20 - How Is It?

1K 53 1
                                    

It's all good. Hari berjalan baik, pekerjaan juga, tapi sudah saatnya gue mengakui kalau gue kangen bekerja di kantor. Gue kangen kerja di Johnson, atau mungkin apa yang gue lakukan ketika gue bekerja di sana. Dasar gue. Jadi hari ini gue melakukan kunjungan dadakan. Gue izin cuti. Iseng saja, sih.

"Ada yang mau minta pekerjaannya balik, nih..." ledek Brenda ketika lihat gue masuk.

"Eh, iya, nih..." gue tertawa.

"Good luck..."

"Thanks!" balas gue. Selewatnya gue, Payton dan Hillary mengangkat jempol mereka sambil mengatakan kalimat yang sama.

Sesampainya di pintu ruangan Hunter, gue melihat meja Laila kosong. Jangan-jangan dia lagi di dalam dan ada meeting lagi? Gagal banget kalau sampai itu betul. Tapi bodo lah, coba saja. Gue mendengar lewat pintunya, sepi, dan gue ingat kelebihan ruangannya. Ketuk gak, ya? Okay. Gue akan coba. Gue ketuk pintunya, gue gak buka sampai ada izin dari dia. Begitu gue dengar dia jawab, gue membuka pintu dan mengintip ke dalam, dia sendiri.

"Kenapa?" dia gak mengangkat kepalanya dari laptop di depannya.

Gue menutup pintu dan gue kunci. Hunter langsung mengangkat kepalanya, "hai."

"Goody... Ngapain lo?" dia menyender di kursinya sambil tersenyum.

"I kinda miss this particular moment."

"Gitu, ya..." dia tertawa. "Then come here, let me help you with that problem."

Gue duduk di pangkuannya, kembali ke posisi yang sama seperti sebelumnya. Tapi kali ini, memang gue yang mau. Salah, gue yang mengawali. Kalau gue gak mau sekarang, gak akan kejadian lagi.

Bedanya dari tiga sebelumnya, gue benar-benar let go. Banyak hal yang gue sadari, salah satunya, apapun yang ada di sini, gak hanya searah, tapi dua arah. Apa ruangan ini sudah jadi soundproof? Gue gak sengaja mengeluarkan suara yang gue yakin gak akan muncul ketika sesorang minta pekerjaan mereka lagi. Sebagai respon dari tindakan gue tadi, Hunter tertawa, tapi gue gak menemukan di mana lucunya. Efek yang Hunter kasih sekarang, hampir sama kayak efek ketika gue kebanyakan minum, membuat gue merasa berkabut, dan gue malah menikmati setiap detiknya. How did he become this good?

"I made you yelp," ucap Hunter bangga setelahnya.

"Yes, you did," gue tertawa.

Setelah itu kita gak ngomong apa-apa ataupun melakukan apa-apa. Kita hanya diam di posisi kita.

"Memang lo gak ketemu orang-orang?" tanya Hunter memecah hening.

"Ketemu lah."

"Terus, apa alasan lo?"

"Minta pekerjaan gue balik."

"Apa lo mau pekerjaan lo balik?"

"And miss the chance to do that again, no."

"You sure?"

"No."

"We can always do that again at home."

"Sebaiknya lo balik kerja, deh," ucap gue meluruskan suasana.

"Mulai bosan sama gue?"

"Mulai curiga sama gue kelamaan di sini."

"Can we do it again tonight?" tatapan itu, gue gak bisa berkilah dari tatapan itu, tatapan yang bisa bikin cewe-cewe meleleh.

"We can do it all, night, long."

"That's worth to wait," dan dia merendah ke gue, sementara gue otomatis langsung membalas. Walaupun kita masih melakukan apa yang lagi kita lakukan, Hunter mengangkat gue ke posisi berdiri dan menaruh gue balik ke tanah. Mentally dan physically "get dressed".

"Apa yang harus gue bilang ke orang-orang?"

"Lo gak menang."

"Nanti lo ganti reputasi, dong."

"Gue gak peduli apa kata orang lain, gue hanya peduli apa kata satu orang," dia menatap ke arah gue.

"Wow, cheesy banget, ya, lo..." ledek gue.

"See you at home, Goody."

Sekarang gue tahu kenapa dia suka memanggil gue Goody. Dia punya panggilan khusus untuk gue, how sweet he is... Sebelum keluar, gue memastikan kalau gue akan keluar sama seperti sedia kala. Untung saja gak ada baju yang sobek, sampai ada, mampus saja gue mau pakai baju apa ketika keluar. Meja yang dulu gue tempati sudah dimiliki Ryrie. Sama seperti dulu-dulu, semua berkumpul di sana. Begitu gue keluar, tatapan mereka langsung menuju ke gue, memberi gue pertanyaan tanpa suara. Gue menggeleng sambil mengangkat bahu, dan mereka berdecak.

"Sorry, girls, Bos susah diyakini," ucap gue di depan mereka.

"Dia berubah gak kayak dulu," ucap Payton.

"Berubah bagaimana?"

"Memang, sih dia masih ramah dan normal. Tapi sepertinya ada yang berubah," jawab Payton. "Ry, apa yang lo liat?" Payton bertanya ke Ryrie.

"Kurang lebih sama, sih..." dia mengangkat bahu.

"Ya sudah, silakan kalian pecahkan sendiri. Gue punya pekerjaan yang harus gue datangi. Bye," jawab gue dan pergi.

Sesuai sama apa yang sudah kita bicarakan, Hunter menagih ucapan gue. Begitu sampai rumah, tanpa ba-bi-bu, langsung serang seperti karnivora melihat mangsa enak, tanpa mikir apakah mangsanya itu bahaya untuk dia atau enggak. Tapi dia datang dengan kejutan yang lebih lagi, dan kejutan itu gak muncul sampai di akhir. He slips something onto my finger.

"I meant what I have said," bisik dia di telinga gue. Gue melihat ke bawah dan yang gue lihat adalah benda yang gue pikirkan. Dia memang serius, ya, ternyata...

"No, Hunter," gue mencopot cincin itu dari jari gue dan memindahkan ke jari yang sama di tangan yang berbeda.

"Kapanpun lo siap."

Ha! Dia memberi gue sebuah cincin! Dia serius! Cowok yang paling gue benci baru saja memberi gue cincin. There's commitment implicit in his act, dia memang gak mengeluarkan pertanyaan itu, tapi dia langsung melakukannya. Dia begitu yakin gak akan gue tolak, dan saat gue tolak, dia malah bilang akan menunggu sampai gue terima. Dasar cowok keras kepala.

Malam itu Hunter mengungkapkan apa yang sebenarnya sudah gue tebak langsung dari mulutnya, and it gave my heart a shiver. Apakah benci itu betul-betul perasaan gue ke dia? Bagaimana kalau ternyata gue juga...? What if, if, I love the guy whom I hate? Bagaimana kalau begitu? Itu membuat gue jadi orang termunafik yang pernah ada-hanya ungkapan, gak literary-kenapa dunia ini bekerja dengan sungguh membingungkan? Atau mungkin guenya yang terlalu tolol untuk mengerti maksudnya?

You, Me, and PrejudiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang