03 :: Lonely Night

Start from the beginning
                                    

"hei, kok diem aja? Pertanyaan gue sensitive ya?"

Hana menggoyang-goyangkan tangan, bermaksud menjawab tidak pada Gaeul.

"gue...pindah rumah. Jadi harus pindah sekolah juga." kilahnya. Ya, memang ini sebuah kebohongan. Tapi semoga kebohongan ini tidak menimbulkan kebohongan-kebohongan lain. Toh, setelah ini mungkin mereka tidak akan berinteraksi lagi, pikirnya

"mm gitu. Oke deh. Kalo ada kesulitan bilang aja ke gue. Gue ketua kelas, btw."

Hana ber-OH menanggapi pernyataan Gaeul barusan.

Selesai berbaris, merekapun diinstruksikan untuk berkelompok dikarenakan olahraga kali ini adalah voli. Beberapa anak mengambil keranjang berisi bola voli. Gaeul dan Yujin mendorong keranjang bola yang cukup berat itu berdua.

Melihat itu, Hana yang sedang tak ada kesibukanpun ikut mendorong keranjang tersebut. Bantuannya disambut baik oleh Gaeul dan Yujin yang mendorong dari kanan dan kiri keranjang. Sedang Hana mendorong dari belakang.

Namun tak sengaja, kawat keranjang bola tersebut mengenai tangan Hana saat gadis itu sedang mendorong keranjangnya.

"aduh!"

Mendengar pekikan Hana, Gaeul dan Yujin menghentikan aksinya.

"lo kenapa? Loh, kok bisa berdarah gitu tangan lo?" tanya Yujin

"sorry, tadi ga sengaja kena kawat nih." Jawab Hana, "gue ke toilet dulu ya."

"sini gue temenin aja. Itu harus di obatin juga." ucap Gaeul

"eh gausah, gue bisa sendiri kok. Kalian lanjutin aja, gue minta tolong ijinin ke Pak Donghae bentar ya."

"yakin gapapa? Ga mau kita temenin aja?"

Hana menggeleng, "ga usah deh, makasih ya."

Iapun berlari ke arah toilet wanita untuk membersihkan lukanya. Walau tidak terlalu dalam, namun tetap perlu di perban. Karena nanti Hana harus bekerja paruh waktu juga, sehingga tidak mungkin ia membiarkan lukanya terbuka.

Ia buka katup keran pada wastafel kamar mandi, membiarkan air mengalir membasuh darah segar yang keluar dari lukanya. Setelahnya, ia menarik beberapa lembar tisu yang ada di dekat wastafel untuk mengeringkan tangan dan menutup lukanya sebelum ia beranjak ke UKS.

Sesampainya di UKS, ia lantas bergerak mencari obat merah dan perban. Karena sudah mandiri sejak kecil, maka hal seperti ini dianggap mudah untuk Hana. Ia sudah terbiasa terluka dan mengobatinya sendiri.

Selesai dengan urusan luka di tangannya, ia pun beranjak untuk kembali ke lapangan sekolah. Ia berniat mengembalikan obat dan perban ke tempat semula. Namun tak sengaja angin dari luar jendela UKS berhembus, meniup tirai putih UKS.

Disana, matanya menangkap sesosok laki-laki yang sedang duduk di atas ranjang UKS. Alis Hana terangkat, nampak heran dengan pemandangan yang sedang ia lihat. Ia merasa tidak asing dengan laki-laki itu.

Tatapannya kosong, namun dari tangan kirinya mengucur darah segar. Tidak nampak sehelai kain maupun perban yang membalut tangan itu. Dan dari lukanya, terlihat bahwa itu luka baru.

Dilema melanda Hana. Ia sudah berjanji untuk bersekolah dengan tenang dan tidak menarik perhatian siswa lain. Namun ia tidak tahan melihat orang yang terluka.

Alih-alih kembali, ia malah berjalan ke arah rak penyimpanan obat. Mengambil baskom, larutan pembersih luka, obat merah, salep luka, perban serta tak lupa plester. Setelah lengkap, ia bawa semua barang itu ke hadapan laki-laki tadi.

"jangan dibiarin kelamaan, ntar infeksi. Bisa kan ngobatin sendiri?"

Laki-laki itu hanya terdiam sambil memandang Hana. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Hana semakin bingung dengan sikap laki-laki itu.

SOLITARIAWhere stories live. Discover now