Melalui novel itu, ia mendapatkan banyak hal. Pengalaman yang tak terduga. Dari akumulasi hobi dan angan-angannya yang terlampau tinggi. Sejak ia mulai menulis 5 tahun lalu, ia tak pernah merasa buntu seperti ini. Seakan otaknya terinfeksi sesuatu, membuatnya tak dapat berfikir dengan jelas.

Audrey merasa ia mengecewakan Anjani.

Kepercaya diri, semangat, optismisme yang tinggi, semua itulah yang membuat Anjani menyayanginya. Sebagai agent, ia selalu memastikan bahwa Audrey nyaman dan akan terus membakar semangat dan optimisme itu guna melahirkan karya baru.

Tapi saat ini, Audrey tak memiliki sejumput pun dari tiga aspek yang selalu menggebu-gebu dimatanya.

Audrey terlihat hitam.

Tenggelam.

Hilang arah di lubang tak berdasar.

"Harusnya aku tidak memulainya," lirih Audrey yang menutup kopernya, menarik resletingnya dan mendorong benda hitam itu ke sudut kamar. Bergabung dengan tas tangan yang selalu dia gunakan dan sepatu converse putih yang sudah tertata rapi.

Siap pergi, dan jauh dari tempat ini. Mungkin tak selamanya, karena ia terikat kontrak dengan Anjani, dan berjanji akan pulang setelah puas menata pikirannya yang kusut. Rencana yang ia buat tergesa-gesa. Ia akan kembali ke kampungnya. Membantu pernikahan Cecil dan menyibukan diri dengan kue pernikahan dan tetek bengek pernikahan lainnya. Audrey butuh kesibukan, dan Cecil menawarkan semua itu.

"Maaf aku mengecewakanmu," ia kembali bersuara dan menatap Anjani didepannya yang terdiam tak tahu harus berbuat apa. "Sekarang aku tahu sikap optimisku bisa menghancurkanku. Dan merugikanmu."

"Aku suka sikapmu yang satu itu," Anjani melirik Audrey. "Karena itu yang membuatmu berbeda dari penulisku yang lain. Dan optimisme tidak salah sama sekali dalam hal ini. Kita yang tidak siap, dan gagal memprediksi ini akan terjadi."

Anjani tak ingin Audrey merasa bersalah padanya. Ia tahu, Audrey tipe orang yang terencana. Ia menetapkan target untuk dirinya. Mengatur waktu dan dirinya. Memastikan jalan cerita sesuai dengan watak dan sifat tokoh. Dia punya program untuk setiap tulisannya. Awalnya Anjani mengira, mungkin karena Audrey baru mulai menulis novel romance. Genre yang baru ia coba. Wajar jika wanita itu kesulitan mendapatkan ide. Karena ia terbiasa menulis novel misteri atau adventure. Sekarang Anjani sadar, bukan kreatifitasnya yang bermasalah, tapi karena masalah yang baru-baru ini menyebabkan ia seperti tak memiliki sedikitpun ide di kepalanya.

"Seharusnya aku tak menyerahkanmu kesana. Aku juga turut bersalah dengan semua kondisi sekarang. Siapa sangka kita berdua akan berakhir seperti ini," tutur Anjani.

Audrey menggeleng lemah, dia yang salah. Dia yang harusnya tak terhanyut dan tak berangan-angan. Sewaktu Joe mengingatknya, semua yang berakhir bahagia itu tak ada, harusnya dia berhenti bermimpi. Harusnya saat Deo mengatakan dia laki-laki yang sulit, dia dapat menjaga jarak aman dengannya. Seharusnya saat Anjani menyarankannya untuk pergi dari rumah itu, dia melakukannya.

Audrey lelah. Secara fisik dan emosional. Tenaganya terkuras, dan tulangnya melemah. Dia seperti hewan avertebrata. Audrey hanya ingin menyerah. Menyerah dari semuanya. Biar keadaan membaik dengan sendirinya. Dia yakin dia bisa melalui ini dengan menjauh dari tempat ini untuk sementara waktu.

***

Tiga Bulan Sebelumnya

Saat itu siang yang cerah. Awan putih menutupi langit, semburat kebiruan muncul menghiasi dengan penuh warna. Tak terlalu panas, sejuk. Semilar angin terasa karena sekarang musim hujan. Ini Agustus, sebentar lagi perayaan kemerdekaan, bendera, pernak pernik 17 Agustusan, serta papan iklan penuh semangat perjuangan. Audrey melangkah ke gedung di depannya setelah turun dari Transjakarta dan menuruni serangkaian anak tangga dan belokan jembatan penyebrangan jalan. Audrey melangkah dengan senyum, berhasil mengalahkan kemalasan dan rasa kantuknya untuk menyelesaikan draf novel yang di tentengnya dengan segenap hati.

The Future Diaries Of AudreyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang