25 - Us

1K 47 0
                                    

Karena sudah terbiasa pakai kata-kata lo-gue, jadi susah juga mengubah kebiasaan. Kita deal untuk tetap memakai panggilan itu saja.

Setelah akhirnya sama-sama menemukan waktu yang tepat, akhirnya makan malam di rumah orangtua Hunter terjadi. Rumahnya bahkkan lebih besar dari yang gue bayangkan, dari pagar ke rumahnya saja sudah jauh banget. Sampai di rumahnya, gue menghitung kalau besarnya itu kurang lebih tiga kalinya apartemen Hunter ke samping dan dua kalinya apartemen Hunter ke belakang. Itu rumahnya saja, belum halamannya. Mungkin ini bukan rumah, bisa dibilang ini lebih mirip istana, gue gak tahu di Massachusetts bisa ada lahan sebesar ini. Gue sadar, betapa kayanya Hunter ini, pantas saja bokapnya paranoid banget.

Gue merasa kalau gue gak cocok di dunianya Hunter. Dia datang dari keluarga yang benar-benar beruang, gak kerja pun mereka tetap punya pemasukan. Sementara gue, gak begitu, ya, kelas tengah lah... Rasanya seperti semua ini hanya mimpi indah yang pada suatu saat gue harus bangun dan menemukan kalau semua ini memang hanya mimpi. Gue gak cocok di sini, apa yang gue pikirkan? Oh, harusnya gue gak terlibat sama cowok seperti gini. Siapa gue? Bukan siapa-siapa. Siapa Hunter? Calon CEO perusahaan besar dan sukses.

"Kenapa, Triana? Tegang banget lo," ucap Hunter memarkir mobilnya di halaman rumah.

"I'm not gonna fit in," gumam gue.

"What?" tanya Hunter bingung.

"Gue gak cocok di sini."

"Kenapa?"

"Lo kaya raya, mungkin hampir sekaya Donald Trump."

"Jadi?"

"People will think I'm only after your money."

"Do you?"

"No," balas gue difensif.

"Terus, apa masalahnya? Lo tahu yang sebenarnya, gak usah peduliin apa kata orang, selama yang lo yakini itu benar, ya, gak usah khawatir."

"Bokap lo mengira gue begitu," adu gue pelan.

"Bokap gue tahu bagaimana lo, dia suka mengetes orang dan lihat bagaimana respon mereka. Dia gak menuduh lo itu, Goody," dia meraih tangan gue dan dia meremas pelan meyakinkan gue, "sebaiknya sekarang kita turun, mata-mata mulai bermunculan. You'll be fine."

Akhirnya gue bertemu dengan Sarah dan Reyan. Menurut observasi gue, Sarah adalah versi cewek dan rambut gelap dari Hunter. Sementara Reyan adalah jiplakan persis Hunter, mungkin lebih tua sedikit. Dan untuk pertama kalinya gue melihat nyokapnya Hunter. Untuk wanita seumur dia, dia masih bisa dikatakan cantik. Gue bisa lihat dari mana Hunter dapat dimulai gantengnya itu. Sedikit campuran tinggi dan bentuk badan dari bokapnya. Campuran mereka membuat keturunan yang hampir sempurna. Apalagi kakak Hunter. Hampir iri gue dengan dia, cantik sekali! Kurang lebih ibunya versi muda. Enak, ya, punya keluarga yang gennya serba sempurna.

Makan malam berjalan seperti makan malam normal, pembicaraan keluarga. Beruntungnya gue bukan satu-satunya yang di luar keluarga. Gue masih gak percaya Hunter punya kakak gay, bangga lagi, dan malam ini, dia bawa pacarnya itu untuk makan malam ini. Mereka sudah pacaran lebih dari 5 tahun, dan sepertinya si cowok lulus inspeksi sang bokap. Sementara Sarah, dia membawa suaminya, dan gue kenal suaminya. Dunia ini memang kecil, kecil benget, Kenneth Tyke, kakaknya Lyndia. Jadi selama ini di mana pun gue berada, Hunter ada hubungannya, takdir banget, ya, gue sama dia.

Selama makan malam, Claryne dan Clavine dijagai oleh 2 orang suruhan orangtua Hunter. Gue gak tahu di mana mereka dan apa yang sedang mereka lakukan, gue hanya tahu ketika kita akan pulang, mereka berdua sudah tidur. Yah, gak pa-pa lah, sudah praktis, tinggal taruh mereka di tempat tidurnya saja, gak perlu repot-repot meniduri mereka lagi. Mungkin gue harus menyewa babysitter kali, ya... Gak, deh, Hunter menanggung semua pengeluaran Claryne dan Clavine. Kalau gue sewa babysitter, artinya yang bayar harus Hunter. Gak usah, deh, sayang, untuk yang lain saja.

Selain makan malam dengan keluarga Hunter, ada satu lagi acara yang gue tunggu. Ladies night, sudah lama banget gak ada ini. Maka itu gue tunggu-tunggu, walaupun hanya ada Lacy dan Ewa saja. Tapi biarlah, hanya mereka yang dekat dengan gue, secara posisi dan status. Ewa dengan koneksinya memasukkan kita ke rooftop bar atau apalah, gue juga gak yakin. Tapi kalau dilihat dari gedungnya, sih, sepertinya keren. Gedungnya merupakan gedung 3 lantai, jadi gak begitu tinggi. Tapi sampai di tempatnya, sepi.

"What's going on?" tanya gue melihat ke sekitar gue.

"You said you want me to pop the question," tiba-tiba ladies night berubah menjadi begini, Lacy dan Ewa menghilang dan digantikan oleh Hunter.

"Where? Here?" dia mengangguk, gue gak bisa berhenti tersenyum, he's finally gonna ask me!

"First, I'm gonna give you some chessy stuff," dia tersenyum dan berjalan mendekat. "As you know, Goody, I love you. You are the first person that ever made me fell hopelessly in love. On our first night, you turn everything upside down, it was the worst day ever, and you made it better, so much better, you even made it to the best day in my entire life. You are the pain in my heart, but I enjoyed every second of it. I love you so much, and you are more than welcome to hate me as much as you want," dia diam sesaat sebelum berlutut di depan gue sambil meraih tangan gue, "Triana Anabeth Richards, will you take the honor to cherish me and be my wife?"

Untuk beberapa detik pertama gue gagap. Jawabannya sudah di ujung lidah, tapi gak tahu kenapa gak bisa gue keluarkan, menyangkut. Gue menarik napas dan mengeluarkan jawaban gue, "yes."

Hunter berdiri dan mencium bibir gue. "Can I have the ring now?" bisik dia di depan muka gue.

"No. you should renew the ring," komentar gue sambil memundurkan kepala beberapa senti.

"Thought you'd say that," dia tersenyum dan mengeluarkan cincin lain dari kantongnya dan dia pasang di jari manis gue.

2 cincin, dan kedua benda itu sama sekali gak kelihatan murah. Kenapa dia harus beli yang mewah-mewah? Kenapa gak yang biasa saja, gitu? Kan, gue gak pede jadinya pakai cincin semewah ini. Gue lagi menganalisa cincin gue ketika kedua sahabat gue kembali muncul. Mereka kelihatan girang. Ya lah, temannya baru tunangan, jahat banget kalau enggak.

"Congratulations!" ucap Ewa girang.

"Lihat, lihat!" Lacy menarik tangan kiri gue. "Wow... Mewah," dia menatap ke gue. Lacy tahu betapa gak pedenya gue pakai barang yang mewah-literary mewah, bukan kesannya saja-dan tertawa.

"So, where's your fiance?" tanya Ewa dengan penekanan di kata 'fiance'.

"Dia harus pergi."

"Seriously?" barengan mereka terkejut.

"Lo biarkan dia pergi saja?" ucap Lacy emosi.

"Ya memang dia harus pergi, kan..."

"Lo gila atau apa? Kalian baru saja tunangan, sekarang dia sudah pergi?" lanjut Lacy.

"Masa lo gak tahu, sih, dia bercanda?" ucap Hunter dari belakang mereka, serentak mereka berbalik... "Dia bercanda, gue gak segila itu."

"Nice," balas Ewa tertawa "jadi, kapan pestanya?"

"Sudah mengaku bridesmaid saja?" tanya gue bercanda.

"Harus, dong!" balas Ewa semangat, "dan Lacy MoH-nya, ya, kan?"

"Iya lah... Memang ada pilihan lain?" balas Lacy gak kalah semangat.

"Oh, teman-temanku..." gerutu gue

"Kapan?" tanya Ewa mengulang.

"Terserah lo, deh... Kan, lo biasa merencanakan pesta-pesta."

"Ya, sepertinya gue serahkan tugas pesta ke lo saja ya, Wa..." ucap Lacy ke Ewa.

"Dengan senang hati!"

Gue gak butuh pakai pesta-pesta segala, tapi apa salahnya menyenangkan teman? Pahala juga. Di jaman kita SMA, Ewa terkenal dengan nama 'party girl' bukan karena dia suka pesta, tapi karena dia sangat ahli membuat pesta yang asyik, bukan hanya asik karena bir dan permainan, tapi memang sudah asyik situasinya. Gue gak tahu bagaimana dia melakukannya.

Sepulangnya dari ladies night yang asli-hal ini terjadi tepat setelahnya-gue agak sedikit mabuk. Gue gak tahu siapa gue di saat sebelumnya, gue mencoba hal yang belum pernah gue coba seumur hidup gue. Gue gak tahu dari mana kedua teman gue ini dapat barang tersebut, tapi yang jelas kelihatannya mereka mendapatkannya secara legal. We're celebrating, maka itu mereka mengeluarkan simpanan mereka. Ya, begitulah...

You, Me, and PrejudiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang