"Aku tak ingin kau tertawa terbahak-bahak disini," menolak untuk menyebarkan aibnya lebih lanjut.

"Kau sudah mengoreknya sedikit, jika ingin mengatakannya. Katakan semuanya. Jangan setengah-setengah dan membuatku penasaran."

Audrey berhenti sesaat, menatap Arkan yang menunggunya. "Aku bisa mati penasaran saat ini," kata Arkan untuk membujuk Audrey menceritakan tragedi memalukan itu.

"Seseorang tak boleh mengatakan kata 'mati' begitu mudah. Dan penasaran tak membuat orang mati." Kata Audrey. Ia berhenti sebentar. Kembali melangkah, Arkan mengikutinya. "Jadi waktu kelas 1 SMA, ada acara penyambutan tamu. Guru seni di sekolahku memintaku untuk ikut menjadi bagian dari penyambutan tamu. Awalnya aku kira aku ditaruh dibagian acara, tapi ternyata bagian hiburan. Aku masuk kelompok tari. Mungkin beliau mengira karena aku hebat dalam sastra kemapuan seniku yang lain juga sama hebatnya. Tapi dia salah. Menari adalah salah satu kekuranganku. Dari semua teman-temanku. Gerakanku lah yang paling amburadul. Guru tariku kesulitan mengajarkan setiap gerakan yang mudah bagi teman temanku, tapi sulit bagiku. Karena acaranya sudah didepan mata, mereka tak bisa menggantikanku. Dan jadilah. Aku bisa menghafal gerakannya, tapi gerakakanku tak seluwes teman-temanku. Terkadang aku bergerak terlalu cepat, terkadang aku bergerak terlalu lambat. Sehingga mengacaukan gerakan temanku yang lain. Tak ada kelembutan atau keanggunan dari gerakanku. Gerakanku seperti robot yang dipaksa menekuk dan menggeliatkan tubuhnya. Aku menjadi bahan tontonan dan gelak tawa saat itu. Karena membuat tarian itu kacau. Aku tak tahu apakah acara hari itu komedi atau tragedi." Hidungnya mengerut, mengatakan kejadian itu kebih seperti tragedi baginya.

"Aku bisa membayangkan bagaimana hancurnya acara itu." Komentar Arkan dan tersenyum pada Audrey. "Jadi apa kau akhirnya disalahkan karena hal itu?"

"Ya, aku menjadi bahan lelucon hingga akhir masa SMA ku."

"Pasti berat,"

"Sangat berat, tapi aku punya Joe dan Cecil yang membantuku menghalau mereka. Jadi tak terasa terlalu berat."

"Kau pasti sangat menyangi kakakmu." Kata Arkan.

Audrey tersenyum. "Dia yang terbaik." Audrey bersyukur Joe menjadi kakaknya. Dan Memem menjadi neneknya. Dua orang yang menjadi keluarganya. Dia selalu berfikir bahwa dia manusia yang beruntung.

"Nah, ini tamannya. Kau mau lari bersamaku, atau kita berpisah disini dan aku akan menunggumu di dekat danau di ujung sana?" tunjuk Arkan ke arah selatan taman.

"Kita berpisah disini saja, karena aku tak yakin bisa mengikuti kecepatan larimu." Audrey memutar-mutar kakinya, melihat sekeliling taman yang ramai.

"Aku kecewa, kalau begitu aku akan menunggumu satu jam lagi di area danau."

"Oke, aku tak sabar ingin mencicipi kue disana." Kata Audrey dan memulai larinya meninggalkan Arkan terlebih dahulu.

***

Audrey sampai lebih dulu. Lalu membeli mineral dan meneguknya disalah satu bangku taman. Sambil menunggu Arkan, ia mengedarkan pandangannya ke area danau. Banyak penjual berjejeran di sepanjang danau. Menjual beraneka ragam barang. Kaos, sendal, makanan, buah, bahkan ada yang menjual boneka dan barang pecah belah.

Matahari dengan malu-malu muncul di setiap celah daun rimbun di sekitar taman. Hari ini cukup mendung. Berdasarkan ramalan cuaca pagi ini, hujan akan mulai di malam hari. Itu pun dengan intensitas sedang. Audrey bersyukur dengan informasi itu. Ia melirik jalanan. Sisa hujan semalam terlihat jelas di sekitar taman. Beberapa genangan air sepertinya tak menghalagi penghuni komplek menikmati weekend mereka. Audrey melirik anak-anak yang bermain dan membeli cemilan di sekitar taman. Suasana yang akrab. Seperti di apartemennya.

The Future Diaries Of AudreyWhere stories live. Discover now