[2] -Briar Rose-

35 13 6
                                    

Briar Rose
[Written By Ruce Morgan]
14 August 2022
|Completed|
____________________________

"Ohh lihatlah betapa manisnya Rose kecilku ini. Kemari sayang, Bibi Merry akan melihat sudah setinggi apa kamu bulan ini ..., " ucap seorang wanita nampak penuh semangat mendorong bahu gadis kecil berkuncir dua itu ke dinding batu dengan warna telah memudar dilumat waktu, pun tertutup lumut hijau licin bercampur debu-debu yang telah lama tak disapu.

"Mau berapa kali kamu mengukur tinggi anak itu dalam sehari, Nenek tua? Ini sudah ke tiga kalinya aku melihatmu." Wanita bergaun hijau tua mengerutkan keningnya sembari memegang sapu di tangannya--berbicara seolah tidak habis pikir, "pergilah Rose. Jangan dengarkan nenek tua ini, dia sudah sangat pikun."

"Kamu yang salah mengingatnya Flora, aku baru mengukur tinggi Rose dua kali hari ini! Menjauhlah, selesaikan saja urusanmu, jangan mengangguku," ucap wanita bernama Merry cemberut, namun raut wajahnya begitu cepat berubah berseri-seri ketika menatap Rose. Dia mengambil batu seukuran kepalan tangan, menarik garis horizontal di dinding tepat di atas kepala gadis kecil itu. Kemudian bertepuk tangan gembira. "Ah! Kamu bertambah tinggi lagi dalam beberapa jam Rose!"

"Mustahil." Flora memutar matanya malas, menyimpan sapunya di sudut ruangan dan berjalan mendekati Merry dan Rose. "Menyingkir, akan ku tunjukkan betapa bodohnya kamu."

"Hey apa yang--"

"Hm? Apa ini Rose? Kenapa banyak helai rambut hitam di atas bajumu?" Flora menepuk-nepuk baju Rose, membersihkan rambut yang bersarang di sana. Dia sontak menatap tajam pada Merry, lalu berkata, "aku lelah meminta untuk mengikat rambutmu yang bau itu, nenek tua. Kamu bahkan mencemari kue Flora dengan rambutmu yang selalu rontok, juga! membuat kotor kembali lantai yang sudah ku sapu berkali-kali. Jika kesabaranku habis, aku akan membuat kepalamu botak saja Flora."

"Kenapa kamu selalu menyalahkanku?! Mungkin saja rambut Rose yang rontok--" Merry berusaha mengelak, namun belum sempat kalimatnya selesai, Flora segera memotongnya.

"Rambut Rose pirang! Sekarang kamu juga buta warna? Dan oh--rambutku juga Fauna berwarna coklat, hanya milikmu saja yang hitam! Siapa lagi jika bukan kamu?" Fauna yang membawa nampan berisi sepotong roti lembut dengan uap panas membumbung itu menggeleng tak berdaya, kedua wanita tua yang tidak pernah luput membuat telinganya berdengung setiap waktu.

"Flora, bukankah aku memintamu untuk memetik apel di hutan? Aku akan membuat pie apel untuk Rose. Dan Merry, pergilah bersama Rose untuk mencari kayu bakar," pungkas Fauna meletakkan nampan di atas meja kayu, memandang seluruh ruangan yang terlihat hidup, berbeda saat pertama kali mereka datang bersama Aurora kecil yang kini mereka namai Briar Rose. Sudah enam tahun, tapi perasaannya selalu mengatakan sesuatu yang buruk pasti akan terjadi--tidak lama lagi.

Ketiga peri yang awalnya selalu hidup dengan mengandalkan sihir mereka harus mengalah untuk hidup sebagaimana orang biasa pada umumnya. Belajar dari awal, memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan mengurus seorang bayi bukanlah hal yang mudah. Setelah enam tahun ditempa--akhirnya mereka cukup terbiasa.

Jauh dari istana Stendert, jauh dari keramaian, tinggal di kedalaman hutan belantara yang sepi dan terkadang menenggelamkan. Tetapi secuil kebahagiaan dalam kesederhanaan juga yang membuat mereka mampu bertahan hingga sekarang.

"Bibi Merry ... aku ingin memberitahumu sesuatu, tapi berjanjilah untuk tidak marah padaku." Rose menundukkan kepala, mengerjap menutupi rasa bersalah di matanya. Dia mengaitkan jari-jarinya gelisah.

Pada awalnya mereka bertiga pergi bersama, namun Flora memisahkan diri karena tidak searah dengan mereka yang ingin mengambil kayu bakar.

Merry mengusap puncak kepala Rose sayang. Menyejajarkan posisi dengan gadis itu. "Katakan saja sayangku. Aku tidak akan memarahimu seperti yang selalu Bibi Flora lakukan. Kamu tahu ... dia memang semenyebalkan nenek sihir dalam buku-buku dongeng," bisik Merry sembari mengamati sekelilingnya, berjaga-jaga jikalau Flora muncul tiba-tiba, yang justru membuat Rose terkikik.

"Aku menemukan seekor kelinci yang mati di ujung tebing. Aku tidak berani mengambil dan menguburkannya karena aku takut terjatuh Bibi Merry. Apakah aku salah? Maukah kamu memaafkanku?" Ditengah kebingungan Rose, Merry sontak tertawa terbahak. Mencubit gemas pipi lembut gadis kecil itu.

"Kamu ini benar-benar ... Aku pikir ada apa! Ohh Rose kecilku yang manis ini hatinya sangat lembut. Kalau begitu, bagaimana jika kita pergi melihat dan menguburkan kelincinya dulu sebelum mengambil kayu bakar?" tanya Merry yang disambut anggukan semangat dari Rose. Mereka berdua bergandengan tangan menjauh--menelusuri kedalaman hutan menuju tebing yang ditumbuhi bunga-bunga.

***

"Sudah enam tahun dan kalian tidak menemukannya jejaknya?! Dasar bodoh!" Maleficent menghentakkan  tongkat berkepala tengkorak ke lantai, membuat seisi istana bergetar kuat, menggambarkan betapa geramnya wanita itu.

"Ericky!" Suara kepakan sayap diikuti jatuhnya sesosok hitam disamping Maleficent. "Pergi dan cari." Kemudian, sosok hitam itu menghilang serupa bayang yang menyelip di sudut-sudut kota dan berubah kembali menjadi burung gagak hitam yang melesat pergi melalui jendela istana.

Maleficent menarik napasnya gusar, melirik sinis pada redup rembulan di luar dan berkata, "jangan berpikir bisa lolos dariku, Aurora."

___________________________________
Tenang, ini baru permulaan sayang:")

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 14, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Flower of True Love Where stories live. Discover now