Silently Falling with You, again

29 2 2
                                    

Ada seorang lelaki. Misterius, tapi manis. Pecinta sajak, kopi, dan senja. Pakaian favoritnya apa saja yang berwarna hitam. Hobinya berkencan dengan buku-buku. Ia terlihat pintar, dengan kacamata yang hampir selalu dikenakannya. Ia terlihat cerdas, dan nyatanya memang cerdas. Sangat cerdas. Dan, mempesona.

Dahulu, pertama kali melihatnya, tampaknya ia sosok lelaki yang kaku dan dingin. Mulai kenal dirinya, ternyata ia bisa bergurau, meski kadang tak terlalu lucu. Makin kenal dirinya, ternyata ia sosok yang ceria ketika ia ingin menampilkan keceriaan itu. Ia suka bicara, dan begitu mempesona saat berbicara. Ada bekas luka lecet padanya, yang baginya dianggap sebagai 'trofi'.

Semakin lama mengenalnya, ia justru makin misterius. Semua tentang dirinya, semua tentang hidupnya, rasanya makin banyak sisi yang tersembunyi di balik wajahnya yang teduh. Suatu hari, ketika bercengkrama berdua saja dengannya untuk pertama kali, ia tersenyum cerah. Menampilkan gummy smile-nya yang sangat jarang terlihat. Matanya menyipit, diikuti guratan-guratan kecil yang indah di sudut matanya. Senyum paling tulus, paling cerah, dan paling manis dari seorang lelaki.

Hari itu, di suatu sudut sebuah coffee-shop, ditemani hangatnya udara malam dan pahitnya kopi, I silently falling ... untuk kesekian kalinya pada orang yang sama. Orang yang menjadikan simbol tangan unik sebagai pose foto favoritnya. Lelaki yang bersih, rapi, dan mandiri. Yang mahir membuat kue, dan mungkin juga mahir memasak. Lelaki yang rela berjalan cukup jauh untuk mencarikan tempat beribadah yang layak.

Malam itu juga, kulukis senyumannya dalam hati, sambil berjanji dalam diam, "biarlah kukagumi dia dari jauh". Tidak ada harapan apapun padanya selain agar dia bahagia, saat ini dan untuk seterusnya, dengan siapapun itu.

Malam itu juga, kutanamkan dalam diri, bahwa tidak ada tanggungjawab apapun padanya atas perasaan ini, dan tidak perlu pula ia tahu. Tidak perlu ia tahu bagaimana aku tersenyum seperti orang gila di bis setelah ia menuntunku menyeberangi jalan raya. Tidak perlu ia tahu bagaimana aku tidak bisa tidur setiap kali ia menanyakan apakah sudah sampai di rumah dengan selamat. Tidak perlu ia tahu bahwa setelah dua belas tahun, ada yang benar-benar berhasil mencairkan beku di hati.

Benar, aku hanya satu bintang redup dari berjuta bintang yang mengelilinginya. Dan, bukan pula satu-satunya bintang yang berharap selalu di sisinya. Maka biarlah hubungan profesionalitas ini berlanjut. Sekali lagi, "Let me admire him from afar."

At least, your presence made me realize that I do have a heart.

Hati dan LogikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang