4✨| Dua Orang di Stasiun Angkasa

12 2 1
                                    

Dua hari bukanlah waktu yang lama. Seingat Glista, baru saja ia membaca pesan dari Rui soal koper pengganti miliknya karena sudah terlalu lapuk. Kini, benda aneh itu sudah seperti anak kecil yang mengganggap dirinya induk. Ya, karena benda itu buatan Rui, Glista sudah yakin kalau itu akan jadi benda aneh. Tapi, ia tak menyangka kalau dibandingkan dengan koper, ia seperti sedang membawa anak ayam.

Benda berwarna pink pastel itu bisa bergerak seolah ia robot padahal isinya benar-benar seperti koper biasa. Teknologi memang mengerikan. Penciptanya lebih mengerikan lagi. Glista melirik dengan ekor matanya kea rah Rui yang entah kenapa ikut mrngantarnya menaiki kapal ke Planet Renge.

"Kenapa kau memperlakukanku seperti anak-anak?" gerutu Glista masih dengan tatapan tak terimanya. Sementara Rui seolah mengabaikan keberadaannya dan focus menatap kapal angkasa yang cukup besar di pangkalannya. Jam keberangkatan Glista tinggal sebentar lagi.

"Aku hanya memastikan kalau anak ini tidak kauseret seolah dia hanya mesin tidak berguna. Kau harus memperlakukannya dengan baik," pesan Rui yang tampaknya lebih khawatir pada benda buatannya. "Momo, jaga dirimu dan ... tolong awasi anak gila ini kalau sudah nekat, oke? Kau boleh pakai borgol kalau dia berbuat hal yang membahayakan kau dan dirinya."

Mulai, batin Glista. Entah sudah berapa kali ia melihat Rui berbicara pada benda-benda itu seolah ia makhluk hidup. Dan, apa tadi? Momo? Mentang-mentang warnanya pink peach ia menamai koper itu dengan nama Momo. Meski demikian, Glista tak akan menyuarakan protes apapun karena meski sedikit, ia mengerti perasaan Rui. Hanya saja soal Rui, Glista biasa menyebutnya dengan Mechine Complex.

"Dan kau, Glista!" Rui tiba-tiba berbicara kepadanya setelah mengabaikannya hampir setengah jam yang—hanya fokus pada kondisi Momo. "Kau tahu kalau Planet Renge itu bukan planet sembarangan jadi jangan macam-macam selama ada di sana. Juga, aku tahu kalau kau masih suka salah arah jadi kau tinggal mengikuti ke mana Momo bergerak. Ah ya, kalau dayanya habis, kau pakai poword punyamu saja, Kau pasti masih punya sisanya sedikit kan? Tidak perlu banyak, tapi Momo harus selalu menyala dan jangan pernah tinggalkan dia! Kau dengar aku Glista?" Rui geram melihat gestur menyebalkan gadis itu yang jelas-jelas mengabaikan dirinya.

Kalau kau mengabaikanku, aku juga bisa mengabaikanmu, batin Glista.

"Glistaaa," panggil Rui sekali lagi. Baru, gadis itu mau melirik tanpa melepas tatapan tajamnya.

Rui hari ini menyebalkan, batin Glista. Padahal biasanya ia tak sampai seperti ini. Lebih menyebalkan dari kemarin. Rasanya seperti seorang ibu yang bahkan lebih galak dari ibumu sendiri.

"Aku dengar, tentu saja aku dengar!" balas Glista tak kalah kerasnya.

Kapal Angkasa tujuan Planet Renge dari Planet Iris akan segera berangkat. Calon penumpang dimohon untuk segera masuk.

Suara pengumuman tiba-tiba terdengar, membuat Glista dan Rui menoleh. Rui mengembuskan napasnya setelah itu. Sementara Glista berdehem.

"Aku berangkat," ujar Glista sambil menarik gagang Momo. "Aku titip Glam dan yang lain."

Harus seperti ini dulukah untuk membangun suasana lebih tenang di antara mereka? Glista diam-diam tersenyum. "Kau tidak perlu sekhawatir itu."

"Aku tahu," balas Rui. Sesaat pandangannya kosong. "Tapi tetap saja, kau harus hati-hati Glista."

"Aku akan hati-hati," jelas Glista singkat.

"Mereka ada di sana," lanjut Rui, "Orang-orang itu ada di sana." Nada bicaranya kembali pada Rui yang selama ini Glista kenali. Ya, sepertinya Rui yang menyebalkan akan lebih baik untuk diri anak itu sendiri. Cara bicara yang sedih ini terlalu berat. Terlalu berat untuk seseorang yang waktunya seolah terhenti di saat yang lalu. Seperti kehilangan jarum jam. Meski waktu tetap bergerak. Tapi, tak tahu sudah sejauh mana waktu telah berlalu. Terjatuh entah di mana.

"Aku akan baik-baik saja." Glista meyakinkan. "Ini Glistania Aira yang membawamu kabur dari bumi. Kau harus percaya, oke?" Dengan cara bicara yang lebih cerah dari apapun, semoga itu bisa membuat kekhawatiran Rui berkurang.

Senyum Rui tiba-tiba terlihat, kemudian ia bicara, "Ya, kau Glista yang kukenal. Glista yang sejak dulu kukenal. Yang meski terjebak dalam situasi yang mengancamnya, ia akan selalu kembali ke tempatku."

"Ya, itu!" balas Glista riang. "Sampai hari di mana kita bisa kembali ke bumi..."

"Sampai hari di mana poword bisa kembali digunakan," sambung Rui.

"Sampai hari di mana rasa terima kasih tanpa makna yang mereka tenggelamkan hanya karena satu kesalahan itu bangkit kembali, aku tak akan kalah dengan orang-orang itu," tekad Glista seraya mengingat masa lalu kejam yang merenggut masa depan penuh kilaunya.

"Kau dan Rui harus segera pergi ke kota seberang. Di sana ada kapal yang akan segera berangkat ke Planet Iris. Kau dengar? Bumi bukan tempat yang aman saat ini. Tanpa kuberitahu pun kau sudah tau Glista," jelas ibunya hari itu.

"Lebih dari itu. Ayahmu ada di bagian grup peneliti yang sama dengan Ayah Rui. Sebaik dan sebenar apapun kita. Satu titik kesalahan yang muncul hari itu telah dianggap bencana. Kita tidak bisa kembali ke saat itu lagi."

Setidaknya, sampai hari di mana mereka bisa bertemu kembali. Glista harus bisa tetap bertahan bersama Rui. Juga, orang-orang yang ia sayangi di planet ini. Mereka yang masih membutuhkan keberadaannya.

"Jangan ragu menghubungiku kalau ada masalah," pesan Rui terakhir kali sebelum akhirnya Glista masuk ke kapal angkasa bersama dengan Momo. Dibalas dengan lambaian tangan gadis itu.

Momo, tolong jaga gadis nakal yang berharga itu.

***

Bogor, 31 Juli 2022

Glistening with YouWhere stories live. Discover now