1

14.9K 774 39
                                    

Hai, kalian semua.

Insha Allah selama 45 hari ke depan, aku akan rutin update cerita ini setiap harinya. 

Stay tuned, ya.

Semoga kalian suka.

Happy reading!

Seorang wanita terus memandangi layar ponselnya. Seharian ini, entah berapa kali ia terus mencoba untuk menghubungi sang suami. Sebelum berangkat, suaminya berjanji akan menyusul dan menghabiskan liburan bersamanya dan ketiga anak mereka. Namun, sampai detik ini Eva sama sekali tak mendapatkan kabar dari suaminya—Pratama Djayanegara.

Ketiga buah hatinya terus-terusan bertanya soal ayah mereka. Tak biasanya laki-laki itu lalai akan janji yang dibuatnya. Tama dikenal sebagai seorang laki-laki yang memegang teguh apa yang sudah diucapkannya.

"Kamu ke mana sih, Pa? Dihubungi berkali-kali nggak bisa," gumamnya kecewa.

Dipandanginya dua anak yang tengah asyik bermain bersama dengan asisten rumah tangga dan supir mereka. Si sulung lebih senang menyingkir dan sibuk dengan ponselnya. Di liburan kali ini, sang suami bersikeras agar Eva mengajak ART dan supir mereka ikut serta. Supaya ada yang membantunya menjaga anak-anak, katanya.

Samudera, anak pertamanya mendekat. Remaja itu sepertinya menangkap gurat kegelisahan di raut wajah sang Bunda. Meskipun tenggelam dalam asyiknya game online, Sam memang sempat beberapa kali memperhatikan Eva yang tak pernah melepas ponsel dari genggamannya.

"Bunda kenapa?" tanyanya. Eva hanya menjawabnya dengan senyuman. Tak ingin si sulung merasa kecewa. "Ayah nggak bisa dihubungi?"

"Bukan nggak bisa. Tapi, belum bisa. Mungkin Ayah masih banyak pekerjaan. Tahun ini, Ayah pegang beberapa proyek."

"Itu kenapa aku nggak pernah suka Ayah jadi anggota dewan. Ayah selalu sibuk, bahkan sering tugas ke luar kota. Seharusnya Ayah nggak perlu janji kalau nggak bisa nepatin. Kalau begini, cuma buat orang kecewa."

"Sam, jangan begitu. Ayah pergi karena itu kewajibannya. Ayah kerja untuk keluarga kita."

"Bunda selalu begitu." Samudera yang kecewa, berlalu dan meninggalkan Eva masuk ke penginapan.

"Sam! Samudera! Abang!" teriak Eva, tapi tak direspons si empunya nama. "Dengar Bunda dulu, Nak!"

Eva menghela napas. Anak bujangnya memang sudah pandai menyampaikan pendapat. Sejak menjadi anggota dewan, Tama memang sibuk dalam tugas yang didelegasikan oleh komisi yang menaunginya. Dalam sepekan, kehadirannya di rumah bisa dihitung dengan jari.

Jemarinya menekan tombol telepon. Berharap kali ini usahanya akan membuahkan hasil. Namun, tetap saja. Lagi-lagi pil kepahitan harus ditelan.

"Bu, anak-anak katanya sudah capek main," tutur Mbak Maryam, ART-nya. "Saya ajak masuk ke dalam aja ya, Bu?"

"Iya, Mbak. Tolong sekalian suruh mandi."

"Ibu nggak masuk?"

"Saya masih coba telepon Bapak." Matanya menelisik mencari keberadaan Pak Rahmat—supir keluarga. "Pak Rahmat ada di mana ya, Mbak?"

"Lagi ngopi di sana, Bu. Mau saya panggilkan?"

"Bilang Pak Rahmat kita pulang sekarang. Saya kurang enak badan."

"Kita nggak tunggu sampai Bapak datang, Bu?" tanya Mbak Maryam. Eva mengangguk. "Baik. Saya sampaikan ke Pak Rahmat."

"Nanti bantu saya packing barangnya anak-anak ya, Mbak."

OoO

Perjalanan pulang dari Bandung ke Jakarta memakan waktu sangat lama karena akhir pekan. Setibanya di rumah, Mbak Maryam menggandeng si bungsu—Terra, sementara Pak Rahmat memindahkan koper-koper dari bagasi ke rumah. Samudera yang sepanjang perjalanan lebih memilih untuk tidur pun sekarang sudah sepenuhnya terjaga. Ia memanggul tas punggungnya dan masuk tanpa bersuara. Sepertinya, ia masih begitu kesal dengan sang Ayah. Apalagi, saat melihat kenyataan kalau mobil Tama terparkir rapih di garasi. Sagara mengekor di belakangnya.

Tentang Sebuah KisahWo Geschichten leben. Entdecke jetzt