelas kami berbeda-beda.

Aku sekelas dengan Adel, Acha dengan Gibran, sementara Birru berbeda sendiri. Meski begitu, kami sering berkumpul ketika ada waktu luang, entah saat istirahat atau pulang sekolah walau hanya beli cilok 5000 dimakan berlima. Tapi itu dulu, ketika kami masih percaya kalau persahabatan lebih berarti dari segalanya.

"Jadi, berapa lama kalian pacaran?" Pertanyaan Binar membuyarkan lamunanku.

Aku menatap Birru yang terlihat sedang berpikir. Dasar cowok, gampang lupa kalau masalah kayak gini.

"Tapi aku bukan mantannya. Kami nggak pacaran dulu," ucapku malas.

"Tapi kalian jadian dulu," sambar Adel sebelum mengigit donat. "Itu namanya pacaran, Kenes. Jangan bikin aku tambah laper deh."

"Cuma bentar," balasku malas.

"Seminggu, kan?" Kali ini Birru membuka suara.

Tuh, kan, salah.

"Enak aja, enam hari lebih 8 jam," sambarku kesal. Birru malah terkekeh.

"Ternyata masih inget," ucapnya pelan, tapi masih terdengar olehku.

"Tapi kayaknya seminggu," ucap Birru lagi dengan wajah tampak berpikir.

"Jadi mana yang bener? Seminggu apa 6 hari lebih delapan jam?" Adel kembali nimbrung.

Lagi-lagi aku dan Birru menjawab sesuai pendapat masing-masing.

"Digenapin aja kalau gitu. Kalian pacaran lagi 16 jam biar genap seminggu, jadi enak nanti kalau ada orang tanya, jawabannya sama." Solusi dari Adel sungguh menyesatkan.

"Aku ngikut Kenes aja. Genapin seminggu ayo, seumur hidup juga ayo," balas Birru.

"Dih, pacaran sana sama ikan koinya si Adel!" ucapku kesal dan memutuskan pergi dari ruang tamu.

"Ikan yang mana? Kan, udah nggak ada gara-gara digoreng Eyang," balas Adel setengah berteriak.

Ah, iya. Aku lupa Adel kemarin cerita kalau ikan koi peliharaannya digoreng Eyang. Beliau mengira itu hewan jadi-jadian karena sering melihat Adel mengajak ngobrol si ikan, bahkan memanggilnya sayang.

Lagian, manggil sayang sama ikan, panggil tuh makanan yang jatuh tapi belum ada lima menit.

Assalamualaikum, Mantan!Where stories live. Discover now