Chapt. 16th: Fragile

33 4 0
                                        

*
*
*

Untuk sesaat, baik aku dan juga Rayyan sama-sama terdiam. Aroma busuk yang sebelumnya tak terlalu kupedulikan, perlahan menyengat masuk ke hidung. Rasanya mual, tapi aku tak bisa hanya diam dan membiarkan bebauan tak sedap itu menyerang penciumanku.

"Akan kucari tahu lebih lanjut soal itu, tolong jangan beritahu Kapten Ari dulu," ucapku kemudian.

Meski awalnya tampak ragu, Rayyan akhirnya mengangguk setuju dengan ucapanku. Aku tahu apa yang kulakukan ini salah, tapi rasanya aku harus menyelidiki ini dulu sebelum mengatakannya pada Kapten Ari. Orang dengan sumbu pendek macam Kapten Ari, bisa-bisa justru melakukan hal yang tidak masuk akal nantinya. Aku hanya ingin meminimalisir terjadinya hal-hal tersebut, atau mungkin akan kusebut hal gila lain yang akan dilakukan Kapten Ari.

***

21:45

Rumah ini terlalu hening untuk dikatakan sebuah rumah. Harusnya aku sudah terbiasa dengan suasana ini, tapi hadirnya Tommy di rumah ini entah mengapa membuatku merasa canggung. Mungkin karena sebelumnya aku tidak pernah ada di rumah. Atau mungkin karena aku tidak terbiasa hidup dengan orang lain di rumah ini. Pikiranku hanya dipenuhi akan hal-hal tidak penting itu, sampai ucapan Rayyan kembali teringat. Kasus ini belum selesai, dan masih banyak pertanyaan yang bergelayut dalam benakku.

Aku menatap Tommy yang masih duduk tenang di ruang tamu sambil menonton siaran televisi.

"Kau nggak bikin PR?" tanyaku seraya duduk di sampingnya.

"Sudah selesai." Tommy menjawab santai. Tatapannya masih terfokus pada tayangan National geographic di televisi.

Aku yang awalnya ingin menanyakan hal terkait kasus yang sedang kutangani padanya, malah jadi ikut memerhatikan tayangan yang tengah disaksikan Tommy. Seekor paus orca yang tengah mempermainkan mangsanya sampai mati, sebelum disantap. Cara yang cukup sadis untuk sebuah perburuan yang meningkatkan selera makan.

"Jadi, itu sebabnya mereka disebut paus pembunuh." Tommy berucap pelan.

Tatapannya masih terpaku pada layar televisi, dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Ada aura aneh yang sempat kurasakan, tapi itu hanya sesaat. Entah, perasaanku begitu gamang. Jadi tanpa mengucap sepatah kata, aku kembali ke kamarku untuk mengistirahatkan diri dan juga pikiran.

Aku membutuhkan jeda.

***

7:30

Aku terbangun berkat suara alarm yang menyala di samping telinga. Harusnya Kapten Ari sudah memberi kabar, tapi tak ada satupun panggilan masuk di ponselku. Pagi ini, Tommy juga belum keluar dari kamarnya.

"Tommy, kau nggak ke sekolah?" tanyaku sembari mengetuk pintu kamar Tommy.

"Hari ini tanggal merah."

Tommy membuka pintu, matanya masih tampak sayu dan tubuhnya masih berbalut piyama. Aku mengangguk, kemudian meraih bahu Tommy perlahan dan mengajaknya duduk di ruang makan.

"Ada apa, Kak?" Tommy mengucek mata, seraya membersihkan kotoran yang masih menempel di sana.

"Hari ini, aku akan kembali ke kantor dan mungkin nggak pulang lagi seperti sebelumnya. Kau bisa jaga diri, kan?"

"Kak Aksa nggak perlu cemas, aku sudah mulai terbiasa tinggal sendiri. Banyak tetangga yang membantuku juga," jawabnya santai.

Aku mengangguk. Tapi rasanya masih begitu janggal. Mendadak, ucapan Kapten Ari kembali terngiang. Begitu juga dengan informasi yang kudapat dari Rayyan. Semua ini membuat intuisiku berkumpul pada satu titik yang sungguh tak ingin kupercaya. Namun, aku tetap harus memastikannya.

THE LAST CASEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora